Sudah pernah dimuat di Ceria
Remaja Tahun 1995 Di
Pergantian Musim Sejak pagi mendung mengelantung di langit. Tetapi hujan tak juga turun. Langit berwarna abu-abu. Di pergantian musim ini suasana terkesan muram dan suram. Sesuram hati Nani. Semoga di pergantian musim ini menjadi awal dari pergantian lembar kehidupanku yang baru, harap Nani dalam hati. Siang itu, sepulang dari kampus, Nani mampir dulu ke Mirota Supermarket. Ia mesti beli sesuatu untuk kado ulang tahun seorang teman. Seperti biasa Mirota cukup ramai oleh pengunjung, baik pembeli maupun mereka yang sedang lihat-lihat saja atau yang sekedar iseng. Nani naik ke lantai tiga. Mencari-cari benda yang kiranya pantas buat kado. Ia sempat bingung sejak awal, karena ia tak tahu apa kesukaan temannya. Boneka? Tak cocok! pikirnya. Cowok kok dibelikan boneka. Tapi apa, ya? Tempat pensil? Ah, tak pantas juga. Lantas apa, ya? Oh, barangkali lukisan. Maka Nani mengamati sederet lukisan di sisi barat. Tapi ia tetap saja bingung, sebab ia juga tak tahu jenis lukisan apa yang disukai oleh Garda. Maklum, Nani belum begitu mengenal cowok itu, meski Garda satu fakultas dengannya. Meski keduanya satu angkatan. Tapi mereka beda jurusan dan selama ini tak begitu kenal, tapi Nani sudah tahu hari ulang tahun Garda. Hanya dua minggu terakhir ini mereka saling kenal dan nampak akrab. Itu pun karena jasa seorang teman yang mengajak Nani ke rumah Garda. Lalu Nani diberi kesempatan oleh Garda memakai komputernya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. "Lukisan kuda," gumam Nani. Maka dipilihnya lukisan kuda berukuran 40 cm x 1 meter. Setelah segalanya beres, Nani turun ke lantai dua dengan menenteng lukisan yang telah dibungkus rapi dan dikasih pita. "Ya, Tuhan!" Nani terperanjat. Tatkala ia menuruni tangga ke lantai dua, ia melihat Fandy. Nani mempercepat gerak langkahnya dengan tujuan memburu lelaki yang sudah enam bulan tak dijumpai. Ia berjuang keras menyelinap di balik deretan baju-baju dan kadang tanya pada pelayan. Ia yakin bahwa pandangan matanya tidak salah. Tapi sial nampaknya cowok itu sengaja menghindar. Kenapa dia menghindar? pikir Nani. Apakah ia takut bertemu denganku? Oh, Fandy, enam bulan kamu tinggalkan aku tanpa pesan. Nani kecewa dan putus asa. Dengan lesu ia turun ke lantai satu. Hujan turun tiba-tiba. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Nani mengurungkan niat untuk keluar Mirota. Ia berdiri di dekat pintu dan memandang derai air hujan yang ditumpahkan dari langit. Nani melamun. Ia seperti melihat Fandy membelah hujan lebat. "Hai, Nani," panggil seseorang. Nani tergagap. Lantas ia menoleh ke samping kanan. "Oh, kamu Garda." "Belanja, ya?" tanya Garda. "Cuma beli ini untuk kado ulang tahun teman," jawab Nani dengan mengembangkan senyumnya. "Apa isinya?" Garda ingin tahu. "Rahasia, dong." "Siapa sih yang ulang tahun?" selidik Garda. "Teman." "Teman atau pacar?" Garda terus menyelidik. "Teman biasa, kok." Nani menahan senyum. "Oh, iya, nanti malam aku ke tempatmu, ya. Kamu nggak ada acara, khan?" "Datang aja. Aku nggak ada acara penting. Tapi kalau kamu mau bikin acara, aku tak akan nolak," ujar Garda. "Sekarang kamu mau kemana?" "Pulang, dong." Sebuah taksi melintas. Nani melambaikan tangan. Taksi berhenti. "Yok, Garda sampai nanti malam."
"Sebel, sebel, mbak!" gerutu Nani ketika sampai di kostnya. "Sebel kenapa?" sambut Mbak Ririn, rekan satu kost yang sudah kerja di Puskesmas Jetis. Nani meletakkan tas dan kado di atas meja di ruang tamu. Lalu ia duduk dengan menghentakkan pantatnya di kursi. Wajahnya cemberut. "Aku tadi ke Mirota. Aku melihat Mas Fandy. Aku kejar. Tapi ia menghindar." "Sudahlah. Lupakan saja Mas Fandy-mu itu. Enam bulan ia tinggalkan kamu tanpa pesan, itu berarti ia memutuskan hubungan cinta secara sepihak," saran Mbak Ririn. "Yok opo, rek. Golek liyane lanjutnya dengan logat Surabaya yang kental. "Tapi, Mbak, lima tahun saya pacaran sama Mas Fandy. Bukan sebentar. Saya sulit melupakan dia," bantah Nani. "Lho, lha kalau dia meninggalkanmu, apa kamu tetap menunggu. Rugi. Lak nganggur, tah. Mendingan cari ganti. Itu lho, Garda itu ganteng juga, khan. Orangnya baik dan tutur katanya sopan. Ganti dia saja," kata Mbak Ririn ceplas-ceplos seperti layaknya orang Surabaya. "Ah, Mbak Ririn ini," Nani bersungut-sungut. Lalu ia masuk ke kamarnya. Dalam hati ia berkata, benar juga kata Mbak Ririn. Lagi pula aku mesti bersikap realistis dan adil pada diriku sendiri. Akhir-akhir ini Garda cukup menghiburku. Malam harinya Nani berdandan rapi dan nampak lebih cantik dari hari-hari biasanya. Rok panjang warna crem dan baju putih dengan motiv kembang-kembang. Sepatu coklat tua. Rambut dikepang dua dengan pita merah. Bibir dioles lipstik merah muda. Nani menepati janjinya dan itu sudah menjadi niatnya untuk datang ke kost Garda. Untung hujan sudah reda sejak sore, sehingga tak ada aral melintang yang berarti. Dengan taksi ia menuju kampung Sagan, tempat kost Garda. "Nyari siapa, Mbak?" tegur seorang cowok ketika Nani memasuki halaman rumah kost Garda. "Garda ada?" tanya Nani sopan. "Ada. Masuk saja. Tunggu di ruang tamu," kata cowok itu. Entah kenapa, jantung Nani terasa berdebar-debar. Tidak seperti biasanya. Apakah Garda istimewa? pikir Nani. Tidak. Yang istimewa hanyalah Mas Fandy, tapi ia telah lama menghilang. Apakah Garda mengisi kesepianku? Tidak. Aku tak dapat melupakan Mas Fandy, walau ia mengecewakan aku. Tapi...Garda pintar menghibur. Ia penuh perhatian. Orangnya tulus dan jujur. Sedikit lugu, walau tidak goblok. Gantengnya sama. Ah, tak tahulah. "Oh, Nani. Sudah lama?" sapa Garda. "Baru saja." Nani memandang sekilas wajah Garda. Lalu ia menunduk. Tapi dalam hati, emmm...Nani kagum. Entah kenapa. Jantungnya makin bergetar. "Kamu nampak lain ketimbang kemarin-kemarin." Garda memperhatikan penampilan Nani. Nani hanya tersenyum. Lalu ia berdiri dan mengulurkan tangan. "Selamat ulang tahun, Garda. Semoga kamu selalu happy dan cepet dapat pacar," ucap Nani. "Hah?!" Garda bengong. "Aku sendiri lupa hari ulang tahunku." Garda menyambut uluran tangan Nani. "Terima kasih, Nani. Terima kasih. Baru sekali ini ada cewek yang memperhatikan ulang tahunku. Terus terang aku terharu." Nani masih tersenyum. "Oh, iya, ini kado buat ulang tahunmu. Yang kubeli tadi siang." "Oh!" Garda kembali bengong. "Aku nggak nyangka sama sekali. Aduh dasar pelupa. Kupikir yang kamu beli tadi siang untuk pacar kamu." "Nah, sekarang traktir aku. Okey," todong Nani. "Okey. Tunggu sebentar, ya." Garda masuk ke kamarnya. Ganti pakaian yang necis dan lain dari biasanya. Ia bernyanyi-nyanyi kecil. Hatinya berbunga-bunga dan ge-er. Selama ini ia biasa-biasa saja terhadap yang namanya perempuan. Tapi, sejak dekat dengan Nani, rasanya ada sesuatu getaran yang indah untuk dibayangkan. Dan yang jelas, ia suka berteman sama Nani. Ia senang bila senantiasa dekat dengan gadis itu. Untungnya selama dua minggu ini, ia selalu dekat, karena Garda bantu Nani membuat makalah dan dengan senang hati Garda meminjamkan komputernya. Garda masuk garasi. Mengeluarkan motornya. Lalu masuk ke ruang tamu. "Udah siap?" tanya Nani. "Yok. Kita berangkat," ajak Garda. Berdua mereka membelah malam. Bersama mereka membelah jalanan dengan satu niat, satu tujuan, yakni ke restoran Pujayo. Di lantai dua, sudut kiri timur mereka duduk berhadap-hadapan. Menghadapi makanan yang mereka pesan. "Nyanyi dulu kita?" usul Garda. "Nyanyi apaan?" Nani mendelik. "Masak nyanyi gundul-gundul pacul atau bintang kecil. Ya, nyanyi happy birthday to you, dong," ujar Garda. "Nggak pakai lilin?" "Korek api aja, ya." Tanpa persetujuan Nani, Garda mengeluarkan zippo dan menyalakannya. Lalu mereka berdua menyanyi lirih. Malu pada orang-orang sekitar. Seusai nyanyi Garda meniup nyala korek api dan Nani kembali menyalami Garda. "Selamat ulang tahun, Garda," ucap Nani bergetar sambil memandangi wajah Garda dengan penuh kekaguman. "Terima kasih, Nani," balas Garda terharu dan hatinya pun tersengat getaran yang indah. Lalu mereka pun berbincang-bincang tentang apa saja. Tentang kampus, tentang dosen-dosennya yang galak, tentang masa kecil mereka. Dan akhirnya mereka bicara tentang pacar. "Kamu sudah punya pacar, Ni?" tanya Garda. Kali ini ia menghadirkan keseriusan. Tidak seperti biasanya yang serba konyol dan kocak. Nani menunduk. Cukup lama. "Kenapa, Ni?" Garda takut bila Nani tersinggung. "Sebenarnya sudah lama aku ingin bicara pada orang lain, selain Mbak Ririn. Aku ingin berbagi rasa. Jika kamu tak keberatan, aku ingin cerita sama kamu." Nani kembali terdiam. Ia kembali menundukkan kepalanya. "Aku pacaran sama Mas Fandy. Sudah lima tahun. Lima tahun. Sudah cukup lama. Tapi sekarang ia menghilang. Sudah enam bulan ia tak menemuiku. Anehnya, kami tak pernah ada masalah. Hubungan kami baik-baik saja. Bahkan pada pertemuan terakhir enam bulan yang lalu, ia datang ke kostku dengan membawa seuntai mawar merah dan bingkisan, juga oleh-oleh buat teman-teman kost-ku. Pertemuan terakhir yang mengesankan. Tapi setelah itu ia benar-benar menghilang dari kota ini. Aku tak tahu dimana dia berada. Aku selalu menunggu dan tetap menunggu. Pernah kudengar dari teman-teman bahwa Mas Fandy beberapa kali ke Yogya. Tadi siang aku melihatnya di Mirota. Tapi ketika kukejar, ia menghilang. Kupikir ia sengaja menghidariku. Sebenarnya yang kubutuhkan adalah penjelasan, kenapa ia meninggalkanku," tutur Nani dengan nada berat. "Aku bisa memahami perasaanmu. Cukup berat memang. Tetapi, apakah kamu akan terus menunggu. Enam bulan tanpa penjelasan, itu berarti dia memutuskan hubungan cinta kalian," komentar Garda. "Aku pun menyimpulkan demikian. Tapi aku butuh penjelasan darinya. Itu saja." "Jika sudah dapat penjelasan?" tukas Garda. "Aku harus realistis dan adil pada diriku sendiri. Aku akan mencari penggantinya," cetus Nani. "Tidak mungkin aku membiarkan diriku seperti sekarang ini. Tanpa kepastian." Garda terdiam. Agak lama. Ia mempersiapkan diri untuk mengutarakan sesuatu. Tapi ia ragu-ragu. "Nani, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar Garda pada akhirnya. "Katakan saja." "Perkenalanku denganmu cukup singkat, tapi dalam waktu yang singkat itu aku telah menemukan kesesuaian denganmu. Kamu mengerti maksudku, bukan," cetus Garda. "Aku mengerti," jawab Nani lirih dan malu-malu. "Tapi aku belum bisa menjawabnya sekarang, sebelum ada penjelasan dari Mas Fandy," lanjutnya. Lalu keduanya terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tetapi tiba-tiba, Nani dikejutkan oleh sesuatu. Ia melihat Fandy tak jauh dari tempatnya. Laki-laki yang dicintainya itu sedang menuliskan sesuatu di buku pesanan makanan. Dan di sebelahnya duduk seorang wanita cantik. Nani memperhatikan mereka berdua. Ia tak mampu mengendalikan diri. Ia segera menghampiri Fandy. "Mas Fandy," tegur Nani. "Hai, Nani. Apa khabar?" balas Fandy gugup. "Baik." Nani melirik ke arah perempuan cantik itu. "Oh, iya, kenalkan ini istriku." Fandy memperkenalkan perempuan di sebelahnya. Nani berkenalan dengan dingin. Tubuhnya terasa dingin dan gemetar. Ia mencoba untuk menguatkan dan mengendalikan diri. Nani hanya terdiam. "Sebentar, Mas. Saya mau ke kamar kecil dulu," istri Fandy pamitan ke kamar kecil. "O, iya. Jangan lama-lama," kata Fandy. Kesempatan yang singkat itu dipergunakan oleh Nani untuk meminta penjelasan, kenapa Fandy meninggalkannya begitu saja tanpa pesan. "Maaf, Nani, sebenarnya berat untuk meninggalkanmu, tapi terpaksa. Aku dijodohkan oleh orang tua. Aku tak tega untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu, hingga akhirnya aku memilih jalan menghindarimu secara tidak jantan. Maafkan, aku," tutur Fandy. Nani tak sempat mengatakan sesuatu dan ia mesti balik ke mejanya, ketika istri Fandy kembali. "Kita pulang," ajak Nani pada Garda. Garda mengerti. Ia segera memanggil pelayan dan membayar. Nani dan Garda beranjak dari duduknya. Tanpa malu-malu Nani menggandeng lengan Garda dengan mesranya. Garda merasa rikuh dan kikuk. Maklum ia tak biasa. Mereka pun pulang tanpa pamitan sama Fandy. Ketika turun tangga menuju lantai satu, Nani berkata, "Aku sudah mendapat kejelasan. Mas Fandy telah beristri." "Dia mengkhianatimu?" tanya Garda. "Dia dijodohkan oleh orang tuanya." "Lalu apa rencanamu sekarang?" tanya Garda. "Kamu bisa mengusulkan sesuatu?" "Satu usulku, yakni jawablah cintaku," cetus Garda nekad. "Ya, aku harus realistis dan adil pada diriku sendiri. Itu saja jawabanku," cetus Nani. "Kamu mengerti maksudku, bukan." "Ya, aku mengerti," ucap Garda gembira. Kali ini ia nekad menggenggam jemari Nani dan meremasnya
dengan mesra. * * * Pakem-Yogya, 1995 [puisi] [novel] [sinetron] [skripsi] [profil] |