PREMAN KAMBUHAN
Cerpen: Ngarto Februana

KESAN pertama ketika aku berjumpa dengan lelaki itu di stasiun Pasar Senen adalah kesan muram. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Matanya tajam dan penuh was-was. Kulitnya sawo matang dan mengkilat. Rambutnya nampak baru saja dicukur. Melihat penampilannya, aku bisa menduga lelaki ini berasal dari dunia yang serba muram dan kejam. Aku merasa ngeri dan bergidik serta penuh rasa curiga.

Lelaki itu duduk persis di depanku. Ia nampak gelisah sambil mengamati penumpang kereta api Gaya Baru Malam Selatan yang penuh sesak.

Lelaki itu pastilah seorang preman yang hendak pulang kampung untuk menghindari operasi pembersihan para preman, dugaku dengan yakin. Akhir-akhir ini Jakarta bukan tempat yang aman bagi para preman. Mereka senantiasa dikejar dan diburu seperti anjing gila yang hanya bikin resah masyarakat. Kulirik bahunya. Ah, tidak nampak tatonya. Mungkin di dada atau di punggungnya ada tato gambar naga atau wanita telanjang. Tiba-tiba aku teringat pada tasku. Aku men- dongak ke atas. Aman. Travel bag warna hitam milikku terapit di antara kardus-kardus milik penumpang lain.

Kereta mulai bergerak meninggalkan Senen. Gubuk-gubuk reyot dan rumah-rumah kardus di kanan kiri rel nampak berputar-putar dalam pandanganku. Kumuh dan muram! Mungkin lelaki itu tinggal di salah satu gubuk-gubuk itu. Ketika kereta sampai Cikampek, aku mencoba menegurnya.

"Turun mana, Mas?" tanyaku.

Ia memandangku dengan seksama. Matanya penuh selidik. "Yogya," jawabnya acuh dan dingin.

Aku mengangguk-anggukkan kepala dan berkata, "Saya juga Yogya."

Ia tidak berkomentar dan aku pun diam saja. Aku malas untuk berbincang-bincang dengan lelaki itu. Kalau saja yang ada di depanku seorang cewek manis, pastilah menyenangkan sebagai teman ngobrol dalam perjalanan.

Kereta terus bergerak meninggalkan Jakarta. Berkali-kali aku mendongak ke atas, ke tempat tasku. Ketika malam tiba, aku tertidur -- sesuatu yang sangat aku sesalkan -- dan tentu melupakan keamanan tasku. Selepas Purwokerto aku baru terbangun dan lelaki yang kuduga sebagai preman itu sudah lenyap. Aku segera mendongak ke atas dan terkejut ketika menyadari bahwa tasku pun lenyap. Pasti lelaki kumuh itu yang mencurinya. Tidak salah. Penumpang di sekitar tempat dudukku belum berganti. Hanya dia yang sudah turun.

"Mas, orang yang duduk di sini tadi sudah turun, ya?" tanyaku pada penumpang di sebelahku.

"Iya. Turun di stasiun Purwokerto. Memangnya kenapa?"

"Membawa tas apa?" tanyaku lagi.

"Kayaknya tas hitam dan ransel," jawab perempuan itu.

Tepat sekali dugaanku. Dialah yang mencuri tasku.

* * *

Aku sangat menyesalkan hilangnya tasku. Memang tidak ada uangnya. Hanya beberapa lembar baju dan buku-buku serta satu box disket. Disket itulah yang paling berharga bagiku. Disket itu berisi data skripsiku yang belum sempat aku print. Dan aku tidak punya duplikatnya lagi. Tentu aku sangat sedih karenanya. Berbulan-bulan aku menyusun skripsi itu dan bab empat serta bab terakhir aku selesaikan di Jakarta, mengingat referensinya hanya ada di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin. Berhari-hari aku hanya termenung memikirkan disket itu sampai aku stress.

Suatu ketika, pada siang hari secara tak sengaja aku berpapasan dengan seorang pemuda di kampung tempat aku kost. Aku tersentak begitu mengenali bahwa lelaki itu adalah preman yang mencuri tasku.

"Hai, kamu yang di kereta tempo hari, bukan?" tegurku dengan penuh amarah.

Lelaki itu nampak gugup.

"Kamu di sini, tho? Kamu yang mengambil tasku? Kamu boleh mengambil baju-bajuku, tapi buku dan disketku tolong kembalikan. Disket itu sangat berharga bagiku. Tolong kembalikan!" hardikku dengan nada tinggi.

"Aku nggak nyolong tasmu," bantahnya sambil melotot.

Aku tidak peduli walau dia seorang preman. Disket itu segala-galanya bagiku. Aku nekat memaksanya agar ia mau mengembalikan buku dan disketku. Saat itu jika keadaan memaksa, aku siap berkelahi.

"Yah, nanti kukembalikan. Tapi tas dan baju-bajumu sudah loakkan," katanya mengaku. "Maaf, tak kusangka kamu kost di sini." Lalu dia pergi.

Sore harinya ia muncul di kostku dengan membawa buku dan satu box disket. "Ini kukembalikan," katanya sambil menyodorkan buku dan box disket.

Kuterima benda berharga itu dengan lega. Kuperiksa isinya masih utuh. Dan segera aku simpan dalam almari.

"Aku tak mengira kalau kamu orang sini," kataku. "Aku sudah delapan tahun kost di kampung ini dan mengenal semua tetangga. Tapi aku tak pernah melihat kamu."

Lelaki itu menunduk. Ia tidak lagi nampak menyeramkan. Seperti macan yang sudah kehilangan semangat hidup. "Yah, aku di Jakarta."

"Kamu preman?" tebakku tanpa tedeng aling-aling. Maklum aku sejenis orang yang suka ceplas-ceplos seperti halnya watak masyarakat tempatku berasal: suka blak- blakan.

Ia memandangku dengan tatapan mata tidak suka. Tapi kemudian ia mengaku, "Iya. Aku preman di Blok M."

"Dan kamu menghindari operasi pembersihan preman?"

"Iya. Sekarang aku mau bertobat. Bapakku ngasih modal buat bikin kios bensin dan rokok. Aku mau buka kios di depan Panti Rapih," katanya lancar padahal kami belum berkenalan.

"Bagus. Bagus. Itu lebih baik daripada jadi preman yang hanya bikin resah orang lain. Kamu mesti memulai hidup yang tertib dan kerja yang halal. Masih banyak usaha yang tidak merugikan orang lain," kataku ngasih nasehat.

Beberapa hari kemudian aku menyaksikan sebuah kios baru di depan Panti Rapih. Setiap aku berangkat kuliah aku melewati kios itu dan melihat lelaki bekas preman itu menunggui kiosnya dengan semangat hidup baru. Aku suka mampir untuk beli rokok di kiosnya dan menyempatkan berbincang-bincang sebentar mengenai kemajuan usahanya.

"Lumayan, Mas," katanya dengan wajah cerah. "Labanya bisa kutabung. Kalau sudah cukup, aku mau kawin."

"Bagus. Bagus. Jadi kamu benar-benar bertobat?"

"Iyah. Aku bertobat tidak akan jadi preman lagi," ujarnya mantap.

"Bagus!" Kusalami dia dengan rasa salut.

Tetapi sebulan kemudian aku mendengar khabar adanya operasi penertiban pedagang kaki lima yang menempati trotoar di kota ini. Aku jadi kuatir hal ini menimpa kios lelaki bekas preman itu. Begitu pulang dari kampus aku bergegas ke Panti Rapih. Ternyata benar. Trotoar di depan Panti Rapih telah bersih dari kios-kios dan tempat ber-jualan. Dari mulut-mulut para pedagang kaki lima aku menerima laporan bahwa kios-kios mereka diangkut oleh petugas Tibum dan polisi.

Sore harinya lelaki bekas preman itu menemuiku di kost. Wajahnya lusuh dan putus asa.

"Kiosku diangkut. Katanya kiosku hanya bikin kotor dan mengganggu pejalan kaki," ujarnya lirih dengan tatapan mata sayu. "Sekarang tidak ada pilihan lain."

"Maksudmu?" aku melotot. "Kamu mau jadi preman lagi?"

"Tidak ada pilihan lagi, Mas. Aku tak peduli lagi dengan operasi preman. Aku pamit, Mas." Lelaki itu meninggalkan kostku dengan langkah tergesa-gesa. Ia pergi meninggalkan kampung ini, meninggalkan Yogya dengan membawa kekecewaan. Ah, dia orang yang selalu kecewa dalam dunianya yang serba muram dan tak menguntungkan.

Ketika dia sudah pergi, aku menyadari jam tangan yang kutaruh di atas meja belajarku telah lenyap. Diakah yang mencurinya? Kambuh lagi semangat premannya!

* * *

Yogya, April 1995

 

1