Sebuah
Pilihan
Cerpen Ngarto Februana
Telah kugadaikan kebebasanku dengan sebentuk ikatan perkawinan. Tapi potensi terpendam yang melekat pada diriku ternyata sulit untuk ditiadakan. Barangkali ini pembawaan setiap lelaki. Dan, pemberontakan itu berakhir pada sebuah tragedi. Suatu pagi di hari Minggu awal Agustus. Fajar merah tembaga menyemprot langit timur. Ayam berkokok. Dan di luar, orang-orang pulang dari masjid. Istriku sibuk mengemasi pakaian dan barang-barang lain yang perlu dan bisa dibawa. Ia melakukannya dengan diam. Raut wajahnya tampak sedih. Sebentar-sebentar ia mengusap matanya. Rupanya, ia begitu berat dengan "perpisahan" itu. Yah, pagi itu aku mesti mengantarkan ia pulang kampung. Tiba-tiba perasaan iba begitu menyeruak di sudut hatiku yang terdalam. Ah, tak ada pilihan lain, pikirku. Dia yang menghendakinya. Atau karena memang aku yang mengkondisikannya. Atau barangkali Jakarta tak sesuai baginya. Istriku hanya perempuan desa yang lugu. Cuma tamatan SMA. Itu pun SMA di desa. Wawasannya sempit. Ia tak tertarik untuk mengasah otaknya dengan pengetahuan umum. Malas baca koran. Ia tak pernah merasa tertarik oleh berita-berita aktual. Tak mengerti apa itu devaluasi, deprisiasi, tight money polecy. Rupiah ajlok pun ia tak peduli. Baca buku? Boro-boro! Buku-buku sastra, psikologi, sosiologi, atau filsafat yang ada di rak tak pernah disentuh. Paling-paling ia baca majalah wanita, terutama resep masakan dan cara merawat tubuh secara tradisional. Ia tak pernah nyambung jika aku berbicara persoalanku di kantor. Ia hanya berperan sebagai pendengar setia. Tersenyum atau sedikit tertawa bila ia menganggapnya lucu, padahal sama sekali tak lucu. Bila menghadiri acara jamuan makan malam seorang relasi atau ulang tahun seorang teman, atau kondangan, istrikulah yang paling tampak ndeso di antara wanita yang ada. Yah, mungkin Jakarta bukanlah tempat yang nyaman baginya. Mungkin lingkungan kompleks perumahan di mana aku menempati salah satu rumah di sana, bukanlah lingkungannya. Dan, lingkungan pekerjaan dan teman-temanku beserta segenap "ritual"-nya tak sesuai dengan kepribadiannya. Ya, istriku memang udik. Kampungan. Ndeso. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa ia pandai memasak. Pandai merawat rumah dan pintar merawat tubuh. Ia senantiasa tampak cantik dan segar dipandang. Setiap aku pulang dari kantor, ia menyambutku dengan senyum, melepas dasiku, melepas sepatuku. Ia bawakan handuk bersih. Sementara aku mandi, ia menyiapkan makan malam. Semua itu telah jadi tradisi. Dan, tradisi itu pada akhirnya membosankan. Apalagi, sejak kami menikah tiga tahun lalu, tak pernah ada celoteh dan tangis bayi di rumahku. Yah, mungkin Jakarta bukanlah tempat yang nyaman baginya. Barangkali lingkungan kompleks perumahan di mana aku menempati salah satu rumah di sana, bukanlah lingkungannya. Dan, lingkungan pekerjaan dan teman-temanku beserta segenap "ritual"-nya tak sesuai dengan kepribadiannya. Sejak semula ia memang tak berniat ke Jakarta. Mungkin karena terpaksa--secara adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat istri mesti mengikuti suami. Dulu, ketika kami belum menikah, ia mengharapkan aku bekerja di Yogya saja. Dan, ia malah menyarankan aku untuk jadi guru SMA di Pakem, 15 km utara Yogya. Tapi, perjalanan nasib menentukan lain--dan ini memang kuinginkan--, aku diterima di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa keuangan. Dulu pun, ketika kami hendak berangkat ke Jakarta setelah acara pernikahan yang melelahkan itu, ia tampak berat meninggalkan desanya. Lebih tepatnya sedih meninggalkan adik-adiknya, berpisah dengan ibunya yang sudah menjanda, meninggalkan kebun salaknya, kelinci-kelincinya, acara arisan dan kegiatan PKK-nya, dan teman-temannya. Asih--demikian nama panggilannya--memang belum dewasa dan matang secara sosial dan psikologis ketika kunikahi. Baru SMA kelas tiga ketika aku KKN di desanya dan memacarinya. Dan, belum lama lulus SMA ketika aku menikahninya. Itu pun karena desakan ibunya, termasuk--ini yang terpenting--penyerahan Asih oleh ibunya kepadaku untuk tidur bersama sebelum agama membolehkannya. Gila memang! Dan, karena penyerahan itulah aku tak sampai hati meninggalkannya dan mencari cewek lain setelah aku lulus dari perguruan tinggi. Entahlah apa namanya: penyerahan atau pengikatan. Kulirik jam yang melingkar di tangan kiriku. Jam enam harus sudah di Gambir, pikirku. Istriku sudah selesai berkemas. Ia tiba-tiba menatapku dengan haru. Lalu duduk bersimpuh dan memeluk lututku. Ia menangis sejadi-jadinya. Hatiku pun terasa teriris-iris. Pedih. Matanya masih merah bekas menangis ketika kami berangkat. Juga saat sampai di Stasiun Gambir. Pun setelah Kereta Fajar Utama sudah jauh meninggalkan Jakarta. Ah, hari itu kumantapkan hatiku untuk menyerahkan kepada orang tuanya. Jalan seperti itu harus kami lalui. Mungkin ini lebih baik, agar masing-masing punya kesempatan buat merenungkan perjalanan cinta dan kehidupan berumah tangga yang sudah berlangsung tiga tahun ini. Tapi apa katanya setelah aku menyerahkan kembali ke ibunya, dan saat aku hendak pamitan untuk kembali ke Jakarta? Ia berbisik,"Kupikir Mbak Novi lebih pantas jadi pendampingmu." Dan, hari-hari selanjutnya adalah perselingkuhan yang lebih intensif. Aku kembali masuk kerja. Kembali terbenam dalam kesibukan tugas-tugas dan pekerjaan kantor. Juga kembali bertemu Novi sesering mungkin. Saat makan siang, seperti biasa kami bertemu di sebuah restoran hamburger yang tak jauh dari kantor kami. Kebetulan kantor tempatku bekerja tak jauh dari kantor Novi. Berseberangan. Ia bekerja di bagian keuangan sebuah perusahaan lahan yasan (real estate). Pulang kerja kami pun jalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah masing-masing. Dan, malam minggu kami pergi ke kafe atau diskotek. Hari Minggu aku dan Novi pergi ke tempat-tempat wisata. Tak jarang ia menginap di rumahku, dan apa pun bisa kami lakukan. Segalanya berjalan lancar dan bebas! Waktu pun berlalu ... semuanya berlangsung manis. Hingga pada suatu ketika .... Waktu itu hari sudah malam. Pukul sebelas. Aku sedang baca-baca majalah sebagai pengantar tidur. Telepon berdering. "Mas gawat. Kamu bisa bantu aku, Mas. Gawat nih," suara Novi dari seberang terdengar gugup dan terbata-bata. "Ada apa, sih. Tenang saja. Segalanya harus diselesaikan dengan tenang," kataku menghibur. "Tolong jemput aku di Kemang," lanjut Novi. Ia lalu menyebut nama sebuah restoran di daerah Kemang. Kuturuti segala permintaannya tanpa kecurigaan sedikit pun. Aku jemput ia di daerah Kemang, di sebuah restoran. Ia minta diantarkan ke Bandung. Lalu menginap di sebuah hotel di pinggir kota. Aku turuti. Esoknya ia minta dibelikan tiket pesawat ke Amerika dan menguruskan visa. Itu pun aku lakukan. Dan terakhir aku mengantarkannya ke Bandara Soekarno-Hatt Cengkareng. "Kalau masalahku sudah selesai, aku akan kembali ke Indonesia. Aku mencintaimu ... aku ingin cerai sama suamiku. Lalu kita menikah," hanya itu pesan Novi untuk terakhir kali. Ah, betapa bodohnya aku. Bodoh sekali. Tak kusangka ketika aku kembali ke rumah, di sana sudah menunggu empat orang polisi. Baru aku turun dari mobil, seorang polisi menyodorkan surat pemanggilan. Aku dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Masalahnya jelas kini. Aku dipersalahkan karena membantu seorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dan, hari-hari selanjutnya adalah kelam! Aku ditahan. Sudah seminggu. Novi terlibat bahkan sebagai pelaku utama korupsi di perusahaannya. Angkanya sungguh mencengangkan: Rp 2 miliar. Aku teringat istriku. Pada saat seperti itu aku butuh dia. Sangat membutuhkannya. Kini kurasakan istri mulai berarti ketika kita ditimpa prahara! Dari balik terali besi, aku membayangkan betapa manis wajahnya, begitu baik budi pekertinya, dan demikian tuluscintanya .... Tapi, mungkinkah ia mau kembali kepadaku kelak? ***** Jakarta, 97 [puisi] [novel] [sinetron] [skripsi] [profil] |