Si Buta Ingin Melihat Dewa Cerpen Ngarto Februana Nyanyian kanak-kanak nyaring menggema, menyusup di antara kembang mawar, di antara dedaunan, alunannya meliak-liuk di sela-sela pagar halaman rumah berdebu, menerobos ke sela-sela keropos batu. Nyanyian dan celoteh kanak-kanak terdengar polos, mengelus hati yang kering dan membelai pikiran yang kusut. Dan, kaki-kaki kecil yang berlari di pinggir jalan, tanpa alas kaki, penuh debu, dan bekas borok, tampak bagai tarian penglipur kegersangan hati. Tangan-tangan kecil melambai-lambai menirukan lambaian daun kelapa, menirukan tarian rumpun bambu seiring desir angin. Mata bening bocah-bocah itu begitu polos memancarkan kejujuran. Mulut-mulut mungil itu pun terus bernyanyi di antara kepalsuan kata-kata, dusta, jerit penderitaan, sumpah serapah, caci maki, janji-janji, slogan kosong, dan pekik protes. Celoteh anak-anak nyaring terdengar oleh telinga lelaki tua bermata buta. Sementara itu, Ayu, sang cucu kesayangan larut dalam keasyikan permainan di halaman rumahnya. Tiba-tiba Ayu menghentikan permainannya. Matanya yang bening memancarkan kekaguman pada seekor kupu-kupu yang terbang melintas di depan mukanya. Kupu-kupu kuning hinggap di daun mawar. Si Kecil Ayu mengendap-endap menghampirinya. Matanya awas mengamati binatang kecil itu. Tak boleh lolos, tekadnya dalam hati. Tangannya menjulur dan jemarinya membentuk kuncup seperti jepitan; siap menjepit buruan. "Hup!" Kupu-kupu itu terbang. "Horeeee!" serempak teman-temannya menyoraki karena Ayu gagal menangkap kupu-kupu. Ayu hanya cengar-cengir menyambut reaksi teman-temannya. Bola plastik berhenti menggelinding tepat di sisi pagar. Bocah-bocah laki-laki tidak mengejarnya lagi. Mereka berdiri di tempat masing-masing, memandang seorang yang berpakaian seragam pegawai negeri. Anak-anak perempuan berbuat hal serupa. Tapi, Ayu tak peduli. Ia penasaran. Kupu-kupu itu hendak ditangkapnya. Seorang petugas dari kantor kecamatan memasuki halaman. Ayu tak mengacuhkan. Dengan penuh rasa penasaran ia mengejar kupu-kupu itu. Tapi... "Hup!" Ayu menabrak si petugas kecamatan. Ayu menatap wajah petugas berbaju kuning itu dengan takut. Beragam reaksi ditunjukkan teman-temannya. Ada yang tertawa. Ada yang takut-takut. Seorang bocah dengan telanjang dada, mengenakan celana pendek yang resletingnya terbuka, dan di bawah hidungnya mengalir ingus, memandang petugas itu sambil mulutnya cengar-cengir. "Siapa namamu, anak manis?" tanya petugas kecamatan. Ayu tak menjawab. Ia tetap berdiri terpaku. "Bapak ada?" tanya pegawai itu. Ayu menggelengkan kepala. Rasa takut itu kian dalam. Akhirnya ia lari masuk ke dalam rumah. Dan, tak lama kemudian, bocah berumur lima tahun itu kembali lagi. Ia tidak sendirian. Ayu menggandeng tangan kiri Hamdan, kakeknya. Bocah-bocah kembali meneruskan permainannya. "Oh, ada tamu rupanya," kata kakek. "Silakan masuk, Pak." Dengan tertatih-tatih dan diiringi cucunya, Kakek Hamdan kembali masuk rumah. Pegawai kecamatan itu menyusul di belakangnya. "Rupanya sampeyan priyayi, ya?" tebak Kakek Hamdan. Sejenak petugas itu terpana. Lalu, ia pun menjawab, "Saya Seno, Kek. Petugas kecamatan." "Ada keperluan apa, Pak Petugas?" tanya Kakek Hamdan. "Ini, saya membawa surat edaran...." Pegawai kecamatan membuka map, mengeluarkan sepucuk surat lengkap dengan logo dan stempel kecamatan. "Sayang sekali, saya tidak bisa baca," tukas Kakek Hamdan. "Kalau begitu biar saya bacakan saja," kata Seno sambil membuka surat edaran. Lalu, ia membacakan dengan suara mantap. Tak lama kemudian, petugas kecamatan itu pergi dengan diiringi pandangan mata polos anak-anak. Tujuh puluh tiga tahun usia Kakek Hamdan. Rambutnya sudah beruban. Putih seluruhnya. Tak tersisa satu helai pun. Kulit keriput kasar. Kedua alisnya yang tebal itu juga telah putih keperak-perakan. Tulang pipinya menonjol dan pipinya menjorok ke dalam. Ada bercak hitam bulat sebesar uang logam di pipi kanan. Hidungnya tidak mancung dan agak menukik, sehingga kedua lubang hidungnya hampir-hampir tidak menghadap ke bawah, tapi ke depan. Dagunya agak lancip. Jenggot putih yang hanya beberapa helai itu masih setia melekat di kulit dagunya. Lehernya agak jenjang dengan urat-urat yang melintang, membujur, dan berkelok-kelok. Jakunnya terlihat jelas; muncul di antara kulit leher yang keriput kasar. Bibirnya hitam pucat dan tidak terlalu tebal. Dan, matanya itu...melek atau merem tak ada bedanya. Jika melek yang terlihat yang warna putih pucat. Bila merem, hanya kelopak mata yang keriput kehitam-hitaman itu yang tampak. Seratus enam puluh tujuh meter tinggi badannya. Tubuhnya kurus dibalut kulit kering keriput. Tulang-tulang rusuknya menonjol, tampak rapi berjajar. Perutnya tipis, bahkan tampak menjorok ke dalam. Kedua lengannya seperti menggantung lemas di pundak. Dan, kedua kakinya kurus dengan tulang yang tak kukuh. Telapak kakinya kasar dan pecah-pecah. Jalannya terbongkok-bongkok dan harus pakai tongkat--sejak kecil ia memang senantiasa ditemani tongkat. Selama tujuh puluh tiga tahun itu, ia tidak pernah melihat terangnya matahari, cantiknya rembulan, warna bunga mawar di halaman rumah, wajah istrinya sendiri. Yang dia tahu --kata orang, sih-- bintang itu berwarna hijau, banteng berwarna merah, dan pohon beringin kuning. Baru-baru ini, ia mendengar dari radio, televisi, maupun bisik-bisik tetangga bahwa seluruh kota berwarna kuning. Ajaib. Sayang, ia tak bisa membayangkan betapa seluruh pelosok kota berwarna kuning. Tembok-tembok kuning, pagar halaman rumah penduduk kuning, pohon di pinggir jalan dicat kuning, tiang listrik kuning, jalan aspal yang semula hitam disulap jadi kuning. Celoteh anak-anak kembali menyusup ke telinga Kakek Hamdan. Begitu merdu. Sayang sekali, ia tak bisa menyaksikan betapa lucunya tingkah polah mereka, betapa riang wajah-wajah mereka, dan demikian indah sinar mata mereka. Kini, Kakek Hamdan duduk terpaku. Di antara nyanyian dan celoteh bocah-bocah, ia merenungkan imbauan--lebih tepatnya perintah--dari kantor kecamatan, yakni mengecat pagar, tembok, dan genteng rumahnya dengan warna kuning! Ia tak menyadari ketika sang cucu sudah berdiri di sampingnya. Kupu-kupu kuning terjepit di antarra jemarinya. "Kek, Ayu dapat kupu-kupu," lapor Ayu. Sang kakek diam saja. "Kek," panggil Ayu sambil menepuk pundak kakeknya. "Kok, Kakek diam aja. Memangnya ada apa, Kek?" tanya Ayu dengan tatapan mata polos. Sayang sekali Kakek Hamdan tak bisa menyaksikan kepolosan tatapan mata Ayu. Tapi ia bisa merasakannya. "Kita disuruh mengecat pagar," jawab sang kakek. "Lho, pagar rumah kita kan sudah dicat putih. Kok, disuruh ngecat lagi." Sang cucu heran. "Disuruh ngecat kuning." "Apa bedanya, Kek?" "Mana kakek tahu. Kakek tak bisa membedakan warna kuning dan putih." Kakek Hamdan tampak merenung. Ia seakan menyesali diri, mengapa ia dilahirkan dalam keadaan cacat: buta. Sehingga, ia tak bisa melihat bintang di langit berwarna hijau, banteng di hutan berwarna merah, dan pohon beringin kuning. Dan, yang paling ia sesalkan, ia tak bisa melihat wajah Pemimpin Agung yang sangat dipuja-puja rakyat. "Wah, pagar sudah bagus-bagus dicat putih kok harus dicat lagi. Ayu nggak suka kuning, Kek. Jelek. Silau. Bagusan putih. Bersih," cerocos sang cucu yang belum sekolah itu. "Kakek nggak bisa membedakan mana yang bagus. Yang penting kita ikuti saja anjuran pemerintah. Biar nggak dituduh membangkang," ujar Kakek Hamdan. "Kita tunggu bapakmu saja, ya. Biar dia yang beli cat." Ayu diam sejenak. Kedua bibirnya mengatup rapat dan jajaran gigi atas dan bawah saling menekan. Matanya bulat berkilau. Barangkali Ayu sedang berpikir keras: apa artinya membangkang. "Pemimpin Agung itu baik. Baik sekali," kata Hamdan. "Siapa itu, Kek?" tanya Ayu ingin tahu. "Pemimpin kita." "Kakek pernah bertemu?" Kakek Hamdan menggelengkan kepala. Raut wajahnya tampak sedih. Lagi-lagi ia menyesali diri, mengapa ia dilahirkan dalam keadaan buta, sehingga ia tak bisa melihat wajah sang Pemimpin Agung. Dunianya hanyalah kegelapan yang sempurna. Hari-harinya senantiasa gelap. Hitam pekat. Tak pernah ia mengenal warna. Api itu panas, tapi ia tak tahu apa warna api. Langit itu biru atau mendung itu kelabu. Ah, segalanya pekat. Hari-harinya ia nikmati apa adanya. Tapi, ia merasa masih beruntung. Ia merasa punya kelebihan yang tak dimiliki kebanyakan orang. Penciumannya tajam sekali, melebihi penciuman anjing yang buta sekali pun. Dan, indra keenamnya tajam sekali. Ia segera bisa mengetahui bila di hadapannya ada orang berniat jahat. Yang lebih penting lagi indra keenamnya mengatakan bahwa Pemimpin Agung itu sangat bijaksana, melindungi rakyatnya alias pengayom, berhati mulia, berjiwa kesatria. Tetapi sayang, ia tidak pernah melihat bagaimana wajah Pemimpin Agung. Yah, di pengujung usianya, sebelum maut merenggutnya, ia punya satu keinginan: melihat dari dekat sang Pemimpin Agung. Hari-hari terus berlalu seperti air yang mengalir tanpa terbendung. Dan, kepekatan pun tak pernah berakhir. Sementara itu, demi mewujudkan keinginan untuk yang terakhir kalinya, Kakek Hamdan berdoa siang dan malam agar dibukakan matanya walau hanya satu menit untuk melihat sang Pemimpin Agung. Kerinduan pun kian menggebu. Ia hampir tidak tahan. Setiap hari ia mendengar berita dan laporan dari radio atau dari perbincangan tetangga. Semua mengatakan bahwa Pemimpin Agung sangat bijaksana, adil, melindungi rakyatnya dari segala macam gangguan, hambatan, rintangan. Luar biasa, rakyat sangat patuh. Segala perintahnya bagai sabda nabi yang wajib dipatuhi. Jika beliau mengimbau rakyatnya untuk menulis slogan di atap rumah, tak satu pun yang membangkang. Bila Paduka Pemimpin Agung menghendaki seluruh rakyat mempelajari ajaran saktinya, maka seluruh sekolah, pesantren, kantor kelurahan sampai pegawai gubernuran bahkan departemen mempelajari dan mengamalkannya. Anak-anak TK sudah diwajibkan untuk menghafal pokok-pokok ajarannya, membacakan di depan kelas dan saat hendak tidur pun mesti dibacakan. Kakek Hamdan sangat menyesal tidak bisa membaca pokok-pokok ajaran Pemimpin Agung. Kadang, di tengah malam yang hening, Kakek Hamdan menangis. Air mata keluar dari kelopak matanya yang keropos. Mengapa ia dilahirkan dalam keadaan buta, sehingga tak bisa mengikuti segala anjuran Pemimpin Agung. Pada suatu hari, beberapa orang tetangga datang berkunjung. Saat itu Kakek Hamdan ditemani sang cucu tercinta, Ayu. "Kek, besok lusa kita harus datang ke alun-alun," lapor Tunggono, salah seorang tetangga. "Pemimpin Agung akan datang." "Oh, betulkah?" Mulut Kakek Hamdan melongo. Hatinya berbunga-bunga. "Beliau akan berkotbah," timpal Sumirah, istri Tunggono. "Tentang apa?" tanya Kakek. "Tentang keluarga sehat, keluarga berencana, wajib belajar, dan lain-lain. Kita semua harus datang, Kek," tandas Tunggono. "Ya, ya, pasti saya datang. Ayu temani Kakek, ya," kata Kakek Hamdani kepada cucunya. "Ayu nggak mau, ah!" Ayu menggelengkan kepala dengan mantap. Raut wajahnya kecut. Tak bergairah. "Kenapa?" tanya Kakek. "Ayu nggak kenal siapa itu Pemimpin Agung. Mendingan Ayu main sama teman-teman," elak Ayu tegas. "Biar ditemani Bapakmu saja, jika kamu tidak mau." Kakek Hamdan tampak kecewa berat. "Bapak kan belum selesai ngecat," tukas Ayu. "Lho, kenapa belum selesai. Sudah satu minggu lebih ngecat kok nggak rampung-rampung?" Kakek Hamdan marah. "Bapak malas, sih. Katanya enggan," kata Ayu apa adanya sambil membelai boneka di pelukannya. "Mana Bapakmu sekarang?" tanya kakeknya. "Tuh, di halaman," ujar Ayu. "Ayu main dulu, Kek." Dan, Ayu pun berlari ke halaman. Marjono, ayah Ayu sedang menenteng kaleng cat di tangan kanan dan tangan kirinya menggenggam kuas. Ia menuju pagar halaman. Tak lama kemudian, ia sudah larut dalam aktivitas mengecat pagar. Ayu menghampiri. "Ayu suka warna ini?" Marjono menunjukkan kaleng cat kepada anaknya. "Suka sekali, Pak." Mata Ayu berbinar cerah. "Memangnya ini warna apa?" Marjono menguji anak tunggalnya itu. "Merah!" jawab Ayu tanpa sedikit pun rasa ragu. "Tepat sekali." "Memangnya pagar ini mau dicat merah, Pak?" "Betul. Bagian atas merah, bagian bawah tetap putih," jawab lelaki berusia 35 tahun ini. "Seperti bendera kita, Pak," cetus Ayu spontan. "Benar. Ayu makin pintar sekarang." "Bagus, Pak. Ayu suka sekali," sambut Ayu gembira. "Nah, kita harus berbeda dengan yang lain. Kalau semuanya serba kuning, nggak bagus. Bapak juga nggak suka warna kuning. Silau," tutur Marjono sambil memulai aktivitasnya, mencelupkan kuas ke dalam kaleng cat. Sementara itu, semua warga kota tengah sibuk mempersiapkan penyambutan Pemimpin Agung. Umbul-umbul dipasang di beberapa tempat. Panggung didirikan di tengah alun-alun. Selokan dibersihkan dari segala kotoran. Rumput-rumput yang tumbuh liar di pinggir jalan dibersihkan. Ibu-ibu PKK, hansip, sampai anak-anak sekolah dasar juga dikerahkan untuk menyambut Pemimpin Agung. Kakek Hamdan pun mempersiapkan diri menyambut Pemimpin Agung dengan caranya sendiri. Ia berdoa dan terus berdoa. Tak mau makan, tidak mandi, dan tidak tidur. Di dalam kamarnya ia bersimpuh di atas tikar, menengadahkan tangan dan kepala. Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa. "Tuhan, aku iklas mataku buta sepanjang hidupku. Kini, hanya satu permintaanku, sebelum aku mati.Tuhan, bukalah mataku satu menit saja, agar aku bisa melihat Pemimpin Agung besok pagi," ucap Kakek Hamdan khidmat. Detik demi detik seperti halnya nadi yang berdenyut teratur, bagaikan penantian yang tak pernah berakhir. Waktu begitu lambat. Lambat sekali. Dan, penantian di malam itu, seperti bisul yang menanti pecah, tapi belum saatnya tiba; seperti kehamilan yang belum saatnya melahirkan jabang bayi. Benaknya penuh dengan harapan: melihat senyum ramah, mata bening sejuk, dan wajah penuh kedamaian dari sang Pemimpin Agung. Kakek Hamdan sudah tidak sabar. Ya, kesabaran Kakek Hamdan harus diuji malam itu. Ia akan mempertaruhkan tujuh puluh tiga tahun dengan satu menit, esok pagi. Fajar menyingsing. Warna merah tembaga semburat di ufuk timur. Hari cerah. Di pagi itu, Kakek Hamdan sudah berdandan: mengenakan baju batik yang baru saja dibelikan oleh anak sulungnya, celana hitam, dan kakinya dibalut sepatu hitam. Tak lupa, peci hitam yang juga masih baru menutupi kepalanya. Marjono beserta istri akan menemani Kakek Hamdan ke alun-alun. Ayu turut serta, walau dengan berat hati. Seluruh warga kota akan hadir. Laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua, bahkan kakek-nenek dianjurkan untuk datang. Alun-alun sudah ramai, ketika matahari mulai menyembulkan diri di langit timur. Kakek Hamdan sudah berada di tempat. Tepat di depan panggung. Telinga Kakek Hamdan mendengar segala keriuhan warga kota yang memadati alun-alun. Di antara suara-suara itu ada yang menyentak hatinya. Suara itu berasal dari belakang punggunya. Tentu dari orang yang duduk di belakangnya. "Pemimpin Agung sudah menjadi Dewa!" kata seseorang. "Ya, beliau memang Dewa. Segala rintangan bisa diatasi. Segala bentuk kejahatan bisa ditumpas demi melindungi rakyatnya. Kemakmuran dan kesejahteraan bisa kita nikmati. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja," sambut yang lain. Kakek Hamdan semakin penasaran, bagaimanakah rupa "seorang" Dewa? Ia senantiasa berdoa, jika Pemimpin Agung nanti muncul di atas panggung, Tuhan akan membukakan matanya agar bisa menyaksikan wajah sang Pemimpin Agung yang telah menjadi Dewa. Anak-anak sekolah dasar berbaris rapi. Di tangan mereka ada bendera kecil-kecil. Bendera merah putih. Mereka menyanyikan lagu-lagu pujian. Ah, tetapi kenapa iramanya sumbang dan terdengar nyeri di telinga? pikir Kakek Hamdan. Nyanyian anak-anak itu tidak seperti yang biasa ia dengar di halaman rumahnya. Kenapa tidak terkandung kepolosan, keluguan, dan kejujuran? Mengapa Pemimpin Agung disambut dengan nyanyian yang demikian sumbang dan seperti dibuat-buat? Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Semua orang yang hadir meneriakkan kata-kata pujian. Nyanian anak-anak sekolah dasar terdengar semakin nyaring, namun di telinga Hamdan terdengar makin sumbang. Tentu sang Pemimpin Agung sudah berada di panggung, pikir Kakek Hamdan. "Hebat. Wajah Paduka Pemimpin Agung begitu damai dan ramah," puji seseorang di belakang Kakek Hamdan. "Betapa tampan dan berwibawa," komentar yang lain. Kakek Hamdan tersentak. Tiba-tiba Ayu menubruk dada Kakek Hamdan dan menyusup ketakutan. "Kenapa cucuku?" tanya Hamdan. "Kek, Ayu takut, Kek. Wajahnya penuh darah. Mulutnya itu, Kek. Penuh darah. Kita pulang saja, Kek," ujar Ayu di antara rasa takutnya yang makin menjadi-jadi. "Hus! Jangan berkata begitu," kibas kakeknya. Dalam hati Kakek Hamdan berdoa: Tuhan berilah kesempatan satu menit saja. Bukalah mataku. Dan, keajaiban pun muncul. Kakek Hamdan mendongakkan kepalanya ke panggung. Pelan-pelan hitam pekat di hadapannya sepertinya luntur dan terlihat cahaya. Ia pun bisa menyaksikan pemandangan di hadapannya, walau hanya sesosok tubuh manusia. Kakek Hamdan terbelalak. Ia melihat orang tua beruban di atas panggung. Tangannya berlumur darah. Giginya bertaring dan di ujung taring itu juga berlumur darah. Sinar matanya tajam dan bengis. Di kepalanya ada sepasang tanduk. Dan, wajah Pemimpin Agung di hadapannya mirip monster. Mata Kakek Hamdan kembali mengatup. Dalam hati ia berkata, lebih baik menjadi orang buta yang bisa menyaksikan wajah yang sesungguhnya seorang pemimpin daripada orang melek yang sesungguhnya buta melihat kepalsuan seorang pemimpin. "Kita pulang saja, Ayu. Kamu benar," kata Kakek Hamdan beranjak pergi di antara kerumunan warga kota yang menyesaki alun-alun. Dengan digandeng oleh Marjono dan Ayu, Kakek Hamdan akhirnya terhindar dari sesaknya menusia. Sesampai di rumah Kakek Hamdan duduk terdiam di atas kursi di teras rumahnya. Ia tak habis merenung dan termenung. Ia menyesal sekali. Tujuh puluh tiga tahun dikotori hanya dengan satu menit. Lebih baik tetap dalam kegelapan yang sempurna daripada menyaksikan pemandangan yang menjijikkan. Ia telah benar-benar tertipu, ataukah orang-orang tak bisa melihat keadaan yang sesungguhnya sosok Pemimpin Agung? Siapakah sesungguhnya yang buta? Dirinya ataukah orang lain? Atau mungkin semua orang telah terbutakan matanya untuk melihat kenyataan yang sebenarnya. Jika demikian, lantas siapakah yang membutakan mata mereka? Orang yang menamakan dirinya Pemimpin Agung? Diakah yang membutakan mereka? Yah, orang menganggap bahwa Pemimpin Agung telah menjelma menjadi Dewa, dan sebagai Dewa pastilah ia mampu berbuat segalanya, termasuk membutakan semua orang tentang realitas. Celoteh, canda, dan nyanyian anak-anak kembali terdengar. Lamunan Kakek Hamdan pun buyar. Telinganya ia pasang dengan tajam. Celoteh dan nyanyian anak-anak itu begitu mengelus hatinya yang sedang gundah. Lebih baik aku mendengarkan suara anak-anak yang polos dan jujur, kata Kakek Hamdan dalam hati. Kakek Hamdan terus saja menyimak celoteh dan tembang kanak-kanak. Tetapi, kian lama, suara yang masuk ke telinganya makin lirih dan akhirnya ia tak mendengar apa-apa. Sementara itu, di halaman rumah anak-anak terus bermain dengan riang gembira. Dan, Ayu telah lupa pada pengalaman menjijikkan menyaksikan monster di atas panggung di alun-alun kota. Ia benar-benar larut dalam permainan pasar-pasaran dengan teman sebayanya. Saking larutnya, ia tak menyadari adanya bahaya mengancam. Sekelompok orang berseragam mennyatroni rumahnya. Anak-anak laki-laki yang sedang main lempar-melempar bola plastik segera bubar ketakutan. Dan, Ayu serta teman-temannya pun baru tersadar. Mereka berdiri dengan tatapan mata tak mengerti dan takut. Beberapa bocah lari bersembunyi. Ketika beberapa orang petugas keamanan memasuki halaman rumah, bocah-bocah lari terbirit-birit ketakutan. Tinggal Ayu sendiri yang masih berdiri mematung. Dalam benaknya yang masih bersih itu timbul berbagai pertanyaan: mengapa mereka datang? Untuk apa? Apa kesalahan kami? "Mana bapak dan kakekmu?" tanya seorang komandan petugas keamanan setengah membentak.. Ayu diam. Sinar matanya tajam menembus mata petugas. "Mana bapak dan kakekmu!" ulang komandan petugas keamanan. Ayu melihat dengan jelas, di wajah para tamu tak diundang itu sebuah pemandangan mengerikan. Ia melihat bayangan monster di mata komandan petugas itu. Ayu ngeri. Tak lama kemudian ayah Ayu, Marjono, muncul dan menghadapi aparat keamanan. "Bapak mencari siapa?" sapa Marjono. "Kami mencari Saudara Marjono dan Hamdan," ujar sang komandan. "Mencari saya dan bapak saya? Ada apa? Apa kesalahan kami?" Marjono merasa heran. "Kalian pembangkang! Siapa suruh mengecat rumah dan pagar dengan warna merah putih? Bukankah kalian disuruh mengecat dengan warna kuning? Kalian ditangkap!" Suara petugas itu bagai petir yang menyambar kepala Marjono; menusuk kuping. Keras dan lantang sekali kedengarannya. Sayang sekali Kakek Hamdan tak mendengarnya. Dan, ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia telah kembali ke alam keabadian dengan membawa dua sisi kenyataan: sebentuk penyesalan karena telah menyaksikan monster menjijikan, dan sekaligus sebuah anugerah, karena ia telah diberi karunia untuk menyaksikan realitas sesungguhnya dari seorang pemimpin dengan mata hatinya. * * * Cikini, Jakarta, 1997 [puisi] [novel] [sinetron] [skripsi] [profil] |