I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line
 I 
catatan harian I surat-surat I proses kreatif I
I artikel I komentar & resensi] I berita I

 

The Collected Stories and Others

Home I EnglishI

MY NOVELS:

abrlorong.JPG (9170 bytes)

Lorong Tanpa Cahaya
(Yogyakarta: Media Pressindo,1999)
Bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran....

menolak.JPG (9181 bytes)

Menolak Panggilan Pulang
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000)
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar...

TAPOL
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002)
Berlatar sejarah G30S, 1965, yang sarat kekejaman: penculikan para jenderal, pembantaian kader dan simpatisan PKI. Seorang bintara AU yang terlibat Gestok....
Resensi Tapol 
Komentar tentang Tapol



Harga Seorang Wanita
(Jakarta: Dastan Books, 2006)
Ini adalah dunia laki-laki. Dunia di mana hak, kebahagiaan, dan juga perempuan adalah milik laki-laki. Ya, perempuan hanyalah....

Kirim Komentar 

 

 

 

 


 

Google

 

Abebooks.com - Because You Read.


PRD dan Gerakan untuk Perubahan
(Catatan seorang mantan sekjen SMID)

Sebuah pekik "Cabut Paket Lima Undang-Undang Politik" mengumandang di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa. Kemudian disusul nyanyian perjuangan "Kita Pasti Menang". Dan, seorang mahasiswa sambil mengacungkan tangan berteriak, "Hanya satu kata: lawan!"

Jargon-jargon tersebut mengingatkan kita pada sebuah kelompok aktivis prodemokrasi yang menamakan dirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan, jargon-jargon itu digunakan dalam demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi total, di saat pentolan PRD meringkuk di penjara. Adakah hubungan antara PRD dan gerakan mahasiswa '98?

Sejarah Singkat Terbentuknya PRD
Pada akhir tahun 80-an, di sebuah rumah di Kota Yogya, sekelompok anak muda yang tergabung dalam sebuah kelompok diskusi sedang berdebat tentang teori keterbelakangan. Sementara itu, di sudut Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), sejumlah aktivis pers mahasiswa sedang berdiskusi tentang politik. "Diskusi terus, kapan aksinya," celetuk salah seorang di antara mereka.

Ya, proses awal telah dijalani. Anak-anak muda yang berstatus mahasiswa itu tengah belajar banyak hal tentang masyarakat. Mereka tahu bahwa di sekelilingnya terjadi ketidakadilan. Di sebuah tempat yang bernama Kedungombo, petani dipaksa pindah dengan ganti rugi murah. Lalu, mahasiswa-mahasiswa yang kritis itu melakukan aksi solidaritas.

Sebagai sarana pengorganisasian dan mobilisasi, mereka membentuk Komite Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO). Cukup beragam anggota komite itu: mahasiswa dari Yogya, Solo, Salatiga.

Pada saat lain, beberapa orang aktivis Kelompok Diskusi Palagan ditangkap lalu diadili. Mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Yogya melakukan demonstrasi memprotes penangkapan dan pengadilan tersebut.

Aksi-aksi mahasiswa mulai marak saat itu, setelah sekian lama dibungkam oleh Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan--kebijakan depolitisasi yang dibuat Menteri Daoed Joesoef. Mereka berdemonstrasi menyatakan solidaritas: terhadap penduduk yang digusur, mahasiswa yang diadili karena sikap kritisnya, pembersihan para tukang becak di Jakarta.

Mereka pun membuat organisasi sebagai sarana perjuangan: Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). FKMY terus melakukan aksi, baik aksi di sektor petani (penggusuran-penggusuran) maupun di sektor mahasiswa (soal SPP, dll). Pada tahun 1991, beberapa bulan setengah mengadakan kongres yang pertama, FKMY mengalami perpecahan. Aktivis dari UGM, UII, dan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa pada November 1991 (ketika Ngarto Februana dan Satya Widodo dari Komite Pembelaan Mahasiswa UGM mogok makan menentang SMPT) membentuk SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta). Adapun aktivis dari Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Janabadra, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta IAIN Sunan Kalijaga membentuk Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY).

Selain itu, sejumlah aktivis mahasiswa membentuk Komite Rakyat (KR) yang menggarap sektor petani. Sugeng Bahagijo, Budiman Sudjatmiko, Webi Warouw, Yuli Eko Nugroho adalah tokoh-tokoh Komite Rakyat. SMY dan KR merupakan satu kesatuan yang saling bahu-membahu. Jika KR hendak melakukan aksi advokasi terhadap petani yang tergusur, KR mengajak SMY untuk mengadakan aksi bersama. Juga jika SMY mengadakan aksi di kampus, aktivis KR turut membantu.

Aktivis SMY dan KR memperluas jaringan ke kota-kota lain. Pada tahun 1992 aktivis dari SMY, Solo, dan Jakarta membentuk Student Solidarity for Democracy in Indonesia (SSDI). SSDI dibentuk di Puncak, Bogor, pada acara Student Media Workshop yang diprakarsai oleh Asian Student Asociation (ASA).

SSDI dan KR serta LPB (Lembaga Pengembangan Budaya) terus mengelar aksi-aksi mengangkat sejumlah isu. Pada tahun 1993, SSDI mengadakan kongres pertama di Sleman Yogyakarta. Pada kongres itulah dibentuk kepengurusan SSDI dan diputuskan nama SSDI digunakan untuk di luar negeri, sedangkan di dalam negeri digunakan nama SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi).

Beberapa bulan menjelang pembredelan TEMPO, DeTIK, dan Editor, aktivis SMID dan KR mengadakan kongres mendirikan organisasi "payung" Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai oleh Sugeng Bahagijo. PRD versi Sugeng Bahagijo ternyata tidak berlangsung lama, karena di dalamnya terdapat bibit-bibit perpecahan. Daniel Indra Kusuma dan Webi Warouw (anggota kolektif inti yang tidak masuk dalam kepengurusan PRD) menilai Sugeng terlalu moderat. Maka, perpecahan pun tidak terelakkan.

Sebelum perpecahan itu terjadi, di tubuh SMID diadakan pembersihan dari unsur-unsur moderat. Dalam kongres luar biasa SMID di Puncak pada Juli 1994, Ngarto Februana selaku Sekjen SMID didepak dan digantikan Munif Laredo sebagai ketua dan Fernando sebagai sekjen. Pada akhirnya Fernando pun didepak dan digantikan oleh Petrus.

Perpecahan benar-benar terjadi. Kelompok Sugeng mengadakan kongres pada Agustus 1995 di Wisma Tempo, Puncak, Bogor, untuk membentuk Pergerakan Demokrat Indonesia (PaDI) dengan ketua Deni Agus Dwiyanto dan Sekjen Ngarto Februana. Sementara itu, kelompok Daniel pun mengadakan kongres membentuk Partai Rakyat Demokratik (PRD) dengan ketua Budiman Sudjatmiko.

Militansi dan Radikalisme
Aktivis PRD memiliki militansi yang tangguh. Militansi ini dibentuk melalui aksi-aksi massa dan pendidikan politik-ideologi. Seorang kader--mereka menggunakan istilah organizer--dalam merekrut "anggota" baru melakukan berbagai pendekatan sesuai dengan level sang calon anggota. Terhadap mahasiswa pencinta alam, mereka melakukan pendekatan berbeda dibanding ketika mereka mendekati mahasiswa aktivis pers mahasiswa, aktivis kelompok studi, atau mahasiswa biasa. Demikian juga di sektor petani dan buruh ataupun kaum miskin kota. Pendekatannya tentu berbeda ketika harus merekrut calon dari sektor mahasiswa.

Di sektor mahasiswa, PRD menggunakan isu-isu yang menyangkut kepentingan mahasiswa, yakni hak-hak mahasiswa dan kesejahteraan mahasiswa. Misalnya di UGM, awal tahun 90-an, mereka membentuk Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM-UGM) yang memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mahasiswa: menuntut perbaikan perpustakaan, menuntut pengadaan kantor senat dan sekretariat himpunan jurusan, memprotes pungutan uang Persatuan Orang Tua Mahasiswa (Potma), memperjuangkan organisasi mahasiswa yang independen. Untuk organisasi ini, sejak awal mereka menentang keberadaan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) karena SMPT dinilai tidak lebih dari NKK/BKK; SMPT tidak independen dan tidak mampu memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Karena itu, mereka menuntut dibentuknya dewan mahasiswa yang bertugas untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mahasiswa; bukan sekadar mengadakan pentas seni, pertandingan, atau seminar-seminar. Organisasi mahasiswa independen, menurut KPM, adalah organisasi yang representatif mewakili mahasiswa; dari, oleh, dan untuk mahasiswa; bebas dari campur tangan rektor; dan yang penting memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mahasiswa. KPM UGM pernah mengadakan aksi mogok makan untuk menentang SMPT.

Di sektor buruh, PRD mengangkat isu upah, cuti haid, dan serikat buruh independen. Dan, di sektor petani, mereka mengangkat isu-isu penggusuran, hak atas tanah, dan serikat petani sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan petani.

Aksi bagi mereka bukan sekadar sarana untuk menuntut atau memprotes sesuatu, tetapi juga sangat penting untuk meningkatkan militansi dan radikalisme. Dan, aksi berfungsi sebagai pendidikan politik secara konkret. Melalui aksi, peserta dihadapkan secara langsung tentang realitas yang sesungguhnya. Jika tuntutan aksi tidak dipenuhi, peserta mendapat pelajaran bahwa pemerintah tidak akomodatif, tidak mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat. Bila aksi berhasil, peserta aksi akan memperoleh pelajaran bahwa metode aksi ternyata efektif untuk memperjuangkan sesuatu.

Bentrokan dengan aparat dalam aksi massa juga sangat penting untuk meningkatkan militansi dan radikalisme. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada diri peserta aksi jika terjadi bentrokan. Pertama, peserta akan jatuh mentalnya dan trauma sehingga tidak ingin mengikuti aksi lagi. Kemungkinan kedua, mereka justru semakin militan. Kemungkinan kedua inilah yang sering terjadi pada aktivis PRD. Metode aksi ini juga dipergunakan sebagai parameter untuk mengukur seberapa jauh tingkat militansi anggota.

Selain aksi, kader-kader PRD secara terus-menerus, dalam setiap kesempatan, dan dalam keseharian, memberikan pendidikan politik-ideologi kepada anggota. Teori-teori tentang masyarakat diberikan. Dan, yang penting, pada diri anggota ditanamkan cita-cita masyarakat ideal yang sejahtera, adil, demokratis, dan egaliter. Cita-cita itulah yang merupakan "ideologi" yang mengikat anggota, dan cita-cita itu betul-betul ditanamkan dan diyakinkan kepada anggota akan keberhasilannya di masa depan.

Dalam meraih cita-cita itu, mereka memiliki konsep tahapan yang harus dilalui. Dalam konteks Indonesia, tahapan yang harus dilalui, pertama, adalah memperjuangkan sistem multipartai. Kendala yang harus digempur adalah Presiden Soeharto. Karena, Soeharto personifikasi rezim yang otoriter, yang anti-demokrasi. Selain itu, paket lima Undang-Undang Politik adalah peraturan yang menghalangi terbentuknya sistem multipartai. Jika tahapan ini sudah tercapai, partai-partai bisa muncul termasuk PRD. Dan, dengan sistem multipartai, tahap berikutnya yakni demokrasi liberal sudah sangat dekat.

Dalam demokrasi liberal, selain muncul partai-partai baru, ide-ide tentang tatanan masyarakat baru bisa dikumandangkan. Dan, dengan demikian ide-ide PRD pun bisa dikampanyekan. Tahap berikutnya setelah demokrasi liberal adalah tatanan masyarakat baru yang dicita-citakan PRD (ini tidak perlu aku jelaskan secara detail). Taktik dan Strategi Bagi PRD, taktik dan strategi merupakan istilah yang harus dibedakan. Taktik merujuk pada aksi-aksi baik secara langsung maupun tidak langsung mendukung strategi. Strategi PRD adalah tahapan-tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Contohnya begini, aksi menuntut pencabutan paket Undang-Undang Politik adalah sebuah taktik yang mendukung strategi tahap sistem multipartai.

Barisan Pelopor
Di sektor buruh, PRD menerjunkan aktivis-aktivisnya yang levelnya sudah tinggi (dinilai dari pemahaman politik-ideologi dan tingkat militansinya) ke sektor perburuhan. Organizer tersebut mengorganisasi buruh untuk membentuk serikat buruh independen. Tahapan yang dilakukan adalah membentuk komite di suatu pabrik yang terdiri dari buruh dan aktivis PRD. Komite ini mengadakan aksi-aksi yang berkaitan dengan kepentingan buruh. Di pabrik-pabrik lain juga dilakukan hal yang sama. Bagi PRD, buruh merupakan barisan pelopor karena buruh memiliki kekuatan tawar-menawar. Jika di suatu pabrik buruh melakukan mogok, pihak pengusaha akan menderita kerugian karena proses produksi terhenti. Bila itu dilakukan oleh seluruh buruh di Tanah Air, selama seminggu misalnya, perekonomian negara akan lumpuh karena proses produksi akan macet. Apalagi jika pemogokan juga dilakukan oleh buruh transportasi.

Berangkat dari Isu
Gerakan Mahasiswa 98 yang menuntut reformasi total bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Seperti telah disebutkan di atas, sejak awal tahun 90-an telah lahir gerakan mahasiswa. Yang penting untuk dicatat, gerakan mahasiswa awal dan pertengahan 90-an senantiasa melakukan aksi dan refleksi. Mereka senantiasa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan pada gerakan sebelumnya baik GM 66, 74, maupun GM 78. Kesadaran yang muncul pada GM 90-an adalah gerakan mahasiswa tidak sekadar menurunkan rezim, tetapi merombak sistem. Pergantian rezim jika tidak diikuti oleh pergantian sistem yang lebih baik, yang demokratis, dan berkeadilan adalah tidak mengubah sesuatu. Mereka beranggapan bahwa kalau Soeharto jatuh tapi kemudian digantikan oleh "Soeharto-Soeharto" yang lain, tidak akan mengubah keadaan. Karena itu, orientasi mereka bukan sekadar person, tapi sistem. Sistem yang dipraktikkan rezim Orde Baru adalah sistem yang berorientasi melanggengkan status quo. Karena orientasi itulah, penguasa menciptakan seperangkat infrastruktur guna mempertahankan status quo tersebut. Misalnya, paket lima Undang-Undang Politik, penggunaan UU Subversi, pasal-pasal karet

hatzaiartikelen, lembaga SIUPP (di bidang media massa cetak), dan lain-lain. Dan untuk mempertahankan status quo, pemerintah tidak segan-segan melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan kata lain, pada masa Orde Baru sesungguhnya tidak ada demokrasi.Karena itulah, isu-isu yang dibawakan oleh GM 90-an adalah isu-isu dalam kerangka demokratisasi.


Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.


 

Kesabaran Reformasi

Mengemukanya istilah reformasi sempat membuat  semua  orang gagap. Dalam masyarakat kita, istilah itu kurang "akrab" di telinga kita. Demikian juga istilah perubahan sosial, perubahan radikal, apalagi kata revolusi. Kedengarannya terasa seram. Maklum, selama 30 tahun ini, kita lebih  akrab dengan  istilah  pembangunan berkelanjutan, stabilitas nasional yang mantap, angka pertumbuhan tinggi, keamanan mantap dan terkendali, kebebasan bertanggung jawab, dan lain-lain.

Namun,   apa   lacur,  krisis   telanjur   terjadi.   Korban berjatuhan.  Perusahaan-perusahaan  pada bangkrut.  Para  pekerja terkena  pemutusan  hubungan kerja dan jum-lah  penganggur sudah  mencapai  13  juta.  Harga-harga  pun  melambung  sehingga kesengsaraan  rakyat  kian tak terperikan. Di kala  krisis  yang kian parah ini, reformasi menjadi keniscayaan.

Karena  krisis  pula, mahasiswa di seluruh  negeri  bergolak mengadakan demons-trasi menuntut reformasi di segala bidang.  Dan, karena  itu,  Presiden Soeharto pun mesti dipaksa  berhenti  dari jabatannya  sebagai prasyarat reformasi. Kini  istilah reformasi betul-betul populer. Semua orang saling berlomba-lomba  berbicara reformasi. Pejabat dan mantan pejabat pun tak  mau  ketinggalan. Sampai-sampai  di  pintu  dan dinding toko-toko,  stasiun  pompa bensin,  gedung, kantor-kantor terdapat tulisan  "kami mendukung reformasi"  yang ditambahi kata-kata "milik pribumi  muslim"--tak  jelas apakah  mereka  betul-betul mendukung  reformasi  ataukah karena takut  dijarah  massa.

Orang  merasa terhibur sekarang, ibarat orang terjaga dari mimpi buruk lalu melihat hari sudah terang. Keterbukaan mulai  mendapat tempat.  Sejumlah  tapol/napol dibebaskan.  Ruang  untuk  kritik disediakan, sehingga tak perlu lagi berbisik-bisik. Partai-partai baru  boleh berdiri termasuk partai di zaman Orde Lama.  TEMPO,  DeTIK, dan Editor, yang  sudah  mati dibredel, akan terbit lagi.

Tetapi, betulkah makna reformasi berarti dibebaskannya  para tapol  dan diboleh-kannya  partai baru  berdiri  dan  sebagainya? Ataukah   reformasi  berarti menghapus korupsi,   kolusi, dan nepotisme  di  kalangan pejabat dan pengusaha; sementara harga-harga kian tak terkendali dan penganggur makin tak jelas nasibnya?


 Chronicles


Reformasi Belum Selesai
Orang yang berharap, begitu Soeharto turun harga-harga  akan turut  turun,  pasti akan  kecewa  dengan  kenyataan  yang  ada. Ternyata  dolar  masih di atas 10.000, harga-harga  tak  kunjung  turun, sembilan  bahan  pokok menipis. Artinya, kondisi ekonomi kita setelah Soeharto turun belum membaik. Lalu, orang mulai berteriak: "Jangan omong politik terus, pikirkan ekonomi."

Krisis  di  Indonesia tidak separah Thailand  atau  Korea Selatan, apalagi Malaysia. Di Thailand, begitu terjadi suksesi, kondisi ekonomi  berangsur-angsur  pulih. Tahap  suksesi  kepemimpinan nasional memang harus  dilalui  untuk  sebuah reformasi. Tetapi, kondisi Indonesia memang berbeda.  Di  negeri ini  keadaannya  sudah sangat kronis,  tidak  hanya  di  bidang ekonomi,  tetapi hampir di segala bidang. Dan, reformasi ekonomi tidak akan jalan jika tidak diikuti dengan reformasi politik  dan hukum, karena ketiganya terkait erat.

Di bidang politik-pemerintahan, selama tiga puluh tahun ini, DPR  sebagai saluran  aspirasi  dan  lembaga  kontrol   terhadap eksekutif  tidak  mampu  menjalankan perannya.  Sementara   itu, depolitisasi  mengakibatkan kurangnya partisipasi politik rakyat dalam  rangka  turut melakukan kontrol. Ketiadaan  kontrol  telah memberi peluang terjadinya penyelewengan: kolusi, kolusi, dan nepotisme.   Dan, itu   berdampak buruk pada perekonomian.

Di bidang   hukum,  sejumlah   undang-undang  mengekang partisipasi   politik rakyat.  Kritik  dari  masyarakat   sering diartikan sebagai subversi dan dijerat dengan pasal-pasal  keret. Media  massa yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial  dihantui oleh pembredelan.

Reformasi  memang  harus menyeluruh, untuk  itu  dibutuhkan "kesabaran reformasi". Tahapan suksesi sudah kita lampaui dan ini wajar  jika diikuti oleh ketidakstabilan politik untuk  sementara waktu. Jika sebagian potensi dicurahkan untuk melakukan perbaikan di  bidang  hukum,  bukan berarti melupakan  ekonomi.  Juga  jika masyarakat  menginginkan sidang umum atau pemilu, itu  pun  tidak berarti  melupakan kesengsaraan rakyat yang  ditekan  meroketnya harga-harga.

Perbaikan  ekonomi  yang kita inginkan  bukan  untuk  jangka pendek,  melainkan untuk seterusnya. Karena  itu,  perlu  sebuah tatanan  baru  yang  kukuh. Untuk mewujudkan  pemerintahan  yang bersih   dan  berwibawa  serta   memiliki   legitimasi--sehingga dipercaya  rakyat dan luar negeri--memang butuh biaya dan  waktu. Karena  itu sidang umum dan pemilu mesti dilakukan  walau  butuh biaya  besar. Demikian juga, penyusunan undang-undang  baru  yang memungkinkan rakyat turut melakukan kontrol.

Kalau   semua  itu  terwujud,  niscaya   perekonomian   bisa dikembangkan. Kolusi, korupsi, dan nepotisme  yang  selama  ini menggerogoti  perekonomian  bisa dihapus.  Paling  tidak  ditekan seminimal  mungkin.  Karena, rakyat (melalui  DPR, partai-partai politik,  ormas, dan pers) diberi ruang untuk  melakukan  kontrol untuk menghindari segala bentuk penyelewengan. Juga, jika kita  memiliki pemerintahan  yang bersih, berwibawa,  memperhatikan  hak  asasi manusia,  luar  negeri  akan percaya  dan investor akan  masuk.


 TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG


Politik Cakar-Cakaran

Reformasi politik juga berarti pendewasaan dalam  berpolitik dan berdemokrasi. Dalam rangka reformasi, pemerintah  mengizinkan berdirinya sejumlah partai politik. Maka, bermunculan partai baru dan partai lama pada zaman Orde Lama yang membawa aliran berbeda-beda. Adalah  hak rakyat untuk  berorganisasi,  berserikat,  dan berkumpul serta  mengeluarkan  pendapat. Jika partai-partai tersebut benar-benar berguna bagi proses demokratisasi, tidak ada salahnya  jika tetap diberi tempat. Artinya, partai-partai politik dimaksimalkan sebagai partisipasi politik  rakyat  dan sebagai sarana kontrol bagi eksekutif serta untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Tetapi,  kalau munculnya sejumlah partai politik  itu  sekadar romantisme masa lalu dan untuk "cakar-cakaran", itu menjadi bumerang bagi reformasi—sesuatu yang kontra-produktif.  Kita akan  kembali  ke zaman Orde Lama yang  penuh  dengan pertikaian politik.  Jika ini terjadi, bukan saja celah demokrasi yang mulai terkuak akan tertutup kembali, tapi bisa jadi tatanan yang kukuh bagi perbaikan ekonomi tidak terwujud. Dan, kita akan menyesali diri, lalu memulai lagi dari awal yang tentu akan lebih berat.

Kegagapan dengan terbukanya celah demokrasi mesti dikendalikan. Reformasi belum selesai dan karena itu dibutuhkan "kesabaran".

 



I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyrights©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Designed by Ngarto Februana

1