PRD dan Gerakan untuk Perubahan
(Catatan seorang mantan sekjen SMID)Sebuah pekik "Cabut Paket Lima Undang-Undang
Politik" mengumandang di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa. Kemudian disusul
nyanyian perjuangan "Kita Pasti Menang". Dan, seorang mahasiswa sambil
mengacungkan tangan berteriak, "Hanya satu kata: lawan!"
Jargon-jargon tersebut mengingatkan kita pada sebuah
kelompok aktivis prodemokrasi yang menamakan dirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan,
jargon-jargon itu digunakan dalam demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi total, di saat
pentolan PRD meringkuk di penjara. Adakah hubungan antara PRD dan gerakan mahasiswa '98?
Sejarah Singkat Terbentuknya PRD
Pada akhir tahun 80-an, di sebuah rumah di Kota Yogya, sekelompok anak muda yang
tergabung dalam sebuah kelompok diskusi sedang berdebat tentang teori keterbelakangan.
Sementara itu, di sudut Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), sejumlah aktivis pers
mahasiswa sedang berdiskusi tentang politik. "Diskusi terus, kapan aksinya,"
celetuk salah seorang di antara mereka.
Ya, proses awal telah dijalani. Anak-anak muda yang
berstatus mahasiswa itu tengah belajar banyak hal tentang masyarakat. Mereka tahu bahwa di
sekelilingnya terjadi ketidakadilan. Di sebuah tempat yang bernama Kedungombo, petani
dipaksa pindah dengan ganti rugi murah. Lalu, mahasiswa-mahasiswa yang kritis itu
melakukan aksi solidaritas.
Sebagai sarana pengorganisasian dan mobilisasi, mereka
membentuk Komite Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO). Cukup beragam
anggota komite itu: mahasiswa dari Yogya, Solo, Salatiga.
Pada saat lain, beberapa orang aktivis Kelompok Diskusi
Palagan ditangkap lalu diadili. Mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Yogya
melakukan demonstrasi memprotes penangkapan dan pengadilan tersebut.
Aksi-aksi mahasiswa mulai marak saat itu, setelah sekian
lama dibungkam oleh Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan--kebijakan
depolitisasi yang dibuat Menteri Daoed Joesoef. Mereka berdemonstrasi menyatakan
solidaritas: terhadap penduduk yang digusur, mahasiswa yang diadili karena sikap
kritisnya, pembersihan para tukang becak di Jakarta.
Mereka pun membuat organisasi sebagai sarana perjuangan:
Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). FKMY terus melakukan aksi, baik aksi di
sektor petani (penggusuran-penggusuran) maupun di sektor mahasiswa (soal SPP, dll). Pada
tahun 1991, beberapa bulan setengah mengadakan kongres yang pertama, FKMY mengalami
perpecahan. Aktivis dari UGM, UII, dan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa pada November
1991 (ketika Ngarto Februana dan Satya Widodo dari Komite Pembelaan Mahasiswa UGM mogok
makan menentang SMPT) membentuk SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta). Adapun aktivis
dari Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Janabadra, dan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) serta IAIN Sunan Kalijaga membentuk Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta
(DMPY).
Selain itu, sejumlah aktivis mahasiswa membentuk Komite
Rakyat (KR) yang menggarap sektor petani. Sugeng Bahagijo, Budiman Sudjatmiko, Webi
Warouw, Yuli Eko Nugroho adalah tokoh-tokoh Komite Rakyat. SMY dan KR merupakan satu
kesatuan yang saling bahu-membahu. Jika KR hendak melakukan aksi advokasi terhadap petani
yang tergusur, KR mengajak SMY untuk mengadakan aksi bersama. Juga jika SMY mengadakan
aksi di kampus, aktivis KR turut membantu.
Aktivis SMY dan KR memperluas jaringan ke kota-kota lain.
Pada tahun 1992 aktivis dari SMY, Solo, dan Jakarta membentuk Student Solidarity for
Democracy in Indonesia (SSDI). SSDI dibentuk di Puncak, Bogor, pada acara Student Media
Workshop yang diprakarsai oleh Asian Student Asociation (ASA).
SSDI dan KR serta LPB (Lembaga Pengembangan Budaya) terus
mengelar aksi-aksi mengangkat sejumlah isu. Pada tahun 1993, SSDI mengadakan kongres
pertama di Sleman Yogyakarta. Pada kongres itulah dibentuk kepengurusan SSDI dan
diputuskan nama SSDI digunakan untuk di luar negeri, sedangkan di dalam negeri digunakan
nama SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi).
Beberapa bulan menjelang pembredelan TEMPO, DeTIK, dan
Editor, aktivis SMID dan KR mengadakan kongres mendirikan organisasi "payung"
Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai oleh Sugeng Bahagijo. PRD versi Sugeng
Bahagijo ternyata tidak berlangsung lama, karena di dalamnya terdapat bibit-bibit
perpecahan. Daniel Indra Kusuma dan Webi Warouw (anggota kolektif inti yang tidak masuk
dalam kepengurusan PRD) menilai Sugeng terlalu moderat. Maka, perpecahan pun tidak
terelakkan.
Sebelum perpecahan itu terjadi, di tubuh SMID diadakan
pembersihan dari unsur-unsur moderat. Dalam kongres luar biasa SMID di Puncak pada Juli
1994, Ngarto Februana selaku Sekjen SMID didepak dan digantikan Munif Laredo sebagai ketua
dan Fernando sebagai sekjen. Pada akhirnya Fernando pun didepak dan digantikan oleh
Petrus.
Perpecahan benar-benar terjadi. Kelompok Sugeng
mengadakan kongres pada Agustus 1995 di Wisma Tempo, Puncak, Bogor, untuk membentuk
Pergerakan Demokrat Indonesia (PaDI) dengan ketua Deni Agus Dwiyanto dan Sekjen Ngarto
Februana. Sementara itu, kelompok Daniel pun mengadakan kongres membentuk Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dengan ketua Budiman Sudjatmiko.
Militansi dan Radikalisme
Aktivis PRD memiliki militansi yang tangguh. Militansi ini dibentuk melalui aksi-aksi
massa dan pendidikan politik-ideologi. Seorang kader--mereka menggunakan istilah
organizer--dalam merekrut "anggota" baru melakukan berbagai pendekatan sesuai
dengan level sang calon anggota. Terhadap mahasiswa pencinta alam, mereka melakukan
pendekatan berbeda dibanding ketika mereka mendekati mahasiswa aktivis pers mahasiswa,
aktivis kelompok studi, atau mahasiswa biasa. Demikian juga di sektor petani dan buruh
ataupun kaum miskin kota. Pendekatannya tentu berbeda ketika harus merekrut calon dari
sektor mahasiswa.
Di sektor mahasiswa, PRD menggunakan isu-isu yang
menyangkut kepentingan mahasiswa, yakni hak-hak mahasiswa dan kesejahteraan mahasiswa.
Misalnya di UGM, awal tahun 90-an, mereka membentuk Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM-UGM)
yang memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mahasiswa: menuntut perbaikan perpustakaan,
menuntut pengadaan kantor senat dan sekretariat himpunan jurusan, memprotes pungutan uang
Persatuan Orang Tua Mahasiswa (Potma), memperjuangkan organisasi mahasiswa yang
independen. Untuk organisasi ini, sejak awal mereka menentang keberadaan Senat Mahasiswa
Perguruan Tinggi (SMPT) karena SMPT dinilai tidak lebih dari NKK/BKK; SMPT tidak
independen dan tidak mampu memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Karena itu, mereka menuntut
dibentuknya dewan mahasiswa yang bertugas untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan
mahasiswa; bukan sekadar mengadakan pentas seni, pertandingan, atau seminar-seminar.
Organisasi mahasiswa independen, menurut KPM, adalah organisasi yang representatif
mewakili mahasiswa; dari, oleh, dan untuk mahasiswa; bebas dari campur tangan rektor; dan
yang penting memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mahasiswa. KPM UGM pernah mengadakan
aksi mogok makan untuk menentang SMPT.
Di sektor buruh, PRD mengangkat isu upah, cuti haid, dan
serikat buruh independen. Dan, di sektor petani, mereka mengangkat isu-isu penggusuran,
hak atas tanah, dan serikat petani sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan petani.
Aksi bagi mereka bukan sekadar sarana untuk menuntut atau
memprotes sesuatu, tetapi juga sangat penting untuk meningkatkan militansi dan
radikalisme. Dan, aksi berfungsi sebagai pendidikan politik secara konkret. Melalui aksi,
peserta dihadapkan secara langsung tentang realitas yang sesungguhnya. Jika tuntutan aksi
tidak dipenuhi, peserta mendapat pelajaran bahwa pemerintah tidak akomodatif, tidak mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Bila aksi berhasil, peserta aksi akan memperoleh
pelajaran bahwa metode aksi ternyata efektif untuk memperjuangkan sesuatu.
Bentrokan dengan aparat dalam aksi massa juga sangat
penting untuk meningkatkan militansi dan radikalisme. Ada dua kemungkinan yang terjadi
pada diri peserta aksi jika terjadi bentrokan. Pertama, peserta akan jatuh mentalnya dan
trauma sehingga tidak ingin mengikuti aksi lagi. Kemungkinan kedua, mereka justru semakin
militan. Kemungkinan kedua inilah yang sering terjadi pada aktivis PRD. Metode aksi ini
juga dipergunakan sebagai parameter untuk mengukur seberapa jauh tingkat militansi
anggota.
Selain aksi, kader-kader PRD secara terus-menerus, dalam
setiap kesempatan, dan dalam keseharian, memberikan pendidikan politik-ideologi kepada
anggota. Teori-teori tentang masyarakat diberikan. Dan, yang penting, pada diri anggota
ditanamkan cita-cita masyarakat ideal yang sejahtera, adil, demokratis, dan egaliter.
Cita-cita itulah yang merupakan "ideologi" yang mengikat anggota, dan cita-cita
itu betul-betul ditanamkan dan diyakinkan kepada anggota akan keberhasilannya di masa
depan.
Dalam meraih cita-cita itu, mereka memiliki konsep
tahapan yang harus dilalui. Dalam konteks Indonesia, tahapan yang harus dilalui, pertama,
adalah memperjuangkan sistem multipartai. Kendala yang harus digempur adalah Presiden
Soeharto. Karena, Soeharto personifikasi rezim yang otoriter, yang anti-demokrasi. Selain
itu, paket lima Undang-Undang Politik adalah peraturan yang menghalangi terbentuknya
sistem multipartai. Jika tahapan ini sudah tercapai, partai-partai bisa muncul termasuk
PRD. Dan, dengan sistem multipartai, tahap berikutnya yakni demokrasi liberal sudah sangat
dekat.
Dalam demokrasi liberal, selain muncul partai-partai
baru, ide-ide tentang tatanan masyarakat baru bisa dikumandangkan. Dan, dengan demikian
ide-ide PRD pun bisa dikampanyekan. Tahap berikutnya setelah demokrasi liberal adalah
tatanan masyarakat baru yang dicita-citakan PRD (ini tidak perlu aku jelaskan secara
detail). Taktik dan Strategi Bagi PRD, taktik dan strategi merupakan istilah yang harus
dibedakan. Taktik merujuk pada aksi-aksi baik secara langsung maupun tidak langsung
mendukung strategi. Strategi PRD adalah tahapan-tahapan seperti yang telah disebutkan di
atas. Contohnya begini, aksi menuntut pencabutan paket Undang-Undang Politik adalah sebuah
taktik yang mendukung strategi tahap sistem multipartai.
Barisan Pelopor
Di sektor buruh, PRD menerjunkan aktivis-aktivisnya yang levelnya sudah tinggi (dinilai
dari pemahaman politik-ideologi dan tingkat militansinya) ke sektor perburuhan. Organizer
tersebut mengorganisasi buruh untuk membentuk serikat buruh independen. Tahapan yang
dilakukan adalah membentuk komite di suatu pabrik yang terdiri dari buruh dan aktivis PRD.
Komite ini mengadakan aksi-aksi yang berkaitan dengan kepentingan buruh. Di pabrik-pabrik
lain juga dilakukan hal yang sama. Bagi PRD, buruh merupakan barisan pelopor karena buruh
memiliki kekuatan tawar-menawar. Jika di suatu pabrik buruh melakukan mogok, pihak
pengusaha akan menderita kerugian karena proses produksi terhenti. Bila itu dilakukan oleh
seluruh buruh di Tanah Air, selama seminggu misalnya, perekonomian negara akan lumpuh
karena proses produksi akan macet. Apalagi jika pemogokan juga dilakukan oleh buruh
transportasi.
Berangkat dari Isu
Gerakan Mahasiswa 98 yang menuntut reformasi total bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul.
Seperti telah disebutkan di atas, sejak awal tahun 90-an telah lahir gerakan mahasiswa.
Yang penting untuk dicatat, gerakan mahasiswa awal dan pertengahan 90-an senantiasa
melakukan aksi dan refleksi. Mereka senantiasa belajar untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan pada gerakan sebelumnya baik GM 66, 74, maupun GM 78. Kesadaran yang
muncul pada GM 90-an adalah gerakan mahasiswa tidak sekadar menurunkan rezim, tetapi
merombak sistem. Pergantian rezim jika tidak diikuti oleh pergantian sistem yang lebih
baik, yang demokratis, dan berkeadilan adalah tidak mengubah sesuatu. Mereka beranggapan
bahwa kalau Soeharto jatuh tapi kemudian digantikan oleh "Soeharto-Soeharto"
yang lain, tidak akan mengubah keadaan. Karena itu, orientasi mereka bukan sekadar person,
tapi sistem. Sistem yang dipraktikkan rezim Orde Baru adalah sistem yang berorientasi
melanggengkan status quo. Karena orientasi itulah, penguasa menciptakan seperangkat
infrastruktur guna mempertahankan status quo tersebut. Misalnya, paket lima Undang-Undang
Politik, penggunaan UU Subversi, pasal-pasal karet
hatzaiartikelen, lembaga SIUPP (di bidang media massa
cetak), dan lain-lain. Dan untuk mempertahankan status quo, pemerintah tidak segan-segan
melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan kata lain, pada masa Orde Baru
sesungguhnya tidak ada demokrasi.Karena itulah, isu-isu yang dibawakan oleh GM 90-an
adalah isu-isu dalam kerangka demokratisasi.
Kesabaran Reformasi
Mengemukanya istilah reformasi
sempat membuat semua orang gagap. Dalam masyarakat kita, istilah itu kurang
"akrab" di telinga kita. Demikian juga istilah perubahan sosial, perubahan
radikal, apalagi kata revolusi. Kedengarannya terasa seram. Maklum, selama 30
tahun ini, kita lebih akrab dengan istilah pembangunan berkelanjutan,
stabilitas nasional yang mantap, angka pertumbuhan tinggi, keamanan mantap dan terkendali,
kebebasan bertanggung jawab, dan lain-lain.
Namun, apa lacur, krisis
telanjur terjadi. Korban berjatuhan.
Perusahaan-perusahaan pada bangkrut. Para pekerja terkena
pemutusan hubungan kerja dan jum-lah penganggur sudah mencapai
13 juta. Harga-harga pun melambung sehingga
kesengsaraan rakyat kian tak terperikan. Di kala krisis yang kian
parah ini, reformasi menjadi keniscayaan.
Karena krisis pula, mahasiswa di seluruh
negeri bergolak mengadakan demons-trasi menuntut reformasi di segala bidang.
Dan, karena itu, Presiden Soeharto pun mesti dipaksa berhenti
dari jabatannya sebagai prasyarat reformasi. Kini istilah reformasi
betul-betul populer. Semua orang saling berlomba-lomba berbicara reformasi. Pejabat
dan mantan pejabat pun tak mau ketinggalan. Sampai-sampai di pintu
dan dinding toko-toko, stasiun pompa bensin, gedung, kantor-kantor
terdapat tulisan "kami mendukung reformasi" yang ditambahi kata-kata
"milik pribumi muslim"--tak jelas apakah mereka
betul-betul mendukung reformasi ataukah karena takut dijarah
massa.
Orang merasa terhibur sekarang, ibarat orang
terjaga dari mimpi buruk lalu melihat hari sudah terang. Keterbukaan mulai mendapat
tempat. Sejumlah tapol/napol dibebaskan. Ruang untuk kritik
disediakan, sehingga tak perlu lagi berbisik-bisik. Partai-partai baru boleh berdiri
termasuk partai di zaman Orde Lama. TEMPO, DeTIK, dan Editor,
yang sudah mati dibredel, akan terbit lagi.
Tetapi, betulkah makna reformasi berarti dibebaskannya
para tapol dan diboleh-kannya partai baru berdiri dan
sebagainya? Ataukah reformasi berarti menghapus korupsi,
kolusi, dan nepotisme di kalangan pejabat dan pengusaha; sementara
harga-harga kian tak terkendali dan penganggur makin tak jelas nasibnya?
Reformasi Belum Selesai
Orang yang berharap, begitu Soeharto turun harga-harga akan turut turun,
pasti akan kecewa dengan kenyataan yang ada. Ternyata
dolar masih di atas 10.000, harga-harga tak kunjung turun,
sembilan bahan pokok menipis. Artinya, kondisi ekonomi kita setelah Soeharto
turun belum membaik. Lalu, orang mulai berteriak: "Jangan omong politik terus,
pikirkan ekonomi."
Krisis di Indonesia tidak separah Thailand
atau Korea Selatan, apalagi Malaysia. Di Thailand, begitu terjadi suksesi,
kondisi ekonomi berangsur-angsur pulih. Tahap suksesi kepemimpinan
nasional memang harus dilalui untuk sebuah reformasi. Tetapi, kondisi
Indonesia memang berbeda. Di negeri ini keadaannya sudah sangat
kronis, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi hampir di
segala bidang. Dan, reformasi ekonomi tidak akan jalan jika tidak diikuti dengan reformasi
politik dan hukum, karena ketiganya terkait erat.
Di bidang politik-pemerintahan, selama tiga puluh tahun
ini, DPR sebagai saluran aspirasi dan lembaga kontrol
terhadap eksekutif tidak mampu menjalankan perannya.
Sementara itu, depolitisasi mengakibatkan kurangnya partisipasi
politik rakyat dalam rangka turut melakukan kontrol. Ketiadaan kontrol
telah memberi peluang terjadinya penyelewengan: kolusi, kolusi, dan nepotisme.
Dan, itu berdampak buruk pada perekonomian.
Di bidang hukum, sejumlah
undang-undang mengekang partisipasi politik rakyat.
Kritik dari masyarakat sering diartikan sebagai subversi dan
dijerat dengan pasal-pasal keret. Media massa yang berfungsi sebagai alat
kontrol sosial dihantui oleh pembredelan.
Reformasi memang harus menyeluruh, untuk
itu dibutuhkan "kesabaran reformasi". Tahapan suksesi sudah kita
lampaui dan ini wajar jika diikuti oleh ketidakstabilan politik untuk
sementara waktu. Jika sebagian potensi dicurahkan untuk melakukan perbaikan di
bidang hukum, bukan berarti melupakan ekonomi. Juga
jika masyarakat menginginkan sidang umum atau pemilu, itu pun
tidak berarti melupakan kesengsaraan rakyat yang ditekan
meroketnya harga-harga.
Perbaikan ekonomi yang kita inginkan
bukan untuk jangka pendek, melainkan untuk seterusnya. Karena
itu, perlu sebuah tatanan baru yang kukuh. Untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
serta memiliki legitimasi--sehingga dipercaya rakyat
dan luar negeri--memang butuh biaya dan waktu. Karena itu sidang umum dan
pemilu mesti dilakukan walau butuh biaya besar. Demikian juga,
penyusunan undang-undang baru yang memungkinkan rakyat turut melakukan
kontrol.
Kalau semua itu terwujud,
niscaya perekonomian bisa dikembangkan. Kolusi, korupsi, dan
nepotisme yang selama ini menggerogoti perekonomian bisa
dihapus. Paling tidak ditekan seminimal mungkin. Karena,
rakyat (melalui DPR, partai-partai politik, ormas, dan pers) diberi ruang
untuk melakukan kontrol untuk menghindari segala bentuk penyelewengan. Juga,
jika kita memiliki pemerintahan yang bersih, berwibawa, memperhatikan
hak asasi manusia, luar negeri akan percaya dan
investor akan masuk.
TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG
Politik Cakar-Cakaran
Reformasi politik juga berarti pendewasaan dalam berpolitik
dan berdemokrasi. Dalam rangka reformasi, pemerintah mengizinkan berdirinya sejumlah
partai politik. Maka, bermunculan partai baru dan partai lama pada zaman Orde Lama yang
membawa aliran berbeda-beda. Adalah hak rakyat untuk berorganisasi,
berserikat, dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat. Jika
partai-partai tersebut benar-benar berguna bagi proses demokratisasi, tidak ada salahnya
jika tetap diberi tempat. Artinya, partai-partai politik dimaksimalkan sebagai
partisipasi politik rakyat dan sebagai sarana kontrol bagi eksekutif serta
untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Tetapi, kalau munculnya sejumlah partai politik
itu sekadar romantisme masa lalu dan untuk "cakar-cakaran", itu
menjadi bumerang bagi reformasisesuatu yang kontra-produktif. Kita akan
kembali ke zaman Orde Lama yang penuh dengan pertikaian politik.
Jika ini terjadi, bukan saja celah demokrasi yang mulai terkuak akan tertutup
kembali, tapi bisa jadi tatanan yang kukuh bagi perbaikan ekonomi tidak terwujud. Dan,
kita akan menyesali diri, lalu memulai lagi dari awal yang tentu akan lebih berat.
Kegagapan dengan terbukanya celah demokrasi mesti
dikendalikan. Reformasi belum selesai dan karena itu dibutuhkan "kesabaran".
|