I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line
 I 
catatan harian I surat-surat I proses kreatif I
I artikel I komentar & resensi] I berita I

 

The Collected Stories and Others

Home I EnglishI

MY NOVELS:

abrlorong.JPG (9170 bytes)

Lorong Tanpa Cahaya
(Yogyakarta: Media Pressindo,1999)
Bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran....

menolak.JPG (9181 bytes)

Menolak Panggilan Pulang
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000)
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar...

TAPOL
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002)
Berlatar sejarah G30S, 1965, yang sarat kekejaman: penculikan para jenderal, pembantaian kader dan simpatisan PKI. Seorang bintara AU yang terlibat Gestok....
Resensi Tapol 
Komentar tentang Tapol



Harga Seorang Wanita
(Jakarta: Dastan Books, 2006)
Ini adalah dunia laki-laki. Dunia di mana hak, kebahagiaan, dan juga perempuan adalah milik laki-laki. Ya, perempuan hanyalah....

Kirim Komentar 

 

 

 

 


 

Google

 

Abebooks.com - Because You Read.

 


 TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG



Resensi 136
(pernah dimuat di tabloid DeTAK)

Sastra Indonesia dalam Keprihatinan

Judul Buku     : Sastra dalam Empat Orba

Penulis          : Agus R. Sarjono

Penerbit        : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, Februari 2001

Tebal            : xv + 321 halaman

Sastra Indonesia ibarat anak tiri di negeri sendiri. Ratapan demi ratapan menyertai perjalanan sastra kita dari masa ke masa. Buku ini secara cermat mencatat keperihan sastra kita.

Sastra tidak lahir dari kekosongan. Mengutip pendapat ilmuwan sastra Inggris, M.H. Abrams, dalam bukunya The Miror and  The  Lamb:  Romantik Theory and The Critical Tradition, sastra mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Karena itu, untuk memahami suatu karya sastra kadang diperlukan pemahaman tentang situasi dan kondisi pada saat karya itu diciptakan. Demikian pula untuk mengenali kecenderungan sastra dari masa ke masa, pemahaman mengenai zaman ketika sastra itu lahir sangatlah penting.


Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.


Buku ini cukup lengkap mencatat dan mengulas bagaimana kondisi sosial politik bangsa ini turut mempengaruhi sastra. Memang, hubungan sastra dan kondisi zaman yang melahirkannya sudah banyak ditulis. Juga hubungan sastra dengan politik dan kekuasaan sering menjadi bahan perbicaraan di forum-forum ilmiah. Bahkan, pada Oktober tahun lalu, misalnya, Pertemuan Ilmiah Nasional  XI Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, di Solo, membahas tema sentral "Sastra, Ideologi, Politik, dan Kekuasaan”.

Tetapi ada hal baru dalam buku ini, yakni berkaitan dengan sastra, Orde Baru dibagi menjadi empat masa. Secara cermat, penulis buku ini, Agus R. Sarjono, mencatat bahwa setiap masa ditandai oleh kondisi sosial politik yang berpengaruh terhadap penciptaan karya sastra. Masa yang pertama disebutnya Orde Baru I. Bahasan pengajar pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, ini  tentang kecenderungan sastra pada awal Orde Baru ini, sesungguhnya, tak berbeda dengan ahli sastra yang lain; Teeuw dan Keith Foulcher, misalnya. Pada masa itu, dinamika dan partisipasi politik masyarakat demikian tinggi. Pers yang selama Orde Lama dibungkam, diizinkan kembali terbit. Dunia kesenian pun mempunyai ruang dengan dibangunnya Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta. Dan, pada saat itulah lahir banyak sastrawan unggul.

Namun masa “makmur” itu tidak berlangsung lama. Masa selanjutnya, yakni era 80-an yang disebut Orde Baru II, sastra berada di tengah lingkungan masyarakat yang mengalami proses depolitisasi. Aktivitas sosial-politik mahasiswa “ditertibkan”, dan mahasiswa sepenuhnya dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari aktivitas politik praktis lewat NKK/BKK. Dalam pada itu, indoktrinasi berupa penataran P4, politik stabilitas, asas tunggal, merupakan lingkungan tempat sastrawan era 80-an hidup.
 


 Chronicles


Di tengah situasi semacam itu, para sastrawan era 80-an dengan berbekal landas estetis era 70-an tergiring masuk ke wilayah yang “sunyi”. Tuhan mulai dipanggil untuk hadir ke kamar-kamar sunyi para penyair. Tidak mengherankan jika era 80-an ditandai oleh dominannya sajak-sajak ketuhanan dan kecenderungan sufistik (hal. 82).

Pada era 90-an, Orde Baru III, ditandai oleh kecenderungan besar pada keterbukaan; perhatian terhadap hak asasi manusia; upaya pemberian otonomi pada perguruan tinggi; security approach mulai dipertanyakan keabsahannya, dan mulai diperkenalkan prosperity approach. Namun belum lagi semua ini berjalan mulus, Orde Baru III segera memasuki Orde Baru IV yang ditandai oleh pembredelan Tempo, Detik, Editor. Orde Baru IV ini pada dasarnya kembali pada gelagat Orde Baru II, sementara persoalan dan situasi yang dihadapi tidak lagi sama dengan masa Orde Baru II. Di tengah situasi semacam inilah para sastrawan generasi 90-an muncul. Sebagian dari mereka melanjutkan estetika sebelumnya, namun dengan latar sosial politik yang berbeda. Mereka dibesarkan sebagai massa mengambang secara politik, sementara pada saat yang sama mereka berada bukan hanya pada posisi tidak seiring sejalan dengan pemerintah, bahkan bertentangan.

 RATAPAN KEPRIHATINAN

Membaca beberapa bab dalam buku ini seperti mendengar sebuah “ratapan”. Dan memang perjalanan sastra Indonesia penuh dengan ratapan. Pada bab 1, kita sudah dihadapkan pada ratapan mengenai kondisi pengajaran sastra di sekolah. Ini juga dibahas lebih lanjut pada bab 18. Pengajaran sastra di sekolah sebenarnya memiliki peluang untuk meningkatkan kemampuan apresiasi dan minat siswa terhadap sastra. Tetapi, kendala yang dihadapi begitu banyak, termasuk kurikulum, ketersediaan buku, dan kemampuan guru.

Kritik sastra pun menjadi sorotan dalam buku ini. Pun dengan penuh ratapan. Kritik sastra dikatakan sedang mengalami kegawatan dan nyaris mengalami kelumpuhan. Kegawatan ini bersebab banyak hal: terbatasnya jumlah dan kemampuan kritikus, ketersediaan media bagi pemuatan kritik. Dan situasi kritik sastra ini diperparah oleh sikap sastrawan yang mendua terhadap kritik sastra. Pada satu sisi sastrawan tampak membutuhkan kritik sastra, namun di sisi lain pandangan mereka terhadap kritik sastra sangatlah sinis.

Sementara itu, perhatian pemerintah terhadap sastra sangat kurang. Seperti anak tiri yang malang, sastra kita digambarkan seolah iri terhadap anak tetangga yang dimanja. Di Malaysia, pemerintahnya begitu menghargai sastranya. Ada hadiah Sasterawan Negara yang hadiahnya membuat ngiler dan sekaligus menempatkan sastrawan negara pada posisi terhormat sembari tetap memberi peluang bagi sang sastrawan untuk tetap bersikap kritis terhadap pemerintah. Demikian juga di Thailand yang secara rutin memberikan hadian Sea Write Award dari Ratu Sirikit.

Sebagai kumpulan karangan, dalam buku ini memang banyak pengulangan. Hal ini disadari oleh penulisnya, karena karangan-karangan itu berasal dari forum dan kepentingan yang berbeda-beda. Tetapi itu tidak mengurangi pentingnya buku ini untuk dibaca.

Buku ini perlu dibaca tidak hanya oleh masyarakat sastra (sastrawan, peminat sastra, mahasiswa dan dosen sastra). Tetapi juga penting dibaca oleh intelektual, para pejabat, elite politik, para pemimpin negeri ini. Paling tidak, kritik yang ditujukan untuk mereka bisa mengetuk hati agar mereka mau membaca sastra. Syukur jika pemerintah mau menghargai sastra, agar masyarakat pun mau mencintai sastra (supaya tidak terkutuk menjadi penonton telenovela).

 ngarto februana



I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyrights©2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Designed by Ngarto Februana

1