TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG
Resensi 136
(pernah dimuat di tabloid DeTAK)
Sastra Indonesia dalam Keprihatinan
Judul Buku :
Sastra dalam
Empat Orba
Penulis : Agus R. Sarjono
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya,
Yogyakarta, Februari 2001
Tebal : xv + 321 halaman
Sastra Indonesia ibarat anak tiri di
negeri sendiri. Ratapan demi ratapan menyertai
perjalanan sastra kita dari masa ke masa.
Buku ini secara cermat mencatat keperihan
sastra kita.
Sastra tidak lahir dari kekosongan.
Mengutip pendapat ilmuwan sastra Inggris, M.H. Abrams,
dalam bukunya The
Miror and The Lamb: Romantik
Theory and The Critical Tradition,
sastra mencerminkan masyarakatnya dan
secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan
masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Karena
itu, untuk memahami suatu karya sastra kadang diperlukan
pemahaman tentang situasi dan kondisi pada saat karya
itu diciptakan. Demikian pula untuk mengenali
kecenderungan sastra dari masa ke masa, pemahaman
mengenai zaman ketika sastra itu lahir sangatlah
penting.
Buku ini cukup lengkap mencatat dan
mengulas bagaimana kondisi sosial politik bangsa ini
turut mempengaruhi sastra. Memang, hubungan sastra dan
kondisi zaman yang melahirkannya sudah banyak ditulis.
Juga hubungan sastra dengan politik dan kekuasaan sering
menjadi bahan perbicaraan di forum-forum ilmiah. Bahkan,
pada Oktober tahun lalu, misalnya,
Pertemuan Ilmiah Nasional XI Himpunan
Sarjana Kesusastraan Indonesia, di Solo, membahas tema
sentral "Sastra, Ideologi, Politik, dan Kekuasaan”.
Tetapi ada hal baru dalam buku ini, yakni
berkaitan dengan sastra, Orde Baru dibagi menjadi empat
masa. Secara cermat, penulis buku ini, Agus R. Sarjono,
mencatat bahwa setiap masa ditandai oleh kondisi sosial
politik yang berpengaruh terhadap penciptaan karya
sastra. Masa yang pertama disebutnya Orde Baru I.
Bahasan pengajar pada Sekolah Tinggi Seni
Indonesia, Bandung, ini tentang kecenderungan sastra
pada awal Orde Baru ini, sesungguhnya, tak berbeda
dengan ahli sastra yang lain; Teeuw dan Keith Foulcher,
misalnya. Pada masa itu, dinamika dan partisipasi
politik masyarakat demikian tinggi. Pers yang selama
Orde Lama dibungkam, diizinkan kembali terbit. Dunia
kesenian pun mempunyai ruang dengan dibangunnya Taman
Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta. Dan, pada
saat itulah lahir banyak sastrawan unggul.
Namun masa “makmur” itu tidak berlangsung
lama. Masa selanjutnya, yakni era 80-an yang disebut
Orde Baru II, sastra berada di tengah lingkungan
masyarakat yang mengalami proses depolitisasi. Aktivitas
sosial-politik mahasiswa “ditertibkan”, dan mahasiswa
sepenuhnya dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari
aktivitas politik praktis lewat NKK/BKK. Dalam pada itu,
indoktrinasi berupa penataran P4, politik stabilitas,
asas tunggal, merupakan lingkungan tempat sastrawan era
80-an hidup.
Di tengah situasi semacam itu, para
sastrawan era 80-an dengan berbekal landas estetis era
70-an tergiring masuk ke wilayah yang “sunyi”. Tuhan
mulai dipanggil untuk hadir ke kamar-kamar sunyi para
penyair. Tidak mengherankan jika era 80-an ditandai oleh
dominannya sajak-sajak ketuhanan dan kecenderungan
sufistik (hal. 82).
Pada era 90-an, Orde Baru III, ditandai
oleh kecenderungan besar pada keterbukaan; perhatian
terhadap hak asasi manusia; upaya pemberian otonomi pada
perguruan tinggi; security approach mulai
dipertanyakan keabsahannya, dan mulai diperkenalkan
prosperity approach. Namun belum lagi semua ini
berjalan mulus, Orde Baru III segera memasuki Orde Baru
IV yang ditandai oleh pembredelan Tempo, Detik,
Editor. Orde Baru IV ini pada dasarnya kembali pada
gelagat Orde Baru II, sementara persoalan dan situasi
yang dihadapi tidak lagi sama dengan masa Orde Baru II.
Di tengah situasi semacam inilah para sastrawan generasi
90-an muncul. Sebagian dari mereka melanjutkan estetika
sebelumnya, namun dengan latar sosial politik yang
berbeda. Mereka dibesarkan sebagai massa mengambang
secara politik, sementara pada saat yang sama mereka
berada bukan hanya pada posisi tidak seiring sejalan
dengan pemerintah, bahkan bertentangan.
RATAPAN
KEPRIHATINAN
Membaca beberapa bab dalam buku ini
seperti mendengar sebuah “ratapan”. Dan memang
perjalanan sastra Indonesia penuh dengan ratapan. Pada
bab 1, kita sudah dihadapkan pada ratapan mengenai
kondisi pengajaran sastra di sekolah. Ini juga dibahas
lebih lanjut pada bab 18. Pengajaran sastra di sekolah
sebenarnya memiliki peluang untuk meningkatkan kemampuan
apresiasi dan minat siswa terhadap sastra. Tetapi,
kendala yang dihadapi begitu banyak, termasuk kurikulum,
ketersediaan buku, dan kemampuan guru.
Kritik sastra pun menjadi sorotan dalam
buku ini. Pun dengan penuh ratapan. Kritik sastra
dikatakan sedang mengalami kegawatan dan nyaris
mengalami kelumpuhan. Kegawatan ini bersebab banyak hal:
terbatasnya jumlah dan kemampuan kritikus, ketersediaan
media bagi pemuatan kritik. Dan situasi kritik sastra
ini diperparah oleh sikap sastrawan yang mendua terhadap
kritik sastra. Pada satu sisi sastrawan tampak
membutuhkan kritik sastra, namun di sisi lain pandangan
mereka terhadap kritik sastra sangatlah sinis.
Sementara itu, perhatian pemerintah
terhadap sastra sangat kurang. Seperti anak tiri yang
malang, sastra kita digambarkan seolah iri terhadap anak
tetangga yang dimanja. Di Malaysia, pemerintahnya begitu
menghargai sastranya. Ada hadiah Sasterawan Negara
yang hadiahnya membuat ngiler dan sekaligus
menempatkan sastrawan negara pada posisi terhormat
sembari tetap memberi peluang bagi sang sastrawan untuk
tetap bersikap kritis terhadap pemerintah. Demikian juga
di Thailand yang secara rutin memberikan hadian Sea
Write Award dari Ratu Sirikit.
Sebagai kumpulan karangan, dalam buku ini
memang banyak pengulangan. Hal ini disadari oleh
penulisnya, karena karangan-karangan itu berasal dari
forum dan kepentingan yang berbeda-beda. Tetapi itu
tidak mengurangi pentingnya buku ini untuk dibaca.
Buku ini perlu dibaca tidak hanya oleh
masyarakat sastra (sastrawan, peminat sastra, mahasiswa
dan dosen sastra). Tetapi juga penting dibaca oleh
intelektual, para pejabat, elite politik, para pemimpin
negeri ini. Paling tidak, kritik yang ditujukan untuk
mereka bisa mengetuk hati agar mereka mau membaca
sastra. Syukur jika pemerintah mau menghargai sastra,
agar masyarakat pun mau mencintai sastra (supaya tidak
terkutuk menjadi penonton telenovela).
ngarto
februana
|