Resensi Buku
Si Kotak Ajaib yang Dirundung Masalah
(Pernah dimuat di
Tabloid DeTAK)
I.
Judul : Televisi dan Intervensi Negara
Penulis : Hermin Indah Wahyuni
Kata Pengantar : Ashadi Siregar
Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta,
Cetakan I Mei 2000
Tebal : xxiv + 192
II.
Judul : Konstruksi Budaya Bangsa di Layar
Kaca
Penulis : Philip Kitley
Penerbit : LSPP.
ISAI, PT Media Lintas Inti Nusantara,
Jakarta, Cetakan I Juni 2001
Tebal : xxv + 436
==== ==== ===
Stasiun penyiaran televisi, baik televisi pemerintah
maupun swasta, senantiasa diliputi masalah. Persoalan
timbul akibat intervensi negara yang begitu kuat, juga
akibat fungsi, peran, dan pilihan orientasi.
==== ==== ===
Stasiun penyiaran televisi tak lepas dari
kekuasaan negara. TVRI ketika baru mengudara, dalam
konteks situasi politik saat itu, telah dipakai untuk
propaganda politik. Tradisi itu berlanjut hingga era
Orde Baru. Bahkan, ketika deregulasi penyiaran
digulirkan, yang membuka peluang berdirinya stasiun
televisi swasta, pemerintah (baca: penguasa) seperti
‘melepas kepalanya tetapi tetap memegangi ekornya’.
Hal ini terkait dengan daya pengaruh
televisi yang sangat luas pada masyarakat. Tetapi, hal
ini selalu menimbulkan perbenturan masalah yang
dilematis.
Kedua buku ini mengangkat topik seputar
masalah yang dihadapi pertelevisian kita. Buku pertama
ditulis oleh Hermin Indah Wahyuni, pengajar di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Adapun buku kedua ditulis oleh Philip
Kitley, pengajar pada University of Southern Queensland,
Australia. Bedanya, Wahyuni menggunakan dimensi politik
sebagai landasan analisis, sedangkan Kitley lebih
menekankan pada dimensi budaya.
TIGA PILAR SISTEM PENYIARAN
Wayuni membagi sistem penyiaran Indonesia
menjadi tiga pilar: TVRI, televisi swasta, dan Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI). Pilar pertama, TVRI,
difungsikan sebagai media yang menyalurkan informasi
pemerintah, yang pendanaannya berasal dari pemerintah.
Pilar kedua, televisi swasta, lebih cenderung
difungsikan sebagai entitas ekonomi yang dilepas pada
persaingan pasar. Dan, pilar ketiga, televisi
pendidikan, pengelolaannya diserahkan kepada swasta
dengan konsekuensi yang menyertainya.
Lantas bagaimana benturan persoalan yang
terjadi pada tiap-tiap pilar tersebut. Perbenturan yang
terjadi pada TVRI bersumber pada status ganda. Di satu
sisi ia berada di bawah Yayasan TVRI (diketuai oleh
presiden), sekaligus di sisi lain juga di bawah
direktorat televisi (di bawah Dirjen Radio Televisi dan
Film dan Departemen Penerangan). Masalah yang muncul
akibat status ganda ini, antara lain, timbul peluang
penyalahgunaan tertentu dengan mengatasnamakan Yayasan
TVRI. Selain itu, dalam posisinya yang mengemban misi
pemerintah, keberadaan TVRI lebih cenderung dianggap
sebagai humas pemerintah. Tetapi, ketika lahir televisi
swasta, yang menyediakan informasi dan tayangan yang
lebih digemari pemirsa, TVRI tak mampu bersaing.
Akibatnya TVRI ditinggalkan pemirsanya.
Sementara itu, televisi swasta dihadapkan
pada kekhawatiran negatif bila terjadi gegar budaya.
Tayangan televisi swasta—yang kini sudah
menasional—didominasi budaya metropolitan, dengan
perspektif metropolitan. Bila budaya metropolitan itu
terlalu cepat masuk ke desa-desa di seluruh Indonesia,
sedangkan pada sisi lain masyarakat masih belum siap,
inilah yang dikhawatirkan.
Adapun pada TPI, masalah yang timbul
disebabkan oleh posisinya sebagai media televisi
pendidikan, sementara itu TPI diperbolehkan menayangkan
iklan. Nah, jenis iklan manakah yang paling tepat untuk
ditayangkan TPI. Iklan yang justru menimbulkan
konsumtivisme dengan demonstration effect
dikhawatirkan akan menggagalkan misi mencerdaskan bangsa
yang diemban oleh TPI. Selain itu, TPI menghadapi banyak
kritik yang cukup keras, misalnya dominasi tayangan film
India dan hiburan yang sering terkesan kurang mendidik.
Sementara itu, intervensi negara terhadap pertelevisian
sangat besar. Pemerintah memiliki kewenangan sangat
besar dalam mempengaruhi perkembangan sebuah institusi
penyiaran swasta. Negara melalui pemerintahannya menjadi
pengendali yang demikian kuatnya untuk mengarahkan
institusi-institusi penyelenggaran penyiaran dalam
kinerja mereka (halaman 102).
PEMIRSA YANG DIIDEALKAN
Dalam buku Konstruksi Budaya Bangsa di
Layar Kaca ini, Philip Kitley menyoroti persoalan
pertelevisian Indonesia dari dimensi budaya. Ia
membaginya menjadi dua bagian. Bagian I mencermati
proses historis penggunaan televisi dalam menciptakan
dan membentuk bangsa yang sejalur dengan pembangunan
nasional dan tujuan-tujuan budaya. Bagian II menyoroti
perubahan-perubahan yang terjadi di sektor televisi
semenjak stasiun swasta pertama mulai bersiaran pada
tahun 1989.
Philip Kitley lebih memandang benturan
persoalan yang menerpa stasiun televisi disebabkan oleh
fungsi, peran, dan kebijakan pertelevisian. TVRI,
misalnya, dihadapkan pada ketegangan antara fungsi dan
peran televisi sebagai media propaganda pembangunan dan
stasiun yang lebih memanjakan pemirsa, menghibur, dan
memasok info internasional. Setiap kali pemerintah
mengeluarkan kebijakan, misalnya peluncuran satelit
Palapa dan pelarangan iklan di TVRI, maka terjadi
pergeseran televisi Indonesia ke dalam kendali negara
yang sangat ketat.
Yang menarik dari analisis Kitley adalah
permasalahan ‘pemirsa yang diidealkan’; apakah pemirsa
sebagai publik, pemirsa sebagai konsumen, dan pemirsa
sebagai warga negara aktif. Sejak berdirinya tahun 1962
sampai sekarang, konsepsi ‘pemirsa yang diidealkan’ pada
TVRI senantiasa berubah. Kitley antara lain mencatat,
setelah tahun 1972, sementara fungsi TVRI tetap sebagai
media komunikasi massa, pemirsa yang dibayangkan
bergeser dari massa tanpa bentuk menjadi massa yang
memiliki sesuatu yang bisa disumbangkan untuk
pembangunan nasional.
Sementara itu, pemirsa RCTI pada kurun
waktu 1989-1991, Kitley mencatat bahwa sejak awal
pemirsa RCTI lebih tampak seperti makhluk yang tumbuh
dari perdagangan ketimbang kebijakan. Bagaimanapun,
sebagai televisi swasta yang harus menghasilkan laba,
RCTI membayangkan pemirsanya sebagai sesuatu yang harus
direbut dan dipertahankan. RCTI harus menarik pemirsa
TVRI dan menggiringnya ke RCTI (halaman 102).
Akan halnya TPI, yang merupakan penyiaran
swasta dengan misi pendidikan umum, sasaran pemirsanya
kerap menimbulkan kritik. Pemirsa ideal TPI adalah
pemirsa yang menghormati dan menyadari perlunya
melengkapi pendidikan formal dengan televisi pendidikan.
Tetapi, ini menimbulkan kritik bahwa tujuan pendidikan
TPI tidak dipikirkan secara matang atau diuraikan secara
jelas. Demikian pula dengan ketidaktepatan penyusunan
waktu siaran, mengundang kritik: apakah pemirsa sasaran
TPI adalah pemirsa pendidikan, atau semata-mata pemirsa
umum yang bisa diarahkan demi keuntungan komersial.
Nah, bagi mereka yang ingin mengetahui
seputar pertelevisian Indonesia, kedua buku ini—yang
saling melengkapi satu sama lain—patut dibaca.
ngarto februana
TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG
|