Sastrawan Indonesia Terkemuka

Select language: [English] [Spanish] [French

  puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil  
I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi I berita I home

 

 

Maaf, browser anda tak mampu melihat applet.


Kirim Komentar
Gabung Mailing List
Favorite Link


Cetakan I Juni 1999; tebal 221, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta (Cetakan II, 2000)
Novel perdana Ngarto Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus melupakan segalanya....


Pengantar: Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman, harga Rp 18.000; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi pribadi?


Cetakan I September 2002; Cetakan II April 2003. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta 174 halaman.
 
Tapol merupakan novel yang didasari oleh fakta sejarah. Dan ini diolah oleh penulisnya dengan sangat baik. Dari situ kita dapat membaca sketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran peristiwa sejarah manusia Indonesia yang tragis, yaitu G30S/PKI, 1965. (Komentar Dr. Anhar Gonggong)

 

 































TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Abebooks.com - Because You Read.



High Tech



SKRIPSI NGARTO FEBRUANA

KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL NYALI KARYA PUTU WIJAYA
Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra

 

BAB IV

ASPEK SIMBOLIS DALAM NOVEL NYALI

 

Webster mengatakan bahwa simbol adalah sesuatu yang merujuk atau mengingatkan pada sesuatu yang lain karena alasan hubungan, asosiasi, konvensi atau kebetulan, tapi bukan sesuatu yang menyerupai; khususnya sebuah tanda yang menampakkan sesuatu yang tidak nampak, seperti ide, kualitas atau totalitas, misalnya negara atau gereja.337.

Kata simbol dan tanda (sign) secara umum bisa dipertukarkan, seperti dikatakan oleh William York Tindall:

Kata simbol dan tanda secara umum bisa dipertukarkan. Pada saat tertentu satu benda diartikan oleh tanda dan pada saat yang lain diartikan oleh simbol. Oleh sebab itu tanda memiliki arti referensi eksak, termasuk simbol, dan simbol mengandung arti sarana sugestif, termasuk tanda.ibid. hal 337.

Namun demikian kata simbol dan tanda memiliki perbedaan. Menurut William York Tindall, jika kita mengartikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah rujukan eksak, hal ini berarti menyangkut simbol, karena simbol adalah sebuah rujukan eksak juga. Perbedaannya terlihat bahwa sebuah tanda (sign) adalah sebuah rujukan eksak kepada sesuatu yang definitif dan simbol merupakan rujukan eksak kepada sesuatu yang indefinitif. ibid. hal 350.

Dalam hal hubungan korenpondensi, kata tanda adalah korespondensi satu-satu. Contoh: bendera Amerika adalah tanda United States yang digunakan untuk mengenali kantor pos, kantor pajak pendapatan, dan kapal. ibid. hal 337.

Sedangkan korespondensi simbolis tidak pernah satu-satu, tapi selalu banyak dan orang yang berbeda akan menangkap arti yang berbeda pula. ibid. hal 350.

Karya seni termasuk karya sastra adalah bentuk sim- bolis, sejajar dengan agama atau ilmu. Namun demikian bentuk-bentuk simbol ini selain memiliki persamaan, juga mempunyai perbedaan yang mendasar. Dalam kaitan ini William York Tindall mengatakan:

Bentuk-bentuk ini dibangun oleh semesta yang memungkinkan orang untuk menafsirkan dan mengenali peng- alamannya; dan sebuah penemuan realitas, karena sebuah bentuk-bentuk simbolis tersebut merupakan kreasi. Meskipun mirip dalam hal fungsi, bentuk- bentuk simbol ini berbeda dalam hal jenis realitas yang membangunnya. Ilmu dibangun oleh fakta-fakta , seni dibangun dengan perasaan, intuisi dan segi kehidupan lainnya. ibid. hal 337.

 

Menurut Langer Via William York Tindall. ibid. hal 338.

, seni berbeda dengan bentuk simbol yang lain dalam hal bahan dan sesuatu yang disimbolkan. Sebagaimana musik menggunakan suara, lukisan menggunakan warna, patung menggunakan pahatan, dan sastra menggunakan kata untuk menciptakan citraan tentang waktu, ruang atau gelora perasaan.

Novel merupakan bentuk simbolis dan dalam novel juga terkandung simbol-simbol yang merupakan kreasi dari pengarangnya. Menurut Ursula BrummFree Press. halaman 356.

, pengujian secara historis menunjukkan bahwa opini yang ada sekarang ini tidak dapat dibenarkan, yakni simbolisme dikembangkan oleh penulis-penulis modern, bukan kebutuhan kondisi sastra, atau bukan semua novel yang mengandung simbol. Novel besar abad sembilan belas bukan produk dari kerja imajinasi dalam bentuk-bentuk simbolis. Ini adalah representasi kehidupan, tapi bukan sebuah representasi simbolis.

Pada bagian ini penulis menguraikan aspek simbolis dalam novel Nyali yang diintrepretasikan secara sosio- logis. Hal ini dimaksudkan sebagai kelengkapan analisis sosiologis yang tidak sekedar bersifat historis. Simbol- simbol tersebut menyangkut pada penggunaan nama-nama dan peristiwa-peristiwa simbolis.

4.1. Penggunaan Nama

Nama-nama yang terdapat dalam novel Nyali boleh dikatakan memiliki keanehan, baik nama diri (nama tokoh) dan nama tempat. Nama-nama tersebut ada yang memiliki arti tertentu, namun sebagian besar terkesan bukan nama yang lazim dipergunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tokoh utama dalam novel ini menggunakan nama Kropos. Penggunaan nama ini masih mempunyai arti tertentu. Dalam bahasa Jawa istilah "kropos" berarti sebuah benda yang kulit luarnya nampak baik, tetapi isinya rapuh seperti kayu yang bagian luarnya nampak baik tetapi bagian dalamnya rapuh karena dimakan rayap. Penggunaan nama Kropos ini kontradiktif dengan watak tokoh Kropos. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab dua, Kropos memiliki dimensi watak yang keras, teguh, tabah dalam menjalani berbagai ujian berat dan tahan dalam segala bentuk siksaan dan penderitaan. Ia tidak mudah putus asa walaupun tugas yang ia emban sangat berat dan hampir bisa dikatakan mustahil. Keadaan yang kontradiktif antara arti nama dan watak tokoh utama dalam novel ini mengandung makna dialektis, artinya meskipun seseorang memiliki watak yang keras, tabah, tangguh, dan berdisiplin tinggi, namun sesungguhnya dalam diri seseorang juga terdapat potensi sifat-sifat yang negatif. Seperti halnya mata uang yang memiliki dua muka, pada sisi Kropos mempunyai sifat-sifat yang keras, tabah dalam menghadapi segala pengujian yang berat, dan merupakan pemimpin yang punya disiplin baja, namun pada sisi lain terdapat potensi sifat-sifat yang negatif. Munculnya sifat-sifat yang berlawanan tersebut tergantung dari situasi dan kondisi yang melingkupinya. Ketika Kropos berada dalam lingkungan yang keras dan menuntut ketabahan fisik dan mental, watak Kropos yang positif muncul dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, tatkala gerombolan Zabaza berhasil ditumpas oleh tentara kerajaan, watak Kropos mengalami kemunduran. Ia menjadi putus asa. Kropos mengasingkan diri dari kehidupan ramai dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya.ketika ia ditangkap Belanda, justru ia sangat ketakutan dan gugup.

Dengan kata lain sifat rapuh pada diri Kropos menjadi aktual ketika ia berada dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan keputusasaan.

Makna simbolis dari nama ini sesungguhnya memiliki kesejajaran dengan realitas sejarah. Bila Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza dan Zabaza dipandang sebagai sebuah ideologitahu, Zabaza bukan orang, tetapi semacam ideologi...."

, maka hal ini dapat diinterpretasikan bahwa meskipun ideologi memiliki karakteristik yang efektif dan tangguh, tetapi sesungguhnya ia juga memiliki kelemahan. Dalam konteks novel Nyali, ideologi Zabaza sesungguhnya memiliki kelemahan. kelemahannya terletak pada sifatnya yang dogmatis dan doktriner. Sifat ini sangat dipatuhi oleh anggotanya dan telah mendarah daging, sehingga mereka tidak punya pilihan lain dan tidak ada upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam masyarakat. Hal ini terlihat dari tiadanya dimensi fleksibelitas dalam Zabaza.

Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bab terdahulu, dalam beberapa hal Zabaza memiliki kesejajaran dengan PKI. Apabila Zabaza dipandang sebagai ideologi, maka Zabaza memiliki kesejajaran dengan ideologi komunisme. Kelemahan ideologi ini terletak pada sifatnya yang dogmatis. Bagaimanapun juga. sebuah ideologi selain punya dimensi edealisme, yakni kemampuannya memberikan harapan kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk membangun suatu masa depan yang lebih cerah, ideologi haruslah memiliki dimensi fleksibilitas.yang terlalu dogmatis tidak memiliki fleksibilitas.

Ideologi yang terlalu dogmatis dan kaku sifatnya dapat dikatakan tidak memiliki dimensi fleksibilitas. Dengan demikian, ia tidak punya kemampuan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan dalam masyarakat, sehingga daya tahan ideologi tersebut berkurang ketika masyarakat berkembang ke arah yang sama sekali tidak "diperkirakan" sesuai dengan doktrin yang diyakini kebenarannya. Komunisme sebagai ideologi yang didasarkan pada Marxisme, merupakan ideologi yang terlalu dogmatis dan kaku. Komunisme tidak punya dimensi fleksibilitas untuk mengantisipasi perubahan dalam masyarakat. Sebagai contoh, hukum perkembangan masyarakat didasarkan dpada empat tahap, yakni komune primitif, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Padahal kondisi tiap-tiap negara tidak sama. Dengan demikian, setiap negara akan memiliki tahap perkembangan sendiri yang tidak selalu sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat yang terdapat dalam pandangan Marxian. Karena sifat dogmatis ini, para penganut Marxis ortodok memandang kelompok lain yang mencoba menyesuaikan ajaran Marxisme dengan kondisi masyarakat akan dinilai sebagai revisionist.

Nama-nama tokoh lainnya, yakni Leonel, Chiko, Torzo, Golef, Combla, Krosy, Tirtir adalah nama-nama yang terkesan aneh dan tidak biasa dipergunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun demikian ada nama yang lazim, yaitu Erika.

Penggunaan nama-nama yuang terkesan aneh dapat di- interpretasikan bahwa realitas dalam novel tersebut tidak menunjuk secara langsung kepada realitas yang terdapat dalam sejarah Indonesia. Negara yang dikisahkan dalam novel Nyali tidak memiliki nama tertentu, sehingga seakan- akan latar tempat dalam novel Nyali bukan di Indonesia. Namun demikian peristiwa-peristiwa yang dikisahkan ter- utama konflik sosial dan politik dalam novel tersebut mempunyai kesejajaran dengan konflik sosial dan politik di Indonesia sekitar tahun 1965. Interpretasi lain adalah bahwa peristiwa dalam novel Nyali bersifat universal, artinya konflik politik seperti yang dikisahkan novel tersebut bisa terjadi di negara manapun di dunia.

Di berbagai negara di dunia sering terjadi konflik politik yang termanifestasikan dalam bentuk pembrontakan dan kudeta dalam menggulingkan rezim yang berkuasa dan menggantikan sistem pemerintahan dengan sistem yang baru. Konflik politik yang dikisahkan dalam novel Nyali juga memiliki kemiripan dengan penggulingan Presiden Alende di Chili tahun 1970-an yang menggunakan nama sandi "Jakarta Operation" dan disertai dengan pembantaian terhadap orang- orang komunis (People Front).

4.2. Peristiwa Simbolis

Peristiwa simbolis yang penulis bahas adalah tindakan atau perilaku tokoh. Perilaku atau tindakan tersebut ditafsirkan sebagai sebuah simbol tertentu.

Pada bagian akhir novel Nyali dikisahkan bahwa Kropos mengasingkan diri ke sebuah ladang yang sunyi. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang perempuan. Mereka berinteraksi tanpa menggunakan komunikasi verbal, walaupun mereka tidak bisu sampai akhirnya mereka menjadi suami istri.

Kropos telah hidup sebagai suami-istri dengan wanita itu di tengah ladang. Setiap pagi ia mengantar bininya sampai ke sungai. Malam mereka duduk berdua mendengar suara-suara serangga malam. Tetapi keduanya masih juga belum membicarakan sesuatu. Berdampingan dengan bisu. (halaman 94)

Perilaku demikian adalah bentuk dehumanisasi. Hal ini merupakan perilaku yang tidak wajar; merupakan penyim- pangan perilaku manusia normal, sebab mereka tidak bisu dan tidak mengalami hambatan secara fisik maupun psiko- logis. Sebagai sebuah novel inkonvensional, terutama dalam hal tokoh-tokohnya yang aneh dan tindakannya yang aneh pula, perilaku demikian bisa dipandang sebagai sebuah simbol tertentu yang punya kaitan dengan sebuah sistem dalam kehidupan (realitas sosial) seperti dikatakan oleh Umar Junus Umar Junus. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. Halalam 25.

dalam kaitannya dengan pandangan semiotik untuk menghubungkan sistem dalam karya dan sistem dalam kehidupan. Pandangan semiotik, menurut Umar Junus, bukan hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya itu sendiri, tapi juga dengan sistem di luarnya dengan sistem dalam kehidupan.

Perilaku bisu ini bisa diinterpretasikan sebagai sebuah simbol sikap frustasi dan protes terhadap kondisi yang tidak dikehendaki walaupun protes tersebut tidak dialamatkan ke sebuah lembaga atau orang tertentu. Ke- putusasaan yang dialami Kropos merupakan akibat dari kekalahan gerombolan Zabaza dalam konflik politik segitiga antara gerombolan Zabaza, Jendral Leonel, dan Baginda Raja. Kekalahan total bagi gerombolan Zabaza mengakibatkan Kropos tersingkir dan terasing dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan laju pembangunan di segala bidang.

Kropos jadi merasa sunyi. Rasanya ibukota bukan dunianya lagi. Ia mengitari jalan kota, menemukan orang-orang yang makin hari makin asing. Sejak re- publik diproklamirkan menggantikan kerajaan, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Semuanya merupakan kemajuan. Tetapi Kropos seperti tak ikut serta. Ia bercecer, atau ditinggalkan. Barangkali ia tidak mau ikut. Padahal ia merasa dirinya sudah berusaha untuk mengerti. (halaman 83)

Dalam keputusasaan Kropos berniat bunuh diri. Ia membaringkan tubuhnya di atas rel kereta api. Tapi tidak ada kereta yang menggilasnya karena ia berbaring di atas rel yang tidak terpakai. Ia tidak peduli kereta menggilasnya atau tidak. Kropos tak peduli dirinya sudah mati atau masih hidup. Ia menjadi tidak peduli terhadap sesuatu. Lalu ia meneruskan perjalanan dengan menempuh jalan se- sukanya.

Dengan basah kuyup, Kropos meneruskan perjalanan. Ia menempuh jalan sesukanya. Tidak berusaha untuk mencari jalan setapak. Ia maju saja dengan sembrono arah ke timur. Semak-semak diterobosnya. Parit-parit kecil dengan lumpur-lumpur diterjangnya saja. Duri-duri semak melukai kulitnya. Beberapa bagian bajunya robek. Ia tidak peduli. Kemudian ia bertemu dengan hamparan sawah. Ditempuhnya terus dengan cara yang sama. Tidak berusaha meniti di pematang, tapi ia memotong sawah-sawah yang masih ditumbuhi padi-padi kecil. Untung tak ada orang. (halaman 89)

Kemudian Kropos sampai di tepi sebuah kampung. Ia menyeberangi jalan. Masuk pekarangan rumah orang. Melompati pagar, berjalan di antara rumah-rumah. Beberapa orang memperhatikannya, tapi ia tidak peduli. Akhirnya ia tembus kampung itu dan menjumpai kembali sungai yang tadi. Kini sungai itu melebar. Di atasnya ada jembatan bambu. Kropos terus berjalan tanpa menghiraukan jembatan tersebut. Ia memanjat tepi dan memasuki sebuah rumah yang lain. Sebuah kampung yang lain. Semak-semak, pematang, pagar rumah orang, hutan kecil, lalu jalan kereta api kembali, kemudian sebuah tanah datar yang luas. (halaman 89)

Sikap tak peduli pada diri Kropos adalah sikap keputusasaan. Demikian halnya dengan sikap membisu antara dia dan istrinya di ladang yang sunyi. Hidup berdampingan sebagai suami-istri dengan bisu. Bahkan sikap tak peduli juga sering ditunjukkan kepada istrinya. Ketika istrinya memijit-mijit kakinya, Kropos tak peduli. Tatkala istrinya membawakan radio, Kropos menerimanya, tapi tidak berusaha membunyikannya. Selanjutnya radio itu selama berbulan- bulan tidak pernah dibunyikannya. Demikian pula ia tak pernah mengikuti wanita itu pergi.

Bila dikaitkan dengan realitas sosial, terutama dalam hubungannya dengan konflik politik yang terjadi sekitar tahun 1965, sikap frustasi yang dialami Kropos dan sisa- sisa Zabaza mempunyai kemiripan dengan nasib orang-orang PKI yang terkalahkan dalam konflik di tahun 1965. Nama Zabaza senantiasa dikaitkan sebagai kelompok yang menjadi biang kerusuhan dan pengkhianat negara, sehingga tak se- orang pun berani dituduh sebagai Zabaza.

Tak seorang pun yang berani dituduh sebagai Zabaza. Itu berarti memikul seluruh darah yang telah mengalir di kerajaan itu dulu yang kini telah menjadi sebuah republik. (halaman 82)

Meskipun Zabaza telah ditumpas, tapi sisa-sisa Zabaza selalu dicurigai. Bahkan ketika ada polemik politik dan demonstrasi, Zabaza dicurigai sebagai penggeraknya. Demikian juga dengan sisa-sisa anggota PKI merasa tersingkir dan terbuang dalam kehidupan Orde Baru yang diwarnai dengan laju pembangunan di segala bidang. Mereka yang selamat dari pembantaian atau keluar dari penjara atau tempat pembuangan merasa tersisih sebagai orang yang kalah. Apalagi sikap pemerintah yang senantiasa menghukum dengan cara deskreminasi dalam berbagai hal, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kehidupan politik (tidak boleh mengikuti pemilu). Dalam keputusasaan dan penderitaannya sebagai warga negara yang tersisih, bukan berarti dalam pikiran mereka tidak pernah terlintas untuk memulai aktivitas yang sifatnya politis.

Pada akhir cerita dalam novel Nyali dikisahkan bahwa Kropos bermimpi menjadi Zabaza kembali, berjuang dalam rimba dan memimpin penyergapan. Lalu ketika ia terbangun ia menyadari telah dijemput dua puluh orang berpakaian hitam dan membawa senjata. Mereka mengajak Kropos untuk memulai lagi aktivitas seperti dulu. Kropos setuju.

Peristiwa tersebut merupakan simbol bagi munculnya bentuk-bentuk perlawanan dari sekelompok orang terhadap kondisi yang ada. Bentuk perlawanan tersebut tidak pernah hilang dalam masyarakat selama dalam masyarakat masih ada ketimpangan, walaupun kelompok perlawanan tersebut telah dihancurkan oleh penguasa. Demikian juga dengan peristiwa dalam novel Nyali. Meskipun Zabaza telah dihancurkan oleh tentara kerajaan, tetapi ketika dalam masyarakat terjadi konflik yang termanifestasikan dalam bentuk demonstrasi, polemik politik di media massa, ketidakberesan dalam proses pengadilan, maka sisa-sisa Zabaza membangun ke- kuatan untuk memulai lagi aktivitas perlawanan.

Apabila dihubungkan dengan realitas dalam masyarakat, peristiwa tersebut ada kemiripan dengan bangkitnya sisa-sisa PKI. Meskipun PKI sudah ditumpas, tetapi ada indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI berusaha untuk konsolidasi. Indikasi ini ditunjukkan dengan diadakannya Kritik Oto Kritik pada tahun 1986 oleh sisa-sisa PKI.kuan Basuki Resoboso, PKI pernah mengadakan Kritik Oto Kritik pada tahun 1968 dan 1986.

Demikan juga, ada indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI menyusup ke dalam organisasi massa, bahkan disinyalir mereka menyusup ke dalam kepengurusan PDIdaerah yang diduga terlibat PKI (Gatra, No. 9 tahun I, 14 Januari 1995 halaman 31).

BAB V

KESIMPULAN

Novel Nyali karya Putu Wijaya mengisahkan konflik sosial dan politik yang terjadi dalam sebuah negara. Konflik tersebut termanifestasi dalam bentuk pembrontakan yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza dibawah pimpinan Kropos. Kondisi sosial dan politik dalam negara tersebut sangat potensial bagi munculnya konflik. Masyarakatnya terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok kepentingan, lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan serasi. Kelompok-kelompok tersebut adalah Baginda Raja yang mewakili kelompok yang berkuasa, gerombolan Zabaza, dan Jendral Leonel yang sesungguhnya mewakili kelompok militer. Baginda Raja bertujuan untuk mempertahankan sistem politik yang sedang berlaku ; mempertahankan status quo. Jendral Leonel bertujuan merombak sistem yang berlaku atau dengan lain perkataan ia menghendaki terjadinya perubahan sosial, sedangkan gerombolan Zabaza mempunyai cita-cita untuk mengadakan revolusi kepribadian yang membuat setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik.

Ketiga kelompok tersebut terlibat dalam konflik politik dan dalam memperjuangkan dan atau mempertahankan kepentingan tersebut, pelaku konflik menggunakan cara kekerasan. Hal ini terjadi karena negara itu tidak punya sarana berupa konsensus atau konstitusi dalam mengatur konflik dan masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik tidak berusaha untuk mencapai konsensus dengan cara berunding secara damai untuk memperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Konsekwensinya adalah konflik ini memiliki struktur menang-kalah, yakni konflik yang berakhir dengan kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pada pihak lain. Jendral Leonel merupakan pihak yang memenangkan konflik, sedangkan Zabaza dan Baginda Raja merupakan pihak yang kalah dalam konflik.

Konflik dalam negara yang dikisahkan novel Nyali dapat dikatakan konflik bertipe negatif, karena berakibat terancamnya eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat. Hal ini juga ditandai dengan cara- cara kekerasan oleh pihak yang bertikai, yakni pem- brontakan dan kudeta serta terorisme.

Bagaimanapun juga, konflik memiliki fungsi yang positif. Perubahan sosial menuju terwujudnya masyarakat yang lebih baik tidak jarang melalui sebuah konflik ter- lebih dahulu. Terbentuknya negara-negara baru sering diakibatkan oleh perang yang merupakan salah satu bentuk konflik politik yang utama. Dalam novel Nyali ditunjukkan bahwa konflik menyebabkan perubahan sosial dan politik yang lebih baik. Masyarakat lama yang penuh dengan pembrontakan dan sengketa yang berkepanjangan diakhiri dan sejak saat itu dimulai era baru yang memungkinkan peru- bahan sosial dan perubahan pada sistem pemerintahan serta kebijakan pembangunan ekonomi, walaupun konflik tersebut tidak bisa dihilangkan sama sekali. Konflik pada hakekatnya merupakan fenomena yang selalu hadir dalam masyarakat, bahkan pada masyarakat yang paling stabil. Dalam Nyali juga ditunjukkan bahwa konflik pada masa silam (masa kerajaan) menjadi salah satu faktor timbulnya konflik pada era yang baru (masa pemerintahan republik).

Konflik politik dalam novel Nyali mempunyai keseja- jaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam beberapa hal terdapat kemiripan antara konflik politik dalam Nyali dengan kenyataan dalam sejarah Indonesia. Periode sejarah negara yang dikisahkan oleh Nyali mempunyai kesamaan dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam Nyali terdapat dua periode sejarah, yakni masa kerajaan atau bisa disebut Monarkhi dan masa republik. Ciri-ciri yang ditunjukkan kedua masa tersebut memang tidak digambarkan secara lengkap, akan tetapi dalam beberapa bagian selalu disebutkan secara eksplisit bahwa masa itu adalah masa kerajaan dengan Raja sebagai kepala negara. Masa republik ditandai oleh ciri yang utama, yakni kepala negara adalah seorang presiden. Kondisi sosial politik pada masa kerajaan penuh dengan pertentangan-pertentangan politik dan ideologis. Puncak dari konflik politik tersebut adalah peristiwa pembrontakan atau kudeta yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza. Kudeta berhasil digagalkan oleh tentara kerajaan, akan tetapi Baginda Raja sekeluarga terbunuh. Hal ini memberikan peluang bagi Jendral Leonel untuk mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai kepala negara serta mengubah sistem pemerintahan. Dengan kata lain pembrontakan atau kudeta tersebut menjadi akhir bagi masa monarkhi dan awal dari kelahiran masa baru yang berbentuk republik.

Hal ini mempunyai kemiripan atau kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam sejarah Indonesia terdapat dua masa, yaitu orde Lama dan Orde Baru. Kondisi Orde Lama ditandai dengan konflik, pertentangan politik antar partai atau kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan ideologi yang berbeda. Puncak dari konflik tersebut adalah meletusnya peristiwa Gestapu atau pembrontakan G-30-S/PKI. Kudeta atau pembrontakan yang berhasil digagalkan oleh Angkatan Darat tersebut merupakan penutup bagi Orde Lama dan kelahiran Orde Baru.

Kesejajaran juga ditunjukkan oleh terdapatnya kekuat- an politik dominan. Dalam Nyali terdapat tiga kekuatan politik dominan yaitu Baginda Raja, Jendral Leonel (tentara), dan gerombolan Zabaza. Dalam masa Orde Lama, terutama pada waktu Demokrasi Terpimpin juga terdapat tiga kekuatan politik yang memainkan peranan besar dalam panggung politik. Kekuatan politik tersebut adalah Presiden Sukarno, Militer (Angkatan Darat), dan PKI. Ketiga kekuat- an politik dominan ini terlibat dalam konflik.

Novel Nyali mengandung simbol-simbol yang memiliki keterpaduan dengan konflik sosial dan politik yang menjadi tema novel ini. Simbol-simbol tersebut juga memperkuat kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Makna simbolis dari nama tokoh utama, yakni Kropos, memiliki korelasi dengan watak ideologi gerombolan Zabaza. Jika Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza dan Zabaza dipandang sebagai sebuah ideologi, maka sesuai dengan makna simbolis nama Kropos, ideologi Zabaza dalam beberapa hal mempunyai sedikit kemiripan dengan komunisme. Demikian juga dengan keterasingan dan keputusasaan Kropos setelah ia mengalami kekalahan dalam konflik, secara simbolis memiliki kesejajaran dengan nasib sisa-sisa anggota PKI pada masa Orde Baru yang tersingkir dalam beberapa hal. Meskipun tersingkir dan tertindas, sisa-sisa gerombolan Zabaza berusaha untuk bangkit kembali. Hal ini pun memiliki kesejajaran dengan upaya bangkitnya sisa-sisa PKI dewasa ini.

 

 


I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyright�2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Design and Maintenance by Ngarto Februana

1