BAB IV
ASPEK SIMBOLIS DALAM NOVEL NYALI
Webster mengatakan bahwa simbol adalah sesuatu yang merujuk atau mengingatkan
pada sesuatu yang lain karena alasan hubungan, asosiasi, konvensi atau
kebetulan, tapi bukan sesuatu yang menyerupai; khususnya sebuah tanda yang
menampakkan sesuatu yang tidak nampak, seperti ide, kualitas atau totalitas,
misalnya negara atau gereja.337.
Kata simbol dan tanda (sign) secara umum bisa dipertukarkan, seperti
dikatakan oleh William York Tindall:
Kata simbol dan tanda secara umum bisa dipertukarkan. Pada saat tertentu satu
benda diartikan oleh tanda dan pada saat yang lain diartikan oleh simbol. Oleh
sebab itu tanda memiliki arti referensi eksak, termasuk simbol, dan simbol
mengandung arti sarana sugestif, termasuk tanda.ibid. hal 337.
Namun demikian kata simbol dan tanda memiliki perbedaan. Menurut William York
Tindall, jika kita mengartikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah rujukan eksak,
hal ini berarti menyangkut simbol, karena simbol adalah sebuah rujukan eksak
juga. Perbedaannya terlihat bahwa sebuah tanda (sign) adalah sebuah rujukan
eksak kepada sesuatu yang definitif dan simbol merupakan rujukan eksak kepada
sesuatu yang indefinitif. ibid. hal 350.
Dalam hal hubungan korenpondensi, kata tanda adalah korespondensi satu-satu.
Contoh: bendera Amerika adalah tanda United States yang digunakan untuk
mengenali kantor pos, kantor pajak pendapatan, dan kapal. ibid. hal 337.
Sedangkan korespondensi simbolis tidak pernah satu-satu, tapi selalu banyak
dan orang yang berbeda akan menangkap arti yang berbeda pula. ibid. hal 350.
Karya seni termasuk karya sastra adalah bentuk sim- bolis, sejajar dengan
agama atau ilmu. Namun demikian bentuk-bentuk simbol ini selain memiliki
persamaan, juga mempunyai perbedaan yang mendasar. Dalam kaitan ini William York
Tindall mengatakan:
Bentuk-bentuk ini dibangun oleh semesta yang memungkinkan orang untuk
menafsirkan dan mengenali peng- alamannya; dan sebuah penemuan realitas, karena
sebuah bentuk-bentuk simbolis tersebut merupakan kreasi. Meskipun mirip dalam
hal fungsi, bentuk- bentuk simbol ini berbeda dalam hal jenis realitas yang
membangunnya. Ilmu dibangun oleh fakta-fakta , seni dibangun dengan perasaan,
intuisi dan segi kehidupan lainnya. ibid. hal 337.
Menurut Langer Via William York Tindall. ibid. hal 338.
, seni berbeda dengan bentuk simbol yang lain dalam hal bahan dan sesuatu
yang disimbolkan. Sebagaimana musik menggunakan suara, lukisan menggunakan warna,
patung menggunakan pahatan, dan sastra menggunakan kata untuk menciptakan
citraan tentang waktu, ruang atau gelora perasaan.
Novel merupakan bentuk simbolis dan dalam novel juga terkandung simbol-simbol
yang merupakan kreasi dari pengarangnya. Menurut Ursula BrummFree Press. halaman
356.
, pengujian secara historis menunjukkan bahwa opini yang ada sekarang ini
tidak dapat dibenarkan, yakni simbolisme dikembangkan oleh penulis-penulis
modern, bukan kebutuhan kondisi sastra, atau bukan semua novel yang mengandung
simbol. Novel besar abad sembilan belas bukan produk dari kerja imajinasi dalam
bentuk-bentuk simbolis. Ini adalah representasi kehidupan, tapi bukan sebuah
representasi simbolis.
Pada bagian ini penulis menguraikan aspek simbolis dalam novel Nyali yang
diintrepretasikan secara sosio- logis. Hal ini dimaksudkan sebagai kelengkapan
analisis sosiologis yang tidak sekedar bersifat historis. Simbol- simbol
tersebut menyangkut pada penggunaan nama-nama dan peristiwa-peristiwa simbolis.
4.1. Penggunaan Nama
Nama-nama yang terdapat dalam novel Nyali boleh dikatakan memiliki keanehan,
baik nama diri (nama tokoh) dan nama tempat. Nama-nama tersebut ada yang
memiliki arti tertentu, namun sebagian besar terkesan bukan nama yang lazim
dipergunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tokoh utama dalam novel ini menggunakan nama Kropos. Penggunaan nama ini
masih mempunyai arti tertentu. Dalam bahasa Jawa istilah "kropos"
berarti sebuah benda yang kulit luarnya nampak baik, tetapi isinya rapuh seperti
kayu yang bagian luarnya nampak baik tetapi bagian dalamnya rapuh karena dimakan
rayap. Penggunaan nama Kropos ini kontradiktif dengan watak tokoh Kropos.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab dua, Kropos memiliki dimensi watak yang
keras, teguh, tabah dalam menjalani berbagai ujian berat dan tahan dalam segala
bentuk siksaan dan penderitaan. Ia tidak mudah putus asa walaupun tugas yang ia
emban sangat berat dan hampir bisa dikatakan mustahil. Keadaan yang kontradiktif
antara arti nama dan watak tokoh utama dalam novel ini mengandung makna
dialektis, artinya meskipun seseorang memiliki watak yang keras, tabah, tangguh,
dan berdisiplin tinggi, namun sesungguhnya dalam diri seseorang juga terdapat
potensi sifat-sifat yang negatif. Seperti halnya mata uang yang memiliki dua
muka, pada sisi Kropos mempunyai sifat-sifat yang keras, tabah dalam menghadapi
segala pengujian yang berat, dan merupakan pemimpin yang punya disiplin baja,
namun pada sisi lain terdapat potensi sifat-sifat yang negatif. Munculnya
sifat-sifat yang berlawanan tersebut tergantung dari situasi dan kondisi yang
melingkupinya. Ketika Kropos berada dalam lingkungan yang keras dan menuntut
ketabahan fisik dan mental, watak Kropos yang positif muncul dan berkembang
dengan baik. Sebaliknya, tatkala gerombolan Zabaza berhasil ditumpas oleh
tentara kerajaan, watak Kropos mengalami kemunduran. Ia menjadi putus asa.
Kropos mengasingkan diri dari kehidupan ramai dan tidak peduli terhadap
lingkungan sekitarnya.ketika ia ditangkap Belanda, justru ia sangat ketakutan
dan gugup.
Dengan kata lain sifat rapuh pada diri Kropos menjadi aktual ketika ia berada
dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan keputusasaan.
Makna simbolis dari nama ini sesungguhnya memiliki kesejajaran dengan
realitas sejarah. Bila Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza
dan Zabaza dipandang sebagai sebuah ideologitahu, Zabaza bukan orang, tetapi
semacam ideologi...."
, maka hal ini dapat diinterpretasikan bahwa meskipun ideologi memiliki
karakteristik yang efektif dan tangguh, tetapi sesungguhnya ia juga memiliki
kelemahan. Dalam konteks novel Nyali, ideologi Zabaza sesungguhnya memiliki
kelemahan. kelemahannya terletak pada sifatnya yang dogmatis dan doktriner.
Sifat ini sangat dipatuhi oleh anggotanya dan telah mendarah daging, sehingga
mereka tidak punya pilihan lain dan tidak ada upaya untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan dalam masyarakat. Hal ini terlihat dari tiadanya dimensi
fleksibelitas dalam Zabaza.
Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bab terdahulu, dalam beberapa hal
Zabaza memiliki kesejajaran dengan PKI. Apabila Zabaza dipandang sebagai
ideologi, maka Zabaza memiliki kesejajaran dengan ideologi komunisme. Kelemahan
ideologi ini terletak pada sifatnya yang dogmatis. Bagaimanapun juga. sebuah
ideologi selain punya dimensi edealisme, yakni kemampuannya memberikan harapan
kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam masyarakat untuk mempunyai
kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk membangun suatu masa depan yang
lebih cerah, ideologi haruslah memiliki dimensi fleksibilitas.yang terlalu
dogmatis tidak memiliki fleksibilitas.
Ideologi yang terlalu dogmatis dan kaku sifatnya dapat dikatakan tidak
memiliki dimensi fleksibilitas. Dengan demikian, ia tidak punya kemampuan untuk
mengantisipasi perubahan-perubahan dalam masyarakat, sehingga daya tahan
ideologi tersebut berkurang ketika masyarakat berkembang ke arah yang sama
sekali tidak "diperkirakan" sesuai dengan doktrin yang diyakini
kebenarannya. Komunisme sebagai ideologi yang didasarkan pada Marxisme,
merupakan ideologi yang terlalu dogmatis dan kaku. Komunisme tidak punya dimensi
fleksibilitas untuk mengantisipasi perubahan dalam masyarakat. Sebagai contoh,
hukum perkembangan masyarakat didasarkan dpada empat tahap, yakni komune
primitif, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Padahal kondisi tiap-tiap
negara tidak sama. Dengan demikian, setiap negara akan memiliki tahap
perkembangan sendiri yang tidak selalu sesuai dengan tahap perkembangan
masyarakat yang terdapat dalam pandangan Marxian. Karena sifat dogmatis ini,
para penganut Marxis ortodok memandang kelompok lain yang mencoba menyesuaikan
ajaran Marxisme dengan kondisi masyarakat akan dinilai sebagai revisionist.
Nama-nama tokoh lainnya, yakni Leonel, Chiko, Torzo, Golef, Combla, Krosy,
Tirtir adalah nama-nama yang terkesan aneh dan tidak biasa dipergunakan oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun demikian ada nama yang lazim, yaitu
Erika.
Penggunaan nama-nama yuang terkesan aneh dapat di- interpretasikan bahwa
realitas dalam novel tersebut tidak menunjuk secara langsung kepada realitas
yang terdapat dalam sejarah Indonesia. Negara yang dikisahkan dalam novel Nyali
tidak memiliki nama tertentu, sehingga seakan- akan latar tempat dalam novel
Nyali bukan di Indonesia. Namun demikian peristiwa-peristiwa yang dikisahkan ter-
utama konflik sosial dan politik dalam novel tersebut mempunyai kesejajaran
dengan konflik sosial dan politik di Indonesia sekitar tahun 1965. Interpretasi
lain adalah bahwa peristiwa dalam novel Nyali bersifat universal, artinya
konflik politik seperti yang dikisahkan novel tersebut bisa terjadi di negara
manapun di dunia.
Di berbagai negara di dunia sering terjadi konflik politik yang
termanifestasikan dalam bentuk pembrontakan dan kudeta dalam menggulingkan rezim
yang berkuasa dan menggantikan sistem pemerintahan dengan sistem yang baru.
Konflik politik yang dikisahkan dalam novel Nyali juga memiliki kemiripan dengan
penggulingan Presiden Alende di Chili tahun 1970-an yang menggunakan nama sandi
"Jakarta Operation" dan disertai dengan pembantaian terhadap orang-
orang komunis (People Front).
4.2. Peristiwa Simbolis
Peristiwa simbolis yang penulis bahas adalah tindakan atau perilaku tokoh.
Perilaku atau tindakan tersebut ditafsirkan sebagai sebuah simbol tertentu.
Pada bagian akhir novel Nyali dikisahkan bahwa Kropos mengasingkan diri ke
sebuah ladang yang sunyi. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang perempuan.
Mereka berinteraksi tanpa menggunakan komunikasi verbal, walaupun mereka tidak
bisu sampai akhirnya mereka menjadi suami istri.
Kropos telah hidup sebagai suami-istri dengan wanita itu di tengah ladang.
Setiap pagi ia mengantar bininya sampai ke sungai. Malam mereka duduk berdua
mendengar suara-suara serangga malam. Tetapi keduanya masih juga belum
membicarakan sesuatu. Berdampingan dengan bisu. (halaman 94)
Perilaku demikian adalah bentuk dehumanisasi. Hal ini merupakan perilaku yang
tidak wajar; merupakan penyim- pangan perilaku manusia normal, sebab mereka
tidak bisu dan tidak mengalami hambatan secara fisik maupun psiko- logis.
Sebagai sebuah novel inkonvensional, terutama dalam hal tokoh-tokohnya yang aneh
dan tindakannya yang aneh pula, perilaku demikian bisa dipandang sebagai sebuah
simbol tertentu yang punya kaitan dengan sebuah sistem dalam kehidupan (realitas
sosial) seperti dikatakan oleh Umar Junus Umar Junus. 1981. Mitos dan Komunikasi.
Jakarta: Sinar Harapan. Halalam 25.
dalam kaitannya dengan pandangan semiotik untuk menghubungkan sistem dalam
karya dan sistem dalam kehidupan. Pandangan semiotik, menurut Umar Junus, bukan
hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya itu sendiri, tapi juga dengan
sistem di luarnya dengan sistem dalam kehidupan.
Perilaku bisu ini bisa diinterpretasikan sebagai sebuah simbol sikap frustasi
dan protes terhadap kondisi yang tidak dikehendaki walaupun protes tersebut
tidak dialamatkan ke sebuah lembaga atau orang tertentu. Ke- putusasaan yang
dialami Kropos merupakan akibat dari kekalahan gerombolan Zabaza dalam konflik
politik segitiga antara gerombolan Zabaza, Jendral Leonel, dan Baginda Raja.
Kekalahan total bagi gerombolan Zabaza mengakibatkan Kropos tersingkir dan
terasing dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan laju pembangunan di
segala bidang.
Kropos jadi merasa sunyi. Rasanya ibukota bukan dunianya lagi. Ia mengitari
jalan kota, menemukan orang-orang yang makin hari makin asing. Sejak re- publik
diproklamirkan menggantikan kerajaan, banyak sekali perubahan-perubahan yang
terjadi. Semuanya merupakan kemajuan. Tetapi Kropos seperti tak ikut serta. Ia
bercecer, atau ditinggalkan. Barangkali ia tidak mau ikut. Padahal ia merasa
dirinya sudah berusaha untuk mengerti. (halaman 83)
Dalam keputusasaan Kropos berniat bunuh diri. Ia membaringkan tubuhnya di
atas rel kereta api. Tapi tidak ada kereta yang menggilasnya karena ia berbaring
di atas rel yang tidak terpakai. Ia tidak peduli kereta menggilasnya atau tidak.
Kropos tak peduli dirinya sudah mati atau masih hidup. Ia menjadi tidak peduli
terhadap sesuatu. Lalu ia meneruskan perjalanan dengan menempuh jalan se-
sukanya.
Dengan basah kuyup, Kropos meneruskan perjalanan. Ia menempuh jalan sesukanya.
Tidak berusaha untuk mencari jalan setapak. Ia maju saja dengan sembrono arah ke
timur. Semak-semak diterobosnya. Parit-parit kecil dengan lumpur-lumpur
diterjangnya saja. Duri-duri semak melukai kulitnya. Beberapa bagian bajunya
robek. Ia tidak peduli. Kemudian ia bertemu dengan hamparan sawah. Ditempuhnya
terus dengan cara yang sama. Tidak berusaha meniti di pematang, tapi ia memotong
sawah-sawah yang masih ditumbuhi padi-padi kecil. Untung tak ada orang. (halaman
89)
Kemudian Kropos sampai di tepi sebuah kampung. Ia menyeberangi jalan. Masuk
pekarangan rumah orang. Melompati pagar, berjalan di antara rumah-rumah.
Beberapa orang memperhatikannya, tapi ia tidak peduli. Akhirnya ia tembus
kampung itu dan menjumpai kembali sungai yang tadi. Kini sungai itu melebar. Di
atasnya ada jembatan bambu. Kropos terus berjalan tanpa menghiraukan jembatan
tersebut. Ia memanjat tepi dan memasuki sebuah rumah yang lain. Sebuah kampung
yang lain. Semak-semak, pematang, pagar rumah orang, hutan kecil, lalu jalan
kereta api kembali, kemudian sebuah tanah datar yang luas. (halaman 89)
Sikap tak peduli pada diri Kropos adalah sikap keputusasaan. Demikian halnya
dengan sikap membisu antara dia dan istrinya di ladang yang sunyi. Hidup
berdampingan sebagai suami-istri dengan bisu. Bahkan sikap tak peduli juga
sering ditunjukkan kepada istrinya. Ketika istrinya memijit-mijit kakinya,
Kropos tak peduli. Tatkala istrinya membawakan radio, Kropos menerimanya, tapi
tidak berusaha membunyikannya. Selanjutnya radio itu selama berbulan- bulan
tidak pernah dibunyikannya. Demikian pula ia tak pernah mengikuti wanita itu
pergi.
Bila dikaitkan dengan realitas sosial, terutama dalam hubungannya dengan
konflik politik yang terjadi sekitar tahun 1965, sikap frustasi yang dialami
Kropos dan sisa- sisa Zabaza mempunyai kemiripan dengan nasib orang-orang PKI
yang terkalahkan dalam konflik di tahun 1965. Nama Zabaza senantiasa dikaitkan
sebagai kelompok yang menjadi biang kerusuhan dan pengkhianat negara, sehingga
tak se- orang pun berani dituduh sebagai Zabaza.
Tak seorang pun yang berani dituduh sebagai Zabaza. Itu berarti memikul
seluruh darah yang telah mengalir di kerajaan itu dulu yang kini telah menjadi
sebuah republik. (halaman 82)
Meskipun Zabaza telah ditumpas, tapi sisa-sisa Zabaza selalu dicurigai.
Bahkan ketika ada polemik politik dan demonstrasi, Zabaza dicurigai sebagai
penggeraknya. Demikian juga dengan sisa-sisa anggota PKI merasa tersingkir dan
terbuang dalam kehidupan Orde Baru yang diwarnai dengan laju pembangunan di
segala bidang. Mereka yang selamat dari pembantaian atau keluar dari penjara
atau tempat pembuangan merasa tersisih sebagai orang yang kalah. Apalagi sikap
pemerintah yang senantiasa menghukum dengan cara deskreminasi dalam berbagai hal,
seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kehidupan politik (tidak boleh
mengikuti pemilu). Dalam keputusasaan dan penderitaannya sebagai warga negara
yang tersisih, bukan berarti dalam pikiran mereka tidak pernah terlintas untuk
memulai aktivitas yang sifatnya politis.
Pada akhir cerita dalam novel Nyali dikisahkan bahwa Kropos bermimpi menjadi
Zabaza kembali, berjuang dalam rimba dan memimpin penyergapan. Lalu ketika ia
terbangun ia menyadari telah dijemput dua puluh orang berpakaian hitam dan
membawa senjata. Mereka mengajak Kropos untuk memulai lagi aktivitas seperti
dulu. Kropos setuju.
Peristiwa tersebut merupakan simbol bagi munculnya bentuk-bentuk perlawanan
dari sekelompok orang terhadap kondisi yang ada. Bentuk perlawanan tersebut
tidak pernah hilang dalam masyarakat selama dalam masyarakat masih ada
ketimpangan, walaupun kelompok perlawanan tersebut telah dihancurkan oleh
penguasa. Demikian juga dengan peristiwa dalam novel Nyali. Meskipun Zabaza
telah dihancurkan oleh tentara kerajaan, tetapi ketika dalam masyarakat terjadi
konflik yang termanifestasikan dalam bentuk demonstrasi, polemik politik di
media massa, ketidakberesan dalam proses pengadilan, maka sisa-sisa Zabaza
membangun ke- kuatan untuk memulai lagi aktivitas perlawanan.
Apabila dihubungkan dengan realitas dalam masyarakat, peristiwa tersebut ada
kemiripan dengan bangkitnya sisa-sisa PKI. Meskipun PKI sudah ditumpas, tetapi
ada indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI berusaha untuk konsolidasi. Indikasi
ini ditunjukkan dengan diadakannya Kritik Oto Kritik pada tahun 1986 oleh
sisa-sisa PKI.kuan Basuki Resoboso, PKI pernah mengadakan Kritik Oto Kritik pada
tahun 1968 dan 1986.
Demikan juga, ada indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI menyusup ke dalam
organisasi massa, bahkan disinyalir mereka menyusup ke dalam kepengurusan
PDIdaerah yang diduga terlibat PKI (Gatra, No. 9 tahun I, 14 Januari 1995
halaman 31).
BAB V
KESIMPULAN
Novel Nyali karya Putu Wijaya mengisahkan konflik sosial dan politik yang
terjadi dalam sebuah negara. Konflik tersebut termanifestasi dalam bentuk
pembrontakan yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza dibawah pimpinan Kropos.
Kondisi sosial dan politik dalam negara tersebut sangat potensial bagi munculnya
konflik. Masyarakatnya terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok kepentingan,
lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu memiliki
kepentingan yang sama dan serasi. Kelompok-kelompok tersebut adalah Baginda Raja
yang mewakili kelompok yang berkuasa, gerombolan Zabaza, dan Jendral Leonel yang
sesungguhnya mewakili kelompok militer. Baginda Raja bertujuan untuk
mempertahankan sistem politik yang sedang berlaku ; mempertahankan status quo.
Jendral Leonel bertujuan merombak sistem yang berlaku atau dengan lain perkataan
ia menghendaki terjadinya perubahan sosial, sedangkan gerombolan Zabaza
mempunyai cita-cita untuk mengadakan revolusi kepribadian yang membuat setiap
warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik.
Ketiga kelompok tersebut terlibat dalam konflik politik dan dalam
memperjuangkan dan atau mempertahankan kepentingan tersebut, pelaku konflik
menggunakan cara kekerasan. Hal ini terjadi karena negara itu tidak punya sarana
berupa konsensus atau konstitusi dalam mengatur konflik dan masing-masing pihak
yang terlibat dalam konflik tidak berusaha untuk mencapai konsensus dengan cara
berunding secara damai untuk memperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua
pihak. Konsekwensinya adalah konflik ini memiliki struktur menang-kalah, yakni
konflik yang berakhir dengan kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pada
pihak lain. Jendral Leonel merupakan pihak yang memenangkan konflik, sedangkan
Zabaza dan Baginda Raja merupakan pihak yang kalah dalam konflik.
Konflik dalam negara yang dikisahkan novel Nyali dapat dikatakan konflik
bertipe negatif, karena berakibat terancamnya eksistensi sistem sosial dan
politik serta struktur masyarakat. Hal ini juga ditandai dengan cara- cara
kekerasan oleh pihak yang bertikai, yakni pem- brontakan dan kudeta serta
terorisme.
Bagaimanapun juga, konflik memiliki fungsi yang positif. Perubahan sosial
menuju terwujudnya masyarakat yang lebih baik tidak jarang melalui sebuah
konflik ter- lebih dahulu. Terbentuknya negara-negara baru sering diakibatkan
oleh perang yang merupakan salah satu bentuk konflik politik yang utama. Dalam
novel Nyali ditunjukkan bahwa konflik menyebabkan perubahan sosial dan politik
yang lebih baik. Masyarakat lama yang penuh dengan pembrontakan dan sengketa
yang berkepanjangan diakhiri dan sejak saat itu dimulai era baru yang
memungkinkan peru- bahan sosial dan perubahan pada sistem pemerintahan serta
kebijakan pembangunan ekonomi, walaupun konflik tersebut tidak bisa dihilangkan
sama sekali. Konflik pada hakekatnya merupakan fenomena yang selalu hadir dalam
masyarakat, bahkan pada masyarakat yang paling stabil. Dalam Nyali juga
ditunjukkan bahwa konflik pada masa silam (masa kerajaan) menjadi salah satu
faktor timbulnya konflik pada era yang baru (masa pemerintahan republik).
Konflik politik dalam novel Nyali mempunyai keseja- jaran dengan konflik
sosial dan politik dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam beberapa hal
terdapat kemiripan antara konflik politik dalam Nyali dengan kenyataan dalam
sejarah Indonesia. Periode sejarah negara yang dikisahkan oleh Nyali mempunyai
kesamaan dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam Nyali
terdapat dua periode sejarah, yakni masa kerajaan atau bisa disebut Monarkhi dan
masa republik. Ciri-ciri yang ditunjukkan kedua masa tersebut memang tidak
digambarkan secara lengkap, akan tetapi dalam beberapa bagian selalu disebutkan
secara eksplisit bahwa masa itu adalah masa kerajaan dengan Raja sebagai kepala
negara. Masa republik ditandai oleh ciri yang utama, yakni kepala negara adalah
seorang presiden. Kondisi sosial politik pada masa kerajaan penuh dengan
pertentangan-pertentangan politik dan ideologis. Puncak dari konflik politik
tersebut adalah peristiwa pembrontakan atau kudeta yang dilakukan oleh
gerombolan Zabaza. Kudeta berhasil digagalkan oleh tentara kerajaan, akan tetapi
Baginda Raja sekeluarga terbunuh. Hal ini memberikan peluang bagi Jendral Leonel
untuk mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai kepala negara
serta mengubah sistem pemerintahan. Dengan kata lain pembrontakan atau kudeta
tersebut menjadi akhir bagi masa monarkhi dan awal dari kelahiran masa baru yang
berbentuk republik.
Hal ini mempunyai kemiripan atau kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia
pasca kemerdekaan. Dalam sejarah Indonesia terdapat dua masa, yaitu orde Lama
dan Orde Baru. Kondisi Orde Lama ditandai dengan konflik, pertentangan politik
antar partai atau kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan ideologi yang
berbeda. Puncak dari konflik tersebut adalah meletusnya peristiwa Gestapu atau
pembrontakan G-30-S/PKI. Kudeta atau pembrontakan yang berhasil digagalkan oleh
Angkatan Darat tersebut merupakan penutup bagi Orde Lama dan kelahiran Orde Baru.
Kesejajaran juga ditunjukkan oleh terdapatnya kekuat- an politik dominan.
Dalam Nyali terdapat tiga kekuatan politik dominan yaitu Baginda Raja, Jendral
Leonel (tentara), dan gerombolan Zabaza. Dalam masa Orde Lama, terutama pada
waktu Demokrasi Terpimpin juga terdapat tiga kekuatan politik yang memainkan
peranan besar dalam panggung politik. Kekuatan politik tersebut adalah Presiden
Sukarno, Militer (Angkatan Darat), dan PKI. Ketiga kekuat- an politik dominan
ini terlibat dalam konflik.
Novel Nyali mengandung simbol-simbol yang memiliki keterpaduan dengan konflik
sosial dan politik yang menjadi tema novel ini. Simbol-simbol tersebut juga
memperkuat kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dan
konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Makna simbolis dari nama
tokoh utama, yakni Kropos, memiliki korelasi dengan watak ideologi gerombolan
Zabaza. Jika Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza dan Zabaza
dipandang sebagai sebuah ideologi, maka sesuai dengan makna simbolis nama Kropos,
ideologi Zabaza dalam beberapa hal mempunyai sedikit kemiripan dengan komunisme.
Demikian juga dengan keterasingan dan keputusasaan Kropos setelah ia mengalami
kekalahan dalam konflik, secara simbolis memiliki kesejajaran dengan nasib
sisa-sisa anggota PKI pada masa Orde Baru yang tersingkir dalam beberapa hal.
Meskipun tersingkir dan tertindas, sisa-sisa gerombolan Zabaza berusaha untuk
bangkit kembali. Hal ini pun memiliki kesejajaran dengan upaya bangkitnya
sisa-sisa PKI dewasa ini.
|