BAB II
KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL NYALI
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik bisa
terjadi dalam hubungan proses produksi yang termanifestasikan dalam pemogokan
buruh yang memiliki tuntutan ekonomis berupa kenaikan upah dan perbaikan kondisi
kerja. Pertikaian antar kelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber
yang sama juga tidak jarang terjadi dalam masyarakat yang mejemuk. Demikian juga
konflik yang memiliki motif keagamaan. Pertentangan antara kelompok keagamaan
yang satu dengan kelompok ke- agamaan yang lain sering kali terjadi, karena
masing- masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya.
Sedangkan dalam kehidupan politik masyarakat sering dihadapkan pada konflik
dalam rangka untuk mendapatkan dan atau memperjuangkan sumber daya langka yang
tidak jarang disertai dengan kekerasan.
Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok
kepentingan(Surbakti, 1992:109).
, lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu
memiliki
kepentingan yang sama dan serasi. Di antara kelompok- kelompok tersebut
memiliki perbedaan taraf kekuasaan dan wewenang. Demikian pula dengan distribusi
dan alokasi sumber daya yang langka di antara kelompok-kelompok masyarakat tidak
selalu seimbang. Kondisi seperti ini tidak terelakkan, sehingga konflik
merupakan gejala yang senantiasa terjadi dalam masyarakat. Weber (Coser dalam
David L. Sills 1968 : 232) berpendapat konflik tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sosial. Simmel (Soerjono Soekanto, 1988 : 69) berpendapat bahwa
terjadinya konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang
sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif
yang hanya dapat dibedakan secara analisis. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
konflik merupakan pencerminan pertentangan kepentingan dan naluri untuk
bermusuhan.
Menurut Ramlan Surbakti (1992:18), mengingat konflik merupakan gejala yang
serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan
hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Thomas Hobbes, seorang filosof
sosial terkemuka abad tujuh belas, berpendapat tentang konflik yang bertolak
dari keadaan alamiah masyarakat. Thomas Hobbes (Soerjono Soekanto, 1988:9)
menyatakan:
Keadaan alamiah masyarakat manusia senantiasa di- liputi oleh rasa takut dan
terancam bahaya kematian karena kekerasan. Kehidupan manusia selalu dalam
keadaan menyendiri, miskin, penuh kekotoran dan ke- kerasan serta jangka waktu
kehidupan pendek. Apabila manusia dibiarkan menanggung nasibnya sendiri, maka
manusia akan menjadi korban keinginan merebut ke- kuasaan dan keuntungan,
sehingga sebetulnya manusia dikuasai oleh motif-motif untuk memenuhi kepentingan
dirinya. Dalam menghadapi situasi yang secara potensial mengembangkan hasrat
untuk berperang dan adanya konflik, perlu diciptakan suatu organisasi dan
ketertiban sosial yang dapat dipelihara dengan baik.
Konflik bisa ditinjau dari aspek sosial dan politik. Konflik sosial bisa
diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau pengakuan
status, kekuasaan dan sumber daya langka. Tujuan kelompok-kelompok yang
berkonflik tidak hanya mendapatkan nilai-nilai yang di- inginkan tapi juga
menetralkan, melukai atau mengurangi saingan-saingan mereka (Lewis A. Coser
dalam David L. Sills : 232). Konflik bisa terjadi di antara individu dan
individu, antara individu dan organisasi atau kelompok, antara organisasi yang
satu dengan organisasi yang lain, dan dalam komponen sebuah organisasi atau
kelompok (Robert C. North dalam David L. Sills 1968 : 226).
Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan,
seperti kerusuhan, kudeta, teror- isme, dan revolusi. Konflik politik dirumuskan
secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di
antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan
dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan
dilaksanakan pemerintah (Surbakti, 1992: 151). Secara sempit konflik politik
dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk
menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku penguasa beserta
segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara
partisipan politik (ibid).Konsep konflik seringkali dipertentangkan dengan
harmoni dan integrasi. Konflik sering dianggap sebagai patologi sosial, perilaku
abnormal, dan sebagai sebuah penyimpangan yang mengganggu keberhasilan integrasi
masyarakat. Ketiadaan konflik dan adanya kerja sama dan peng- aturan kadang
digunakan sebagai acuan keberhasilan integrasi atau stabilitas masyarakat. Namun
sesungguhnya, konflik memiliki fungsi positif bagi masyarakat. Menurut
Dahrendorf (Surbakti, 1992: 150) konflik berfungsi sebagai pengintegrasian
masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik berfungsi untuk
menghilangkan unsur- unsur pengganggu dalam suatu hubungan. Dalam hal ini
konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan,
yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen untuk mempererat
hubungan (Nasikun via Surbakti 1992: 150). Konflik juga berfungsi sebagai unsur
pengikat di antara kelompok-kelompok yang sebetulnya tidak berhubungan. Lewis A.
Coser (dalam David L. Sills : 232) juga menilai secara positif fenomena konflik.
Coser mengatakan bahwa:
Konflik adalah unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu
dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam
beberapa cara memberikan sumbangan pada keutamaan kelompok serta mempererat
hubungan interpersonal.
Gluckman ( Laura Nader dalam David L. Sills :238) berpendapat bahwa konflik
tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju
terpeliharanya masyarakat. Ia mengambil contoh kasus di Afrika Selatan. Gluckman
menjelaskan bahwa perjuangan antara ratu-ratu Zulu Afrika Selatan untuk
memperebutkan tahta terjadi dalam keberlangsungan sistem sosial. Dalam contoh
ini masyarakat memimpin dan mengontrol perselisihan melalui konflik kesetiaan,
sehingga meskipun pembrontakaan terjadi di antara masyarakat Zulu, sistem sosial
tidak berubah.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Duverger (1993:33) yang berpendapat
bahwa setiap fenomena politik memiliki aspek konflik dan integrasi. Kekuasaan
merupakan salah satu fenomena politik yang penting. Kekuasaan merupakan sumber
daya langka yang menjadi penyebab konflik. Orang yang mempunyai kekuasaan
cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Di samping itu, ada pihak lain yang
menentang kekuasaan dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama.
Kekuasaan mempunyai aspek integrasi dalam arti bahwa kekuasaan dipergunakan
untuk menegakkan ketertiban dan keadilan; sebagai pelindung kepentingan dan
kesejahteran umum melawan tindakan berbagai kelompok kepentingan. Selanjutnya
Duverger (1993: 275) mengatakan:
Konflik dan integrasi bukan dua aspek yang kontradiktif di dalam politik;
mereka juga saling melengkapi satu sama lain. Dalam mempelajari sebab-sebab
antagonisme, kita mendapatkan bahwa hal ini agak ambivalen. Antagonisme
menghasilkan konflik, akan tetapi, dalam kesempatan tertentu, juga menolong
membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Berbicara secara umum, integrasi
dalam hal-hal tertentu muncul sebagai akibat terakhir dari antoganisme politik,
dan paham integrasi memainkan peranan penting justru di dalam perkembangan
konflik. Setiap tantangan tehadap ketertiban sosial yang ada meliputi suatu visi
dan rencana bagi suatu ketertiban sosial yang lebih tinggi dan lebih otentik.
Setiap per- juangan berisikan tujuan tentang perdamaian dan merupakan usaha
untuk merealisir tujuan tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa konflik dan
integrasi tidak berlawanan, akan tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari
proses umum yang sama -- bahwa antoganisme cenderung, justru oleh
perkembangannya, ke arah menghapus dirinya sendiri dan berikutnya menghasilkan
harmoni sosial.
Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada konflik sosial dan politik.
Sesungguhnya konflik yang ber- aspek sosial dan konflik yang beraspek politik
tidak bisa diadakan pembatasan yang tegas. Dalam beberapa kasus konflik sosial
bisa mengarah kepada konflik politik. Ketidaksepakatan yang terjadi antara dua
orang atau dua kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan yang bisa
diselesaikan oleh kedua orang atau kelompok tersebut tanpa melibatkan
lembaga-lembaga politik dan pemerintah adalah konflik yang bisa dikategorikan
sebagai konflik sosial. Akan tetapi, apabila pertentangan tersebut diselesaikan
dengan keterlibatan pemerintah dan lembaga politik, maka konflik tersebut
berkembang menjadi konflik politik. Demikian pula dengan pemogokan buruh akibat
perselisihan dengan pengusaha. Pada umumnya pemogokan tersebut beraspek sosial
dan ekonomi. Akan tetapi, bisa berubah menjadi konflik politik apabila pemogokan
tersebut berkembang menjadi besar dan memiliki tuntutan politis, serta
melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintah. Gerakan- gerakan sosial yang
nampak tidak punya tendensi politik terkadang memiliki tujuan politik untuk masa
jangka panjang. Demikian pula dengan gerakan-gerakan intelektual seperti
pendirian organisasi-organisasi intelektual yang melibatkan tokoh-tokoh yang
punya sumber kekuasaan potensial bisa dijadikan sarana politik dan ada
kemungkinan bisa menimbulkan konflik politik.
Konflik yang murni beraspek politik misalnya konflik di antara kelompok
masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain dalam usaha
mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dikuasai pemerintah.
Demikian juga dengan ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah
yang berkembang menjadi gerakan separatis atau pemberontakan.
Dalam novel Nyali karya Putu Wijaya, konflik yang dominan adalah konflik
politik. Namun demikian konflik sosial dalam novel tersebut juga dianalisis
karena konflik politik dan konflik sosial dalam novel Nyali saling berkaitan.
Konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya konflik politik dan mempunyai
pengaruh terhadap situasi politik.
2.1. Konflik Sosial
Jenis konflik yang dapat dikategorikan sebagai konflik sosial antara lain
konflik dalam lembaga perkawinan, konflik dalam merebut jabatan, persaingan,
permusuhan, dan konflik etnis. Dalam novel ini terdapat konflik yang bisa
dikategorikan sebagai konflik sosial, yakni konflik dalam rangka memperebutkan
jabatan. Konflik ini tidak murni beraspek sosial akan tetapi mempunyai tendensi
politik. Akan tetapi, jenis konflik ini bisa ditinjau dari aspek sosial. Konflik
semacam ini seringkali terjadi dalam sebuah organisasi dan biasanya disertai
dengan persaingan. Dalam persaingan biasanya disertai dengan pertikaian tidak
langsung.
Perebutan jabatan terjadi dalam dinas kemiliteran. Jendral Leonel memiliki
kedudukan yang baik dalam dinas kemiliteran. Ia punya wewenang untuk menentukan
kebijakan yang menyangkut keamanan negara. Atas dasar kedudukan itu ia memiliki
kecenderungan mempertahankan jabatan ini. Segala usaha dilakukan termasuk
pembunuhan yang memiliki motif politik. Ia berusaha menghambat
saingan-saingannya, termasuk mencurigai bawahannya yang punya reputasi dan
karier yang baik.
Dalam novel tersebut diceritakan bahwa kematian ayah Krosy sesungguhnya masih
misterius. Kolonel Krosy menduga bahwa kematian ayahnya karena dibunuh oleh
Jendral Leonel. Hal ini dilakukan karena ayah Krosy punya peluang yang baik
untuk menjadi saingan.
kematian tersebut. Ia curiga kalau itu semua dilakukan oleh Jendral Leonel
yang waktu itu masih berpangkat kolonel.
Seluruh reputasi Leonel sangat terpuji, kecuali dalam kasus ayah Krosy. Semua
orang menyadari bahwa Leonel berada satu strip di bawahnya. Dan tak seorang pun
dapat membayangkan apa yang bisa atau mungkin mendorong Leonel untuk membetot
teman seperjuangannya itu ---seandainya memang Leonel yang bertanggung jawab.
Krosy sendiri tak bisa memastikan. Ia sempat menyusun beberapa teori. Seandainya
saja Leonel yang membunuh ayahnya, pastilah itu ia lakukan dalam keadaan
terjepit, atas desakan orang lain. Atau semacam kekhilapan : yang kemudian
terus-menerus disesalinya.
Ayah Krosy meninggal sebagai seorang pahlawan. Ia disergap di sebuah bukit
dengan tiba-tiba oleh gerombolan Zabaza...Sejak itu Leonel memegang kekuasaan
tertinggi di wilayah. (halaman 19-20).
Kematian Kolonel Krosy juga tidak terlepas dari persaingan jabatan ini.
Kolonel Krosy punya reputasi yang baik dan menjadi calon untuk menduduki jabatan
penting dalam dinas kemiliteran, bahkan mungkin lebih dari itu, yakni peluang
untuk mendapatkan kedudukan yang punya wewenang untuk menentukan kebijakan
secara luas. Selain peluang, ia juga mempunyai ambisi untuk memperoleh ke-
dudukan yang baik tersebut.
Tak pelak lagi, ia menjadi calon yang paling meyakinkan untuk mengganti
kedudukan jendral itu, apabila masa pensiunnya tiba. Tapi masih beberapa tahun
lagi. Krosy hampir tak sabar. Ia ingin memegang pimpinan dan menentukan garis
besar segala kebijaksanaan. Bukan hanya sebagai pelaksana semata-mata. (halaman
19)
Sejak kecil Krosy selalu bercita-cita mencapai puncak dari kekuasaan militer....
(halaman 19)
Kematiannya sesungguhnya bukan karena ditembak oleh Kropos, akan tetapi
sengaja dibunuh oleh Jendral Leonel. Sewaktu Kropos menembaknya, Kolonel Krosy
tidak mati. Ia sempat di bawa ke rumah sakit. Dokter Combla tidak sanggup untuk
mengembalikan Kolonel Krosy seperti semula.
Krosy tidak mati karena tembakan saudara. Ia dibunuh oleh Leonel....(halaman
35)
2.2. Konflik Politik
Konflik politik dalam novel Nyali merupakan konflik yang dominan. Konflik
tersebut meliputi hampir keseluruhan cerita. Konflik tercermin dalam tema, alur,
penokohan dan latar. Analisis sosiologis terhadap novel Nyali dengan mengambil
konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik, struktur
konflik, tujuan konflik, intensitas konflik, pengaturan konflik, serta konflik
dan perubahan politik.
Novel Nyali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara.
Negara ini senantiasa mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan
serta fragmentasi dalam tubuh militer. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh
pengarangnya:
"....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa,
keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)
Negara ini mengalami dua periode sejarah, yakni masa Orde Lama dan Orde
Barusejarah monarkhi dan Orde Baru untuk masa periode sejarah dengan sistem
republik.
. Orde Lama ditandai dengan sistem politik otokrasi tradisional atau monarkhi.
Kepala negara adalah seorang raja (Baginda Raja). Sedangkan Orde Baru ditandai
dengan sistem pemerintahan republik dengan presiden sebagai kepala negara.
Konflik politik terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Konflik politik yang
terjadi pada masa Orde Baru merupakan akibat dari konflik politik pada masa Orde
Lama.
2.2.1. Penyebab KonflikKondisi yang harus ada bagi timbulnya konflik adalah
kemajemukan struktur masyarakat, baik kemajemukan kultural maupun sosial.
Kemajemukan sosial dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan horisontal
(Surbakti, 1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi
yang memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan
struktur masyarakat yang ter- polarisasi menurut pemilikan kekayaan,
pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan
kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kemajemukan horisontal
kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya
mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain.
Sedangkan kemajemukan horisontal sosial dapat menimbulkan konflik sebab
masing-masing kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat
tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan.
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat
tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun
demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila
kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan manakala
terdapat benturan kepentingan. Taraf kepincangan distribusi yang diungkapkan
oleh Jonathan H. Turner (Soerjono Soekanto, 1988: 66) merupakan pendapat yang
punya kesejajaran dengan penyebab konflik di atas. Menurut Turner, taraf
kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan
bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan.
Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem,
konflik kepentingan antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem
semakin meningkat
Demikian pula dengan pendapat Coser yang menitik- beratkan pada sistem
distribusi. Coser menyatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kondisi-kodisi
yang menyebabkan ditariknya legitimasi dari sistem distribusi yang ada dan
intensifikasi tekanan terhadap kelompok- kelompok tertentu yang tidak dominan
(ibid: 93).
Maurice Duverger (1993) mengajukan penyebab konflik bertolak dari sudut
pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1993: 174) penyebab antagonisme
politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab individual dan sebab- sebab
kolektif. Sebab-sebab individual menurut Duverger, karena terdapat perbedaan
bakat individual di antara manusia. Ia mendasarkan diri pada konsep-konsep
biologi Charles Darwin tentang struggle for life yang menyatakan bahwa setiap
individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup dan hanya
yang paling mampu akan memenangkannya. Dari kecenderungan ini menjelma menjadi
perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini
menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat
naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang
fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik
politik.
Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi
masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai
perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu
dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai
dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik.
Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha, petani
dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut analisis ini
adalah pencerminan dari perjuangan kelas.
Konflik politik dalam kerajaan yang diceritakan dalam novel Nyali
terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan
peran dan kepentingan. Dengan kata lain kondisi sosial dan kultural serta
kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi menurut
kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan. Sistem sosial dan struktur masyarakatnya
belum stabil. Hal ini ditandai dengan tiadanya konsensus politik dan ideologis,
yakni konsensus yang disepakati bersama dan dilaksanakan untuk kepentingan umum.
Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi
penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga.
Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Dalam negara dengan
sistem politik otokrasi tradisional ke-kuasaan mutlak pada raja. Distribusi
kekuasaan pada partai-partai politik tidak ada karena kerajaan tersebut tidak
memiliki partai politik atau kelompok-kelompok korporatis yang bisa digunakan
sebagai pengendali konflik politik, sehingga kelompok dominan dalam hal ini raja
memiliki kekusaan mutlak (absolut). Adanya ketidakseim-bangan distribusi sumber
kekuasaan ini merupakan penyebab terjadinya konflik politik.
Dalam negara ini terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konflik. Pihak
pertama adalah Baginda Raja. Kelompok kedua adalah gerombolan Zabaza. Pihak
ketiga yaitu Jendral Leonel yang pada awalnya memanfaatkan kelompok kedua.
Ketiga pihak tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda dan masing-masing
berusaha mewujudkan kepentingannya sehingga terjadi perbenturan kepentingan.
Baginda Raja mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan
struktur masyarakat yang lama, yakni sistem pemerintahan kerajaan dan sistem
perekonomian yang mengandalkan agraris. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam kerajaan ia memiliki kewenangan yang sah untuk menggunakan paksaan fisik
dalam menyelesaikan konflik. Sarana paksaan fisik adalah tentara, intelejen,
persenjataan, penjara, kerja paksa, pengadilan dan lain-lain.
Pihak kedua yakni gerombolan yang bernama Zabaza mempunyai tujuan mengadakan
revolusi kepribadian, yakni mereka ingin menegakkan moral baru bagi masyarakat.
Masyarakat yang dicita-citakan adalah semua orang menjadi hamba kerajaan yang
baik. Setiap orang atau kelompok tidak memiliki ambisi dan kepentingan yang
berbeda dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian pertentangan-perten- tangan
dalam masyarakat bisa dihindarkan.
Gerakan gerombolan ini merupakan satu kelompok yang bersimpati terhadap
pandangan sosial atau doktrin tertentu, yang mengaktualisasikan diri dalam
konflik dengan bentuk pemberontakan. Gerakan ini memiliki ideologi tertentu yang
berfungsi sebagai alat untuk menyatukan komunitas anggotanya dengan cara
mendorong setiap anggota untuk menerima kekuasaan yang memerintahnya dan dengan
mengembangkan rasa kepatuhan terhadap yang memerintah. Ideologi ini juga
berfungsi sebagai tujuan perjuangan. Selain itu, ideologi ini bersifat doktriner
yang mampu meningkatkan antusiasme dan komitmen untuk mendukung kegiatan politik.
Doktrin ini menjanjikan bentuk alter- natif masyarakat baru yang menjadikan
setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik untuk menggantikan bentuk
masyarakat lama yang dikendalikan oleh kekuatan fasisme yang hirarkis dan
otoriter. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan gerombolan ini adalah
revolusioner, karena mempunyai tujuan mengadakan perubahan sosial. Menurut
Surbakti (1992:71) sebuah gerakan revolusioner menekankan motivasi dan tindakan
merealisasikan ide-ide revolusioner, sedangkan keberhasilan gerakan tersebut
menjadi pertimbangan kedua. Motivasi untuk mencapai tujuan sangat kuat, apabila
harapan keberhasilan sangat tinggi.
Pihak ketiga, yakni Jendral Leonel memanfaatkan kelompok pertama dan kedua
demi meraih tujuan pribadi. Ia mempunyai ambisi untuk merebut kekuasaan dengan
cara yang tidak sesuai dengan konsensus kerajaan. Ambisi untuk merebut kekuasaan
ini menimbulkan konflik-konflik politik yang mendalam dan luas.
Kemungkinan terjadinya konflik politik semakin lebar jika negara tidak
memiliki konsensus berupa konstitusi yang mengatur penyelesaian konflik. Dalam
kerajaan ini tidak memiliki konsensus tersebut. Selain itu, cara yang
dipergunakan oleh pihak yang bertikai memiliki konsekwensi timbulnya
pertentangan yang bersifat kekerasan.
Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut sama-sama mempunyai
sumber kekuasaan. Baginda Raja mempunyai sumber kekuasaan karena kedudukannya
sebagai raja yang memperoleh legitimasi karena tradisi. Kekuasaan dan peralihan
kewenangannyayakni dengan diadakannya pemilihan umum.
berlangsung secara turun temurun. Pemimpin gerombolan Zabaza, yakni Kropos
memiliki sumber kekuasaan potensial karena dia memiliki massa yang terorganisasi
secara rapi dan berdisiplin tinggi. Ia menggunakan sumber kekuasaan tersebut
untuk aktivitas politik berupa gerakan untuk mengadakan revolusi kepribadian
dengan menggunakan cara-cara kekerasan seperti teror- isme dan kudeta berdarah.
Dengan demikian, sumber kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan aktual. Demikian
halnya dengan Jendral Leonel. Ia memiliki sumber kekuasaan potensial karena
kedudukannya sebagai panglima militer yang punya wewenang untuk mengatur
kebijaksaan dalam bidangnya. Sebagai panglima militer berarti ia memiliki massa
terorganisasi berupa tentara. Ia juga punya kekuasaan aktual karena dia telah
menggunakan sumber-sumber kekuasaan di dalam kegiatan politik secara efektif.
Setelah ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi pemimpin negara, ia memiliki
kewenangan.
Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka penyebab
konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh Nyali hanya memiliki
relevansi dengan sebab-sebab individual. Dalam novel tersebut tidak digambarkan
adanya kelas-kelas sosial seperti halnya dalam masyarakat industri. Masyarakat
dalam kerajaan tesebut masih dalam tahap feodaltradisional sesungguhnya adalah
negara yang berada dalam tahap feodalisme.
. Dalam masyarakat feodal tidak terdapat kelas-kelas sosial seperti konsep
Marx, yakni kelas kapitalis dan buruh (proletar). Kelas borjuasi (kaum kapitalis)
dan kelas proletar (buruh) hanya terdapat dalam masyarakat industri dengan
sistem kapitalisme.Sebab-sebab individual tercermin dari ambisi-ambisi pribadi
untuk berkuasa. Kolonel Krosy punya ambisi untuk menduduki jabatan yang lebih
tinggi. Jendral Leonel memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan dan menggantikan
sistem pemerintahan dan bentuk negara. Kepentingan pribadi ini didukung oleh
sumber kekuasaan potensial berupa jabatannya sebagai panglima tertinggi dalam
dinas ke- militeran.
Ads by ©BlueAds
2.2.2. Tipe Konflik
Dalam teori konflik politik dikenal dua tipe konflik. Paul Conn membuat
kategori tipe konflik, yakni konflik positif dan konflik negatif (Surbakti 1992:
153). Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam
eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian
konflik yang dise- pakati bersama dalam konstitusi. Sebaliknya konflik negatif
ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya
disalurkan lewat cara-cara nonkonstitusional seperti kudeta, separatisme,
terorisme dan revolusi (Surbakti, 1992: 71). Kedua tipe konflik ini berkaitan
dengan tipe masyarakat, yakni masyarakat yang mapan dan masyarakat yang belum
mapan. Masyarakat yang mapan telah memiliki dan mendayagunakan struktur
kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Sedangkan masyarakat yang belum mapan
tidak memiliki struktur kelembagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh
masyarakat. Tipe konflik politik dalam novel Nyali dapat dikategorikan sebagai
tipe konflik negatif. Konflik tersebut mengancam eksistensi sistem sosial dan
politik serta struktur masyarakat. Apalagi pihak-pihak yang berkonflik
menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepen- tingannya dan
mempertahankan sistem lama. Tipe konflik negatif juga mempunyai karakteristik
dipergunakan cara- cara kekerasan oleh pihak yang bertikai seperti kudeta,
separitisme, revolusi dan terorisme.
Konflik politik yang dalam novel tersebut tidak mungkin diselesaikan lewat
mekanisme konstitusional karena tidak ada konstitusi dan konsensus yang
disepakati oleh masyarakat dan mengatur penanganan konflik. Struktur masyarakat
yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah struktur masyarakat yang belum mapan
atau belum stabil. Masyarakat yang belum stabil pada umumnya belum punya
konsensus yang disepakati bersama sehingga sering dihadapkan pada konflik untuk
memperebutkan atau memperjuangkan aspirasi dari kelompok-kelompok masyarakat.
Tiadanya konsensus yang mampu mengakomodir dan mengatur kepen- tingan-kepentingan
berbeda dari berbagai kelompok masyarakat semakin memperlebar konflik.
Bagaimanapun negara harus mampu menampilkan diri sebagai pengemban kepentingaan
umum dan mampu mengatasi kemajemukan dan antagonisme dalam masyarakat. Bagi
kelompok dominan yang punya kewenangan dan kekuasaan berusaha mempertahankan
sistem yang dipergu
nakan walau belum secara penuh mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang
diperintah. Kondisi seperti ini memungkinkan konflik berlangsung berkepanjangan
dan punya konsekwensi lebih jauh yakni terancamnya sistem yang ada. Ke- tiadaan
kelompok-kelompok korporatis atau partai yang bisa dipergunakan sebagai alat
pengendali konflik akan cenderung memperparah kondisi ini.
Pihak-pihak yang bertikai menggunakan cara-cara kekerasan. Sekelompok
masyarakat yang terorganisasi dalam sebuah gerombolan bernama Zabaza
mempergunakan cara-cara terorisme dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya.
Zabaza menekankan aspek paksaan fisik atau kekerasan sehingga cenderung mengarah
pada pertentangan dan konflik yang
berkepanjangan. Zabaza yang punya disiplin tinggi, terorganisasi secara rapi,
punya pola kepemimpinan yang ketat dan hirarkis, memang sengaja dibentuk dengan
menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Zabaza tidak meng- inginkan
cara-cara damai tetapi menggunakan perang dan kekerasan untuk merombak
masyarakat. Dengan kata lain Zabaza mencita-citakan revolusi kepribadian dengan
tujuan agar setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Hal ini secara
eksplisit disebutkan oleh pengarangnya :
"....Gerombolan ini tidak memiliki target merebut pemerintahan. Dia
adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang
membuat setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Ini terjadi karena
sekarang setiap orang sudah terlalu banyak bicara tentang kepentingan-kepentingannya.
Dalam kelompok Zabaza, tidak ada lagi kepentingan pribadi. Setiap orang merasa
dirinya alat...." (Halaman 65-67) Pihak kerajaan dalam hal ini tentara
kerajaan tidak menggunakan cara lain dalam mengatur konflik ini. Tentara yang
dipimpin oleh Jendral Leonel juga menggunakan cara kekerasan dalam rangka
membasmi gerombolan Zabaza. Beberapa bawahannya ada yang mengusulkan diadakan
perundingan, tetapi Jendral Leonel tidak setuju.
Teror dan pembunuhan politik yang dilakukan gerom- bolan Zabaza sangat kejam
dan tanpa kompromi. Zabaza membunuh Kolonel Krosy yaitu bekas atasan Kropos
dalam dinas kemiliteran. Demikian juga dengan penyerbuan ke sebuah desa yang
merupakan pertahanan paling kuat tentara kerajaan, yaitu Desa Tongtong. Desa
tersebut dihancurkan dan penduduknya dibinasakan sama sekali.
Pada saat yang tepat Zabaza melakukan penyerbuan ke istana, tapi mampu
digagalkan oleh tentara kerajaan. Ini memang sesuai dengan rencana Jendral
Leonel. Ia menghendaki Zabaza menyerbu istana dan ia menghendaki Baginda Raja
terbunuh. Lalu tentara akan menumpas seluruh anggota gerombolan.
Pada akhirnya konflik ini mengancam eksistensi sistem politik yang lama yaitu
sistem otokrasi tradisional yang mengandalkan sistem agraris. Negara dalam
bentuk kerajaan ini diubah secara total dan menjadi republik seperti yang
dikehendaki Jendral Leonel.
Short Story Contest
2.2.3. Struktur Konflik
Menurut Paul Conn (Surbakti, 1992: 154) struktur konflik dibedakan menjadi
dua, yakni konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang
(non zero- sum conflict). Konflik memang-kalah ialah situasi konflik yang
bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi di
antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri utama dari struktur konflik
menang-kalah adalah tidak mungkin diadakan kerja sama dan kompromi. Sedangkan
konflik menang-menang memiliki ciri bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua
pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Kompromi adalah salah satu
fungsi politik yang utama. Dalam masyarakat demokratis, lembaga-lembaga
disesuaikan dengan tujuan ini. Proses-proses demokratis tidak saja berlaku
luntuk mengungkapkan pergolakan politik oleh cara- cra non violent; mereka juga
ditentukan untuk memutuskan konflik dengan kompromi (Duverger, 1993:346).
Konflik politik yang terjadi di sebuah negara yang diceritakan dalam novel
Nyali ini memiliki struktur konflik menang-kalah. Situasi konflik tidak
memungkinkan diadakannya kompromi dan kerja sama. Atau dengan kata lain konflik
ini bersifat antagonistik. Dalam konflik seperti ini hanya terdapat dua pilihan,
yakni ada pihak yang menang dan pihak lain mengalami kekalahan. Gerombolan
Zabaza tidak punya keinginan untuk mengadakan kompromi. Sesungguhnya Baginda
Raja menawarkan diadakannya kompromi agar tidak terlalu banyak jatuh korban.
Akan tetapi Jendral Leonel yang sesunggguhnya merupakan otak dari seluruh
rencana tidak menghendaki cara-cara damai melalui perun- dingan.
"....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena
haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia
merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari
depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu
republik dengan rakyat pilihan...." (Halaman 41)
Karena tidak mungkin diadakan kompromi maka jalan satu-satunya adalah ada
pihak yang memenangkan konflik dan pihak lain terkalahkan. Ketika terjadi kudeta
oleh gerombolan Zabaza, Baginda Raja beserta keluarganya terbunuh. Dalam cerita
ini tidak disebutkan siapa yang sesungguhnya membunuh keluarga raja. Zabaza
sesungguhnya tidak punya niat untuk membunuh Baginda Raja. Kemudian tentara
kerajaan yang dipimpin langsung oleh Jendral Leonel berhasil menumpas gerombolan,
walau pemimpin gerombolan yakni Kropos berhasil lolos. Dengan tertumpasnya
gerombolan Zabaza berarti gerombolan ini merupakan pihak yang kalah. Akan tetapi
pihak kerajaan dalam hal ini Baginda Raja beserta seluruh keluarganya juga
merupakan pihak yang kalah. Pihak yang menang adalah Jendral Leonel. Dengan kata
lain ia berhasil mengalahkan kedua lawannya untuk mencapai tujuan yakni merebut
kekuasaan dengan cara memanipulasi keadaan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai
dengan rencana Jendral Leonel. Ia dapat dikatakan pihak yang menang dan
memperoleh jalan untuk merebut kekuasaan dan mengganti sistem negara yang
otokrasi tradisional dengan sistem republik dengan program industrialisasi yang
menggantikan sistem agraris.
2.2.4. Tujuan Konflik
Secara umum tujuan konflik dapat dirumuskan sebagai mendapatkan dan atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Menurut Surbakti (1992: 163)
tujuan konflik dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama, yakni
sama-sama berupaya mendapatkan;
2. Disatu pihak hendak mendapatkan, sedangkan di pihak lain berusaha keras
mempertahankan apa yang dimiliki.
Sesungguhnya pihak yang berkonflik ada tiga, yakni gerombolan Zabaza, Jendral
Leonel dan Baginda Raja. Gerombolan Zabaza mempunyai tujuan untuk menegakkan
moral baru, untuk mengadakan revolusi kepribadian yang menjadikan setiap warga
negara menjadi hamba kerajaan yang baik. Ia tidak punya ambisi untuk merebut
pemerintahan. Ia juga tidak punya tujuan membunuh Baginda Raja beserta
keluarganya. Dengan adanya Zabaza tentara kerajaan yang sebelumnya mempunyai
moral yang kurang baik menjadi bersatu karena dihadapkan pada musuh yang kuat.
Mengingat Zabaza tidak memiliki tujuan merebut ke- kuasaan maka ia bisa
dipandang sebagai kelompok penekan (pemaksa). Menurut Duverger (1993: 292)
kelompok penekan tidak berusaha untuk merebut kekuasaan atau berpartisipasi di
dalam pelaksanaan kekuasaan; tujuannya adalah mempengaruhi mereka yang memegang
kekuasaan, membawakan "tekanan" yang harus dipikulnya.
Sedangkan pihak kedua adalah Baginda Raja. Ia punya keinginan untuk tetap
mempertahankan sistem lama, yakni sistem kerajaan (monarkhi) yang mengandalkan
sistem per- ekonomian agraris. Ia memiliki dasar legitimasi bagi kewenangan
untuk berkuasa. Legitimasi yang mendasari kewenangan Baginda Raja adalah sah,
karena terdapat konsensus dalam masyarakat berupa tradisi peralihan kewe- nangan
secara turun temurun.
Sedangkan pihak ketiga adalah Jendral Leonel. Ia menghendaki bentuk
legitimasi yang lain, yakni peralihan kewenangan secara demokratis melalui
pemilihan umum. Negara yang diinginkan Jendral Leonel adalah negara re- publik.
Dengan kata lain ia memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan dan mengganti
sistem otokrasi tradisi- onal dengan sistem republik.
Jadi apabila disimpulkan, dalam konflik ini ada pihak yang menginginkan
perubahan dan ada pihak lain yang mempertahankan sistem dan struktur sosial
masyarakat yang lama. Pada akhirnya konflik dimenangkan oleh pihak ketiga yang
memperalat pihak pertama. Gerombolan Zabaza diciptakan oleh Jendral Leonel
sebagai alat untuk meraih tujuannya. Ketika gerombolan sudah besar, Zabaza
diserahkan kepada Kropos. Ia juga menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya.
Otoritas Jendral Leonel yang besar terhadap kontrol kekuatan militer cenderung
menjadikan militer tidak berada dalam kekuasaan Baginda Raja. Leonel
menyalahgunakan otoritas ini untuk kepentingan pribadinya, akibatnya militer
dijadikan senjata politik oleh Jendral Leonel untuk melakukan kudeta dengan cara
yang halus dan melimpahkan kesalahan tersebut kepada gerombolan Zabaza.
Selanjutnya gerombolan Zabaza ditumpas sampai habis.
2.2.5. Intensitas Konflik
Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi (ongkos) yang
dikeluarkan dan tingkat keterlibataan partisipan dalam konflik. Menurut Surbakti
(1992: 156-158) intensitas konflik ditentukan oleh berbagai faktor:
1. Konflik akan cenderung intens apabila dari stratifikasi sosial ekonomi,
pertentangan antara pihak- pihak yang berkonflik mencakup pelbagai jenis.
2. Terdapat kelas yang dominan dalam industri.
3. Apabila pihak yang berkonflik menilai tidak mungkin terjadi peningkatan
status bagi dirinya.
4. Besar kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan tingkat resiko yang
timbul dari konflik tersebut. Semakin besar sumber-sumber yang diperebutkan,
maka konflik akan semakin intens. Demikian pula dengan resiko. Semakin besar
tingkat resiko yang akan ditimbulkan maka konflik akan semakin intens.
Coser (Soejono Soekanto, 1988: 94) mengajukan proposisi intensitas konflik
sebagai berikut:
1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik, maka
konflik semakin intens.
2. Semakin besar keterlibatan emosional peserta dalam konflik, maka konflik
semakin intens.
3. Semakin ketat struktur sosial, tidak tersedianya alat yang melembaga untuk
menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens.
4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap
kepentingan objektif mereka, maka konflik semakin intens.
Secara kronologis konflik politik dalam novel Nyali semakin intens. Faktor
meningkatnya intensitas konflik adalah sumber yang diperebutkan yakni kekuasaan.
Kekuasaan merupakan sumber yang sangat besar dan langka. Demikian juga dengan
resiko yang akan ditanggung. Masing-masing pihak yang bertikai akan memiliki
resiko yang besar apabila kalah dalam konflik. Baginda Raja akan terguling dari
kekuasaannya jika ia kalah. Demikian juga dengan gerombolan Zabaza. Apabila
gerombolan ini kalah maka resikonya adalah tidak tercapai cita-citanya dan
akibat lebih jauh adalah kehancuraan bagi gerombolan itu. Sedangkan bagi Jendral
Leonel kekalahan dalam konflik akan berakibat pada hancurnya seluruh reputasi
dan kemungkinan mati atau dipenjara seumur hidup. Karena itu konflik semakin
intens.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut telah menyadari
kondisi objektif masyarakat, terutama kondisi yang menyebabkan terjadinya
konflik. Masyarakat tersebut memiliki struktur yang ketat dan tidak memiliki
sarana atau lembaga-lembaga politik dan konstitusi untuk menyerap konflik.
Demikian juga dengan keterlibatan emosional dan tingkat perlawanan
kelompok-kelompok dalam konflik yang semakin tinggi, sehingga konflik semakin
intens.
Keterlibatan emosional peserta konflik sangat besar. Gerombolan Zabaza
mempunyai ideologi yang sangat dipatuhi oleh setiap anggotanya. Mereka bersedia
mati demi ke- muliaan tujuan. Apapun dilakukan dengan sikap patuh tanpa sedikit
pun merasa gentar. Demikian juga dengan tekad Jendral Leonel. Ia bertekad untuk
menghancurkan gerombolan Zabaza dengan kekerasan. Jendral Leonel tidak
menghendaki jalan damai. Keterlibatan emosional yang besar dari pihak- pihak
yang bertikai ini semakin meningkatkan intensitas konflik. Hal ini berakibat
semakin besar perlawanan masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik
politik. Gerombolan Zabaza terus-menerus meningkatkan perla- wanannya dengan
menghancurkan kubu-kubu pertahanan tentara kerajaan. Di pihak tentara kerajaan
juga meningkatkan pertahanannya dan perlawanannya terhadap gerombolan Zabaza.
Besarnya tingkat perlawanan ini juga menjadi faktor semakin intensnya konflik
politik tersebut.
2.2.6. Pengaturan Konflik
Pengaturan konflik merujuk pada bentuk-bentuk pengendalian konflik yang lebih
diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi
konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi maka konflik dapat diatur saja
sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan masyarakat (Surbakti, 1992:
160). Ralf Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik (ibid). Pertama
bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen yang membuka kemungkinan
semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai
kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan
kehendak. Kedua, bentuk me- diasi, yakni kedua pihak yang berkonflik sepakat
mencari nasihat kepada pihak ketiga (sebagai mediator) tetapi nasihat ini tidak
mengikat. Ketiga bentuk arbitrasi, yakni kedua pihak sepakat untuk mendapatkan
keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada pihak
ketiga sebagai arbitrator.
Metode pengaturan konflik yang dikemukakan ilmuwan lain lebih melihat
pengaturan konflik yang cenderung bersifat kekerasan (political violence) .
Metode ini dilandasi oleh asumsi bahwa negara (pemerintah) mewakili kewenangan
yang sah dalam melakukan pengendalian konflik tersebut. Ziegenhagen (Surbakti,
1992: 161) berpendapat bahwa pemerintah dapat melakukan salah satu dari tiga
kebijaksanaan intervensi sebagai upaya mengendalikan konflik politik, yaitu
kemampuan pemaksaan secara fisik (coercive capacity) dan ancaman penggunaannya,
penggunaan sanksi negatif atas salah satu atau kedua pihak yang berkonflik, dan
pengurangan atau penghapusan sanksi negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa
sanksi kekerasan terhadap konflik akan melahirkan kekerasan yang berkepanjangan.
Pengaturan konflik politik dalam Nyali tidak menggunakan bentuk mediasi,
maupun arbitrasi, tetapi menggunakan political violence. Pengaturan konflik yang
diterapkan oleh pemerintah memiliki karakteristik diberikannya tempat yang lebih
besar bagi diterapkannya unsur paksaan demi komitmen umum terhadap common values
guna mempertahankan bentuk masyarakat lama dan sistem pemerintahan lama. Cara
pengaturan konflik dengan kekerasan ini mengingat negara ini tidak mempunyai
alat-alat politik lain dalam mengendalikan konflik seperti partai politik,
kelompok kor- oratisFilm, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional merupakan
beberapa contoh kelompok korporatis.
, serta konsensus dan konstitusikonstitusi.
. Selain itu Kerajaan ini tidak memungkinkan perjuangan politik secara
terbuka yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan yang bisa diselesaikan
dengan cara-cara tanpa kekerasan seperti perdebatan di parlemen, petisi,
pemogokan buruh dan demonstrasi secara damai (tanpa tindakan anarkis), dan
dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat, sehingga aspirasi politik dan
ketidakpuasan dari kelompok-kelompok masyarakat diungkapkan dalam bentuk
perjuangan tersembunyi, seperti terbentuknya gerombolan pembrontak dan klik
politik Jendral Leonel. Perjuangan secara tertutup ini pada akhirnya akan
meletus sebagai pembrontakan terbuka seperti kudeta dan revolusi.
Kelompok-kelompok yang bertikai dalam hal ini adalah gerombolan pemberontak
menggunakan cara kekerasan dalam perjuangannya, sehingga penggunaan kekerasan
untuk menyelesaikan konflik politik sulit dihindari, meskipun sesungguhnya
politik adalah alat untuk menghapus keke- rasan, untuk menggantikan konflik
berdarah dengan bentuk perjuangan sipil yang lebih dingin dan untuk menghapus
peperangan. Negara menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi konflik. Hal ini
mengandung makna bahwa ke- kuasaan mempergunakan kekerasan untuk menghindari ke-
kerasan yang lebih besar. Kekerasan yang dipergunakan oleh negara adalah
kekerasan yang legal karena negara memiliki keabsahan mempergunakan paksaan
fisik demi melindungi kepentingan dan kebaikan umum. Meskipun demikian kekerasan
yang ditimbulkan oleh konflik politik tidak dapat diberantas seluruhnya.
Duverger (1993: 334) mengatakan , meskipun politik adalah usaha untuk
memberantas penggunaan ke- kerasan, ia tidak pernah berhasil seluruhnya.
Kekerasan senantiasa ada, bahkan di dalam masyarakat yang paling beradab, paling
baik diorganisir, dan paling demokratis. Negara ini mempunyai kekuatan militer
yang tangguh dan senantiasa siap melakukan paksaan fisik terhadap aksi politik
yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa, yakni pemberontakan dan kekerasan.
dan siap menumpahkan darah. Mereka setia kepada kerajaan sampai titik darah
yang peng- habisan....(halaman 43)
Dalam melakukan pengaturan konflik dengan menggunakan kekuatan militer ini,
kerajaan sering mengalami kegagalan. Gerombolan Zabaza sangat kuat dan
senantiasa melakukan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan kerajaan. Pada saat
penyerbuan ke istana, tentara kerajaan berhasil menumpas gerombolan Zabaza
sampai ke akar-akarnya. Namun keber- hasilan ini tidak untuk jangka panjang,
sebab pada waktu- waktu berikutnya sisa-sisa gerombolan ini tumbuh lagi. Dengan
kata lain cara kekerasan militer tidak mampu untuk menyelesaikan konflik politik
antara negara dengan gerombolan Zabaza.
Sesungguhnya Baginda Raja bermaksud mempergunakan cara damai dalam rangka
pengaturan konflik ini. Pada suatu malam ia memanggil Jendral Leonel untuk
menghadap di istana. Semula Jendral Leonel mengira bahwa Baginda Raja hendak
meminta pertanggungjawaban atas kekalahan tentara kerajaan di Desa Tongtong,
tetapi dugaan itu keliru. Baginda Raja dan Jendral Leonel terlibat dalam
pembicaraan mengenai nasib kerajaan yang dilanda sengketa dan pertumpahan darah.
Dalam pembicaraan itu Baginda Raja mengusulkan perundingan untuk menyelesaikan
konflik agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi.
"Aku ingat kalau kita mengadakan pesta dan memperalat gelas-gelas
minuman untuk menyembunyikan perasaan- perasaan kita yang sebenarnya. Malam ini,
itu tidak perlu terjadi. Jadi Anda sudah merencanakan untuk mengadakan
perombakan dalam kerajaan ini?"
Leonel terdiam. Ia memandang ke kejauhan.
"Kenapa Anda tidak bicara langsung dengan aku? Apa perlu begitu banyak
tumpah darah. Mereka yang tak berdosa itu?" (halaman 40)
Usul Baginda Raja tidak disetujui oleh Jendral Leonel. Ia menghendaki cara
kekerasan dalam menyelesaikan konflik politik tersebut.
"....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena
haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia
merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari
depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu
republik dengan rakyat pilihan. Yang tak berhak untuk hidup harus cepat dibuang."
(halaman 41)
Mengingat ada pihak yang tidak sepakat menggunakan cara damai dalam rangka
pengaturan konflik, maka jalan kekerasan dipergunakan oleh Jendral Leonel untuk
menghancurkan gerombolan Zabaza sekaligus untuk mewujudkan tujuan Jendral Leonel,
yakni memenangkan konflik dan mengubah bentuk pemerintahan.
2.2.7. Konflik dan Perubahan Politik
Perubahan politik dapat ditimbulkan oleh konflik kepentingan dan gagasan atau
nilai-nilai baru (Surbakti, 1992: 246). Tom Bottomore (1992: 82) menjelaskan
secara rinci tentang perubahan sosial dan politik. Menurut Tom Bottomore (ibid),
perubahan yang cukup berarti dapat timbul dari diperkenalkannya suatu teknologi
baru, perdagangan atau perang; kudeta istana, perubahan dinasti, tampilnya ke
puncak kekuasaan raja yang kompeten atau yang tidak, ataupun karena munculnya
seorang pemimpin politik yang talentanya begitu hebat, gerakan-gerakan budaya
dan intelektual, pasang surutnya kelompok-kelompoik sosial tertentu, termasuk
para elit yang menunjukkan kepentingan sosial yang berbeda.
Salah satu bentuk utama konflik adalah perang. Ke- lahiran negara-negara baru
banyak yang diakibatkan karena peperangan, baik perang negara terjajah terhadap
kolonial maupun perang saudara. Peperangan di dalam negara bangsa nation-state
juga akan mengakibatkan perubahan sosial dan politik. Tom Bottomore mencatat
bahwa perang punya pengaruh terhadap perubahan politik dan perkembangan
masyarakat. Perang sebagai sarana perluasan masyarakat manusia dan perang
merupakan faktor utama dalam pembentukan negara itu sendiri (1992:87).
Selanjutnya Tom Bottomore mengatakan bahwa perang itu merupakan sarana kebijakan
dan bentuk penjelmaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya
(ibid).
Perubahan politik dibedakan menjadi tiga, yaitu perubahan sistem, perubahan
di dalam sistem, dan perubahan karena dampak berbagai kebijakan umum (Surbakti,
1992: 243). Lebih lanjut Surbakti menjelaskan:
Perubahan sistem ialah perubahan yang terjadi pada ketiga elemen sekaligus.
Perubahan ini bersifat radi- kal (perubahan dengan akar-akarnya) karena tidak
saja struktur dan strategi kebijakan yang berubah, tetapi juga sistem yang lain
yang justru mempengaruhi ketiga objek revolusi, yaitu kegiatan kolektif warga
masyarakat yang sedikit banyak bersifat kekerasan untuk mengganti sistem politik
yang ada dengan sistem baru yang dianggap lebih baik.
Perubahan di dalam sistem menjadi garis politik kaum reformis. Pada tipe ini
sistem nilai, struktur kekuasaan dan strategi menangani proses kebijakan pada
dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti meskipun pemimpin pemerintahan
dan isi kebijakan umum mengalami perubahan. Perubahan yang diperjuangkan di
dalam kerangka sistem politik yang ada.
Tipe perubahan ketiga berkaitan dengan dampak berbagai kebijakan pemerintah
terhadap lingkungan masyarakat dan lingkungan fisik. Dahrendorf membedakan
perubahan sosial dan politik menjadi perubahan secara tiba-tiba (sudden) dan
perubahan secara radikal (dalam Surbakti, 1992: 245). Ia menilai bahwa perubahan
elit politik atau pemimpin pemerintahan merupakan kondisi bagi perubahan sistem
nilai, struktur kekuasaan , dan strategi menangani kebijakan umum. Perubahan
secara tiba-tiba atau revolusioner (yang biasanya ditimbulkan dengan konflik
yang bersifat kekerasan) belum tentu menghasilkan perubahan struktural secara
radikal, tetapi perubahan yang ditimbulkan oleh konflik yang sangat intens
cenderung bersifat radikal. Menurut Dahredorf, makin intens konflik kelas, makin
radikal perubahan yang ditimbulkan, dan semakin bersifat kekerasan suatu konflik
kelas maka semakin tiba- tiba perubahan yang terjadi.
Konflik sosial dan politik dalam kerajaan yang dikisahkan dalam Nyali
mengakibatkan perubahan yang cukup radikal. Gerakan pemberontakan dan kudeta
terhadap pe- merintahan (Baginda Raja) mengakibatkan berubahnya sistem negara
tersebut. Sebelumnya negara ini menganut sistem pemerintahan monarkhi (otokrasi
tradisional) dengan raja sebagai kepala negara. Negara ini pada mulanya
mengandalkan sistem agraris sebagai penopang perekonomian. Berdasarkan
distribusi kekuasaan, maka kekuasaan Baginda Raja adalah model elit (lihat
Surbakti, 1992: 74-75). Kelas yang memerintah terdiri dari sedikit orang,
melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati
keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan kekuasaan. Kekuasaan model ini
menghindari perubahan yang revolusioner dan mobilitas non-elit untuk mencapai
kedudukan elit berjalan lambat.
Di dalam negara dengan model elit yang memerintah, seringkali muncul
kelompok-kelompok pelawan elit. Seringkali pelawan elit ini menggunakan
kekerasan dalam memper- juangkan aspirasinya. Menurut tipe ini, para pemimpin
berorientasi pada khalayak dengan cara menentang segala bentuk kemampanan.
Kelompok elit terdiri dari sayap kiri yang menuntut perubahan secara radikal dan
revolusioner dan sayap kanan yang menentang perubahan sosial, budaya, ekonomi
dan politik (lihat Surbakti: 1992:76).Tetapi setelah terjadinya kudeta dan
terjadinya peralihan kewenangan secara paksa dari Bagainda Raja kepada Jendral
Leonel, maka sistem negara tersebut diubah menjadi republik dengan industri
sebagai penopang utama perekonomian.
Ia bersedia menjadi pemimpin menggantikan baginda, tetapi ia tidak mau sebuah
kerajaan. Ia menginginkan sebuah republik. Diluar dugaan keinginannya itu tidak
mendapat tantangan. Apa saja yang dikehendakinya, asal saja ia mau menjadi
pemimpin, pasti akan diterima. (halaman 80)
Rakyat menikmati buah kemerdekaan setelah pertumpahan darah yang penghabisan
(halaman 83)
Usaha untuk menjadikan negeri itu untuk tidak tergantung lagi pada tanah
sudah mulai dilakukan. Rencana- rencana pembangunan beberapa buah industri
disebarkan. Sawah dirubah menjadi rimba beton yang setiap hari akan gemuruh
menggerakkn asap ke udara --sambil menghisap ribuan tenaga kerja. (halaman 84)
Sejalan dengan datangnya perdamaian dan masa-masa pembangunan wajah setiap
orang menemukan bentuknya. Pribadi masing-masing berkembang. Ilmu digalakkan dan
diserakkan lebih objektif. Jalan pikiran tumbuh dengan bebas.... (halaman 84)
Kepemimpinan Leonel setelah menumbangkan rezim lama bersifat ekstrimis. Ia
berupaya menghancurkan seluruh rezim lama dan menggantinya dengan sistem yang
sama sekali baru. Organisasi politik, yakni militer yang dimilikinya sangat
kuat, patuh dan disiplin dan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya.
Masa peralihan kewenangan dan kekuasaan ini merupakan masa transisi. Meskipun
dalam Nyali masa transisi telah terlewati, namun sesungguhnya terdapat
benih-benih konflik. Sistem politik mengalami masa transisi, karena terjadinya
perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi
masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Struktur masyarakat yang kompleks
ditandai oleh deferensiasi struktur dan spesialisasi peranan dan
hubungan-hubungan impersonal yang sudah meluas sehingga masyarakat ini
memerlukan pengaturan-pengaturan yang bersifat tertulis dan rasional
(Surbakti,1992:88) Pada situsi ini terjadi banyak perubahan termasuk tingkat
pendidikan, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru. Karena
perubahan-perubahan tersebut tidak aneh jika terjadi krisis, sehingga berakibat
masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan
Jendral Leonel sebagai presiden. Krisis ini juga ditandai oleh melemahnya
dukungan masyarakat terhadap lembaga- lembaga politik. Pada akhirnya kewenangan
Jendral Leonel kehilangan legitimasinya karena banyak orang tidak mengakui hak
moral penguasa untuk memerintah.
Perubahan yang terjadi tidak memuaskan semua orang. Beberapa kalangan
mempertanyakan perubahan ini. Pada suatu ketika Jendral Leonel mendapat
pertanyaan langsung dari seseorang tentang perubahan tersebut.
"Jendral, apa gunanya kerajaan yang bebas dan merdeka ini harus merubah
sistem pemerintahan menjadi re- publik? Apa yang ingin dicapai? Apa yang tidak
tercapai ketika dulu tampak pemerintahan dipegang turun- temurun oleh Baginda
Raja?"
Perubahan ini akhirnya menimbulkan konflik baru. Konflik tersebut diakibatkan
oleh ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap kepemimpinan Jendral Leonel.
Beberapa keteledoran pada pelaksanaan program kebijakan menyebabkan semakin
memanasnya situasi politik. Pengadilan memutuskan perkara secara tidak adil,
sehingga menimbulkan kehebohan di kalangan media massa. Korupsi tidak dapat
dihindarkan lagi. Demikian juga dengan tuntutan terhadap rekonstruksi peristiwa
berdarah pada akhir Orde Lama dan awal Orde Baru semakin memperparah keadaan.
Rakyat menuntut agar Jendral Leonel mengungkapkan fakta yang sesungguhnya dari
peristiwa pada masa lalu yang meminta banyak korban. Tuntutan ini termanifestasi
dalam bentuk demonstrasi mahasiswa dan artikel-artikel di media massa.
"Tidak ada batasnya untuk meragukan. Untuk menilai sesuai dengan kodrat
kita sebagai bangsa yang mawas diri. Segala sumbangan pikiran untuk pembangunan
adalah kongkrit dan mutlak adanya. Menyuruh orang berhenti untuk meragukan dan
mengkritik sama saja dengan menegakkan tirani, satu hal yang saya kira sangat
ditentang oleh Yang Terhormat Jendral Leonel sendiri. Karena itu buka. Kalau
perlu bentuk sebuah tim khusus untuk menangani soal besar ini. Sidangkan.
Beberkan kepada rakyat. Jangan disembunyikan lagi. Kita semua orang merdeka dan
pantas melihat kebe- naran!" (halaman 87)
Pada saat situasi politik semakin memanas karena munculnya konflik baru ini,
sisa-sisa gerombolan Zabaza memulai lagi aktivitasnya. Kropos yang mengasingkan
diri di sebuah ladang yang sunyi dijemput oleh beberapa orang sisa gerombolan
Zabaza dan mengajak untuk memulai aktivitasnya. Kropos setuju dengan ajakan ini.
BAB III KLIK DI SINI
|