Sastrawan Indonesia Terkemuka

Select language: [English] [Spanish] [French

  puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil  
I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi I berita I home

 

 

Maaf, browser anda tak mampu melihat applet.


Kirim Komentar
Gabung Mailing List
Favorite Link


Cetakan I Juni 1999; tebal 221, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta (Cetakan II, 2000)
Novel perdana Ngarto Februana ini bercerita tentang nasib seorang bocah yang lahir dan tumbuh di kampung pelacuran. Karena tak betah, si bocah minggat. Setelah dewasa ia kembali, dan memulai pertarungan demi pertarungan. Ia bertarung dengan "kelelakiannya": jatuh cinta pada seorang pelacur. Bertarung entah atas nama dendam masa lalu atau memprotes kesewenang-wenangan. Dan bertarung dengan makhluk raksasa dalam mimpinya. Bertarung dengan dirinya sendiri hingga pada suatu ketika ia harus melupakan segalanya....


Pengantar: Bakdi Soemanto; Cetakan I Juli 2000; tebal 206 halaman, harga Rp 18.000; Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Novel berlatar budaya suku Dayak, di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Lengkap dengan pelukisan upacara ritual. Juga tentang horor pemenggalan kepala. Ada pula pertarungan kepentingan antara pengusaha HPH dengan suku yang senantiasa terasing itu. Lalu bagaimana nasib Utay, putra kepala suku, yang mengkhianati tanah leluhurnya demi ambisi pribadi?


Cetakan I September 2002; Cetakan II April 2003. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta 174 halaman.
 
Tapol merupakan novel yang didasari oleh fakta sejarah. Dan ini diolah oleh penulisnya dengan sangat baik. Dari situ kita dapat membaca sketsa tragedi manusia yang terjadi dalam lingkaran peristiwa sejarah manusia Indonesia yang tragis, yaitu G30S/PKI, 1965. (Komentar Dr. Anhar Gonggong)

 

 































TULISLAH RINGKASAN BUKU DAN DAPATKAN UANG

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Abebooks.com - Because You Read.



High Tech

SKRIPSI NGARTO FEBRUANA

KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL NYALI KARYA PUTU WIJAYA
Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra

 

BAB III

NOVEL NYALI DAN REALITAS SOSIAL

Dalam bab ini penulis membahas kaitan antara sastra dan realitas sosial . Seperti yang telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa karya sastra mencerminkan kenyataan sosial. Demikian halnya dengan novel Nyali. Dalam konteks ini penulis membuktikan adanya kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dengan konflik sosial dan politik pada kurun sejarah tersebut. Namun demikian, sebagai sebuah karya kreatif kesejajaran tersebut bukan sebagai menjiplak realitas sejarah. Karya sastra memilih bahan yang terdapat dalam masyarakat (termasuk realitas sejarah), mengolahnya dengan dipadu oleh imajinasi pengarang, sehingga realitas dalam novel Nyali dengan realitas dalam sejarah masyarakat Indonesia tidak sama persis.

Kesejajaran antara novel Nyali dengan kenyataan sejarah masyarakat Indonesia pada masa Orde Lama dan sekitar kelahiran Orde Baru ditekankan pada konflik sosial dan politik yang terjadi pada kurun waktu sejarah tersebut. Kesejajaran ini bukan berarti sama persis, akan tetapi hanya pada beberapa bagian dari sejarah tersebut mempunyai kesamaan dengan konflik sosial dan politik yang tercermin dalam novel Nyali. Kesejajaran tersebut menyangkut periode sejarah, kondisi sosial dan politik yang mengakibatkan timbulnya konflik, kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik, serta konflik dan perubahan sosial-politik. Kurun waktu sejarah yang relevan dengan permasalahan ini adalah pada masa menjelang dan kurun waktu Demokrasi Terpimpinlagi sebagai ideologi melainkan wujud dari pimpinan yang berupa pribadi seorang pemimpin (Gazali, dkk. 1989:100).

, yakni mulai tahun 1957 sampai dengan 1965, peristiwa G-30-S/PKI dan masa kelahiran Orde Baru.

3.1.. Periode Sejarah

Seperti yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa negara yang dikisahkan dalam novel Nyali memiliki dua periode sejarah, yakni pada masa monarkhi dan masa republik. Pada masa monarkhi (Orde Lama)sejarah.

negara (kerajaan) senantiasa diwarnai oleh konflik sosial dan politik yang tajam yang mencapai puncaknya pada peristiwa pem- brontakan atau kudeta. Kudeta dan pembersihan terhadap gerombolan yang dianggap bertanggungjawab terhadap tin- dakan itu serta tampilnya tentara (Jendral Leonel) telah mengantarkan negara itu kepada zaman baru, yakni masa republik (Orde Baru). Pada masa Orde Baru muncul konflik politik yang termanifestasi dalam bentuk demonstrasi- demonstrasi yang menggugat kebijakan pemerintahan Jendral Leonel dan menuntut rekonstruksi peristiwa berdarah pada masa lalu. Demonstrasi-demonstrasi ini diduga didalangi oleh Zabaza baru. Dalam situasi yang penuh konflik, sisa- sisa gerombolan Zabaza mengkonsolidasikan diri dan memulai aktivitasnya seperti pasa masa Orde Lama (masa kerajaan).

Hal ini mempunyai kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa Orde Lama, Indonesia terus menerus dihadapkan pada konflik sosial dan politik yang mencapai puncaknya pada tahun 1965 dengan meletusnya Gestapu atau G-30-S/PKI. Kudeta dan tampilnya militer (Angkatan Darat) yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto dalam menumpas pim- pinan, kader-kader, dan anggota PKI beserta organisasi- organisasi yang berafiliasi dengannya telah mengantarkan Indonesia memasuki masa baru yang dinamakan Orde Baru. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik baru yang termanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintahan Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia. Dalam beberapa kasus, ketika muncul aksi protes, pemerintah sering melontarkan tuduhan bahwa aksi tersebut didalangi oleh sisa-sisa PKI. Kasus pem- bangunan waduk Kedong Ombo misalnya, para petani dituduh didalangi oleh sisa-sisa PKI. Pada masa Orde Baru juga terdapat indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI mulai mengkonsolidasikan diri.

3.2. Kondisi Sosial dan Politik

Negara yang dikisahkan dalam novel Nyali senantiasa dihadapkan pada konflik sosial dan politik yang berkepanjangan. Konflik termanifestasikan dalam bentuk fragmentasi dalam tubuh militer, perbedaan pendapat tentang bentuk pemerintahan, pertentangan ideologi, kekerasan, sampai menjurus kepada pembrontakan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan berakibat pada berubahnya sistem sosial dan politik.

"....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa, keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)

Sejarah Indonesia pada masa Orde Lama juga senantiasa diwarnai oleh konflik sosial dan politik. Pada masa Orde Lama, baik pada masa Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal ini mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia. Kemajemukan masyarakat ini ditandai dengan beraneka suku bangsa, agama, aliran politik, bahasa, adat istiadat, dan lain-lain. Selain itu dalam bidang politik masyarakat terpolarisasi dalam beberapa aliran politik dan ideologi yang kadang saling bertentangan. Demikian juga dengan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Perbedaan kepentingan inilah merupakan penyebab timbulnya konflik. Selain itu upaya dalam memperjuangkan kepentingan yang berbeda merupakan faktor yang memperlebar konflik; perjuangan untuk memperebutkan dan atau mempertahankan sumber daya langka. Demikian halnya dengan sistem distribusi kekuasaan dan perekonomian yang tidak memiliki keseimbangan. R. J. Robinson membuat analisis mengenai distribusi kekuasaan ini dan membandingkan dengan distribusi bidang-bidang ekonomis strategis. Menurut R. J. Robinson:

Distribusi kekuasaan dan kendali ekonomi dapat dilihat dari peranan birokrat politik yang menguasai jabatan-jabatan kuasa dan kendali wibawa dalam partai dan peralatan negara. Ciri penting dari birokrat politik baru ini ialah terjadinya pencampuran (fusi) antara kekuasaan politik dan otoritas birokrasi, artinya, perangkat negara diraih oleh sekelompok kecil pemimpin partai. Wahana yang digunakan untuk meraih kekuasaan negara ini ialah partai-partai politik dan faksi-faksi yang menjamin kendali atas sektor-sektor peralatan negara yang strategis sebagai objek permainan dan pertarungan dan membagi diantara mereka departemen-departemen yang mengawasi jalur perdagangan dan kebijakan ekonomi, bank-bank, dan perusahaan-perusahaan negara. Kedudukan dan jabatan yang secara ekonomis strategis ditempati oleh para pejabat partai dan militer, pendukung politik dan para kerabat, dengan tujuan untuk membiayai operasi politik oleh faksi-faksi yang bersangkutan dan menciptakan basis untuk membangun kemakmuran pribadi para individu pemegang kuasa. Dengan menggunakan kekuasaan yang diperolehnya dengan cara di atas untuk melangsungkan pembagian lisensi, konsesi, kredit dan kontrak, kaum birokrat politik ini berhasil mengamankan kedudukan-kedudukan monopoli dalam sektor impor sebagai distributor komoditi.an yang ditinjau dari akar sejarah lahirnya borjuasi nasional.

 

Kondisi seperti tersebut di atas telah menyebabkan timbulnya konflik dalam bidang ekonomi. Dalam kaitan ini Robinson. ibid

menjelaskan:Dalam lapangan ekonomi konflik yang terjadi terlihat dari pertarungan memperebutkan lisensi impor yang dibagikan melalui program banteng, dan dalam konflik tentang kebijaksanan fiskal pemerintah pusat; kebijaksanaan tersebut sangat merugikan para produsen di luar Jawa dan turut menimbulkan pembrontakan daerah melawan pusat pada akhir tahun 1950-an.

Selama dekade pertama, kekuasaan politik berada di tangan koalisi partai-partai politik, suatu koalisi yang sering goyah dan silih berganti. Tidak satu pun dari partai-partai ini yang bersandar atas suatu basis sosial yang kuat dan tangguh. Konflik politik cenderung berbentuk pertarungan memperebutkan jabatan politik.

Pada masa Orde Lama ini konflik politik terjadi baik pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Liberal diwarnai dengan konflik politik yang tidak jarang menimbulkan bentrokan fisik. Alfian mencatat:

Pada masa Demokrasi Liberal kekuasaan politik boleh dikatakan seluruhnya berada di tangan kaum politisi sipil yang berpusat di parlemen. Dalam badan legislatif itu sendiri duduk politisi-politisi yang mewakili banyak partai politik atau golongan. Kekuasaan kaum politisi sipil dengan multipartai dan parlemennya merupakan ciri khas dari Demokrasi Liberal yang juga sering disebut sebagai Demokrasi Parlementer. Akan tetapi, proses politik yang berkembang di dalam sistem itu diwarnai oleh konflik-konflik politik dan ideologi yang kadang-kadang melahirkan bentrokan fisik atau pembrontakan. Terlalu banyaknya partai politik dan semakin meningkatnya pertentangan pen- dapat atau ideologi telah menjadikan Demokrasi Liberal suatu sistem politik yang tidak stabil, sebagaimana terlihat sering bergantinya kabinet.. Lihat Alfian. 1992. Pemikiran dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia. Halaman 3-4.

 

Lebih lanjut Alfian mengatakan bahwa:

Zaman Demokrasi Liberal konflik politik terjadi secara bebas dan praktis tanpa kekangan, sehingga sering memperlihatkan sifat-sifatnya yang negatif. Konflik yang pada awalnya berkadar rendah berupa perbedaan pendapat dengan mudah bergejolak tinggi, mengeras menjadi bentrokan fisik atau pembrontakan.. ibid. Halaman 6.

Pembrontakan atau kudeta pada masa Orde Lama dapat dicatat antara lain pembrontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureueh. Demikian juga dengan bentuk- bentuk pembangkangan daerah terhadap pusat pada tahun 1956. Pada tanggal 20 Desember 1956 Ahmad Husein, Panglima Sumatra Barat mengadakan kudeta dengan mengambil alih pemerintahan propinsi. Pada bulan yang sama juga terjadi gerakan pembangkangan serupa di Sumatra Utara di bawah pimpinan Kolonel Simbolon selaku Panglima di Sumatra Utara. Sedangkan di Sumatra Selatan, Kolonel Barlian memutuskan ketergantungannya pada Jakarta. Pada tanggal 2 Maret 1957, Kolonel Samual, Panglima Indonesia bagian Timur mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang di seluruh wilayah komandonya. Tujuan tindakannya adalah menempatkan administrasi sipil pemerintahannya di bawah militer yang pengaruhnya sama dengan kudeta yang dilakukan Kolonel Husein di Sumatra Barat. Di Sulawesi, pengambil- alihan kekuasaan oleh Samual telah disertai dengan suatu pengumuman Piagam Perjuangan Semesta/Permesta.. Lihat John D. Legge. 1985. Sukarno, Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 328-329.

Konflik politik yang tajam juga terjadi dengan munculnya gerakan-gerakan daerah seperti Dewan Gadjah (Sumatra Utara) dan Dewan Banteng (Sumatra Barat) sesudah pemilihan umum 1955. Hal ini disebabkan oleh ketidakpuasan atau ketidakpercayaan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Konflik ini diperparah dengan pertentangan ideologi serta sikap kaku yang diambil oleh sejumlah pimpinan dan politisi, yang selanjutnya membawa krisis politik Indonesia kepada meletusnya prmbrontakan PRRI/Permesta di tahun 1958.. Uraian selanjutnya lihat Alfian. op cit. Halaman 36.

Selain pembrontakan juga sering terjadi penyelundupan sebagai akibat dari konflik ekonomi yang mempunyai ten- densi politik. Penyelundupan tersebut antara lain terjadi di Sulawesi Utara yang didukung oleh tentara. Letkol Worang dan Andi Mattalata melakukan penyelundupan berdasarkan perintah Kolonel J. F. Warrouw dan Kolonel Simbolon. Rekor penyelundupan terbesar terjadi pada bulan Juli 1956 di teluk Nibong yang diprakarsai oleh Kolonel Simbolon. Dan Divisi Diponegoro sejak tahun 1958 melakukan penyelundupan, ekspor-impor berbagai barang, dan per- dagangan gula dan kapuk. Menurut analisis Alfian. Ibid

, penyelundupan tersebut merupakan manifestasi dari perebutan dan persaingan antara daerah dalam kaitannya dengan perekonomian, terutama karena masalah pendapatan devisa luar negeri. Barang-barang ekspor diambil dari pulau-pulau di luar Jawa, sehingga menimbulkan anggapan bahwa Jawa yang padat penduduknya hidup sebagai parasit dari hasil-hasil mereka.

3.3. Kekuatan Politik Dominan

Seperti yang telah diuraikan pada bab tiga, bahwa kekuatan politik yang terlibat dalam konflik ada tiga, yakni Baginda Raja, Gerombolan Zabaza dan Jendral Leonel (tentara kerajaan). Sedangkan dalam sejarah Orde Lama, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin sampai menjelang peristiwa G-30-S/PKI juga terdapat tiga kekuatan politik yang dominan. Ketiga kekuatan tersebut adalah Presiden Soekarno, militer (Angkatan Darat) dan PKI.

 

3.3.1. Baginda Raja dan Presiden Soekarno

Negara yang dikisahkan oleh novel Nyali dipimpin oleh Baginda Raja sebagai kepala negara. Baginda Raja merupakan salah satu kekuatan politik yang dominan disamping Zabaza dan tentara (Jendral Leonel). Sebagai seorang raja dalam negara yang menganut sistem monarkhi atau otokrasi tradisional, Baginda Raja mempunyai kekuasaan yang besar. Besarnya kekuasaan ini merupakan kesejajaran dengan ke- kuasaan yang dimiliki oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin.

Kekuasaan Presiden Soekarno terlihat sangat besar ketika ia mencanangkan Demokrasi Terpimpin untuk menggantikan Demokrasi Liberal. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dan masa Demokrasi Liberal, kekuasaannya terbatas. Menurut konstitusi (UUD Sementara 1950) penggunaan kekuasaan eksekutif berada di tangan perdana menteri dan kabinet yang tergantung pada dukungan parlemen. Presiden hanya sebagai tokoh lambang. Ia mempunyai kekuasaan terbatas yang menyangkut bidang-bidang tertentu, seperti penunjukkan formatur kabinet yang merupakan hak prerogatifnya, mengeluarkan penyataan negara dalam keadaan bahaya dan pernyataan perang, menerima surat-surat kepercayaan duta besar negara-negara sahabat, dan acara-acara seremonial lainnya. Namun dalam keadaan darurat tidak ada ketentuan yang memperbolehkan presiden membentuk kabinet presi- dentiil.Harapan. Hal. 279

Mengingat dalam Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet dan terlebih lagi sering terjadinya konflik politik antar partai, serta pembrontakan daerah seperti PRRI/Permesta, Presiden Soekarno menghapuskan pemerintahan partai dan memantapkan suatu bentuk kekuasaan yang populis. Selain itu hal ini disebabkan oleh karena ketidakmampuan partai-partai politik, antara lain karena jumlahnya terlalu banyak, sehingga sering terjadi pertentangan dan konflik antar partai dan akibat lebih jauh menghasilkan ketidakstabilan politik sebagaimana tergambar dalam pergantian kabinet yang sering terjadi di permulaan tahun 1950-an. Keinginan Soekarno memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik daripada hanya sekedar lambang sebagaimana ditentukan oleh UUDS 1950 juga menjadi faktor penyebab. Faktor lainnya adalah keinginan tokoh-tokoh militer untuk ikut mempunyai peranan pula dalam politik, antara lain karena semakin menurunnya kepercayaan mereka pada pemimpin-pemimpin partai atau politisi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan.

Bentuk kekuasaan baru ini dinamakan dengan Demokrasi Terpimpin. Walaupun Demokrasi Terpimpin sifatnya populis (merakyat) dalam artian bahwa kebijakan dan retorikanya diperuntukkan bagi tujuan memikat massa dipandang perlu demi legitimasi negara, namun negara ini juga bersifat otoriter. Lembaga-lembaga pemerintahan, kebinet, partai politik dan parlemen yang terpilih melalui pemilu digantikan oleh otoritas kepresidenan dan parlemen yang diangkat. Partisipasi politik disalurkan melalui organisasi- organisasi yang disponsori dan dikendalikan oleh negara, yang mewakili kelompok-kelompok fungsional dalam masyarakat.1983. hal. 13.

Kekuasaan Presiden Soekarno yang sangat besar dan tingkah laku politiknya yang otoriter ini telah mengarah pada sikap politik diktaktor. Hal ini terbukti dari pengangkatan dirinya sebagai presiden seumur hidup yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian juga dengan pembubaran parlemen hasil pemilihan umum tahun 1955 dan digantikan dengan parlemen yang anggotanya ditunjuk sendiri. Kekuasaan presiden seperti ini dapat dikatakan identik dengan kekuasaan seorang raja yang memerintah negara sampai akhir hidupnya.

3.3.2. Zabaza dan Partai Komunis Indonesia

Kesejajaran antara PKI dan gerombolan Zabaza adalah keduanya sama-sama menjadi kekuatan politik dominan dalam sebuah negara, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan. PKI dalam sejarah Indonesia (pada masa Orde Lama) masuk dalam sistem (masuk dalam kosepnya Soekarno yakni NASAKOM), bahkan empat orang tokohnya masuk dalam kabinet, sedangkan gerombolan Zabaza menjadi kelompok di luar sistem yang punya tujuan untuk mengubah sistem.

Gerombolan Zabaza memiliki disiplin yang kuat. Anggotanya mempunyai militansi yang tinggi, sehingga keanggotaanya terus bertambah. Pengorganisasiannya sangat rapi. Jaringannya sampai ke desa-desa dan kota, bahkan sampai ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, kalangan cendekiawan dan istana.

 

"....Kita harus berhenti main kekerasan. Dia sudah mendikte kita untuk bermain menurut rencananya. Kalau lima tahun lagi ini masih terus terjadi, jaringannya di ibu kota di sekitar istana, di gedung parlemen, di universitas dan di kalangan para pedagang akan semakin rapih...." (halaman 21-22)

Jaringan dan keanggotaannya yang cukup besar tersebut menunjukkan bahwa gerombolan Zabaza mendapat dukungan dari kalangan luas. Hal ini juga berarti bahwa ideologi dan cita-citanya diterima oleh para pendukungnya. Kekuatan Zabaza ini juga didukung oleh Baginda Raja. Sesungguhnya antara Baginda Raja dan gerombolan Zabaza tidak bermusuhan. Zabaza sengaja diciptakan oleh Baginda Raja dengan tujuan untuk mempersatukan tentara yang mengalami fragmentasi. Dalam novel Nyali, hal ini terlihat pada ucapan istri Jendral Leonel kepada Janda Kolonel Krosy.

"....Ibu tidak tahu bahwa Zabaza diciptakan sendiri oleh kerajaan, dalam hal ini baginda, untuk mempersatukan seluruh potensi angkatan bersenjata...." (halaman 63).

Sesungguhnya Zabaza sendiri tidak bermaksud menggulingkan Baginda Raja.

"....Gerombolan ini tidak memiliki target merebut pemerintahan. Dia adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang membuat setiap orang menjadi hambat kerajaan yang baik...." (halaman 65-66)

Selain itu antara PKI dan gerombolan Zabaza dalam novel Nyali dalam beberapa hal memiliki kemiripan ideologis, walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit, melainkan melalui simbol-simbol yang bisa diinterpretasikan berdasarkan kerangka politis dan ideologis. Sesungguhnya Zabaza merupakan kelompok ideologi.

"Bangsat! Sudah bertahun-tahun aku tahu, Zabaza bukan orang, tetapi semacam ideologi...." (halaman 22)

Zabaza dan PKI sama-sama memiliki cita-cita mengadakan sebuah revolusi.

Dia adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang membuat setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Ini terjadi karena seka- rang setiap orang sudah terlalu banyak bicara tentang kepentingan-kepentingannya. Dalam kelompok Zabaza tidak ada lagi kepentingan pribadi. Setiap orang merasa dirinya alat....(halaman 66)

Secara sepintas bentuk revolusi yang dicita-citakan oleh Zabaza dan revolusi dalam terminologi Marxis menunjukkan perbedaan. Tetapi jika dikaji lebih seksama, kedua bentuk revolusi tersebut memiliki kemiripan substansial. Revolusi dan perjuangan kelas yang menjadi doktrin komunis adalah sebuah cara menuju terciptanya masyarakat tanpa kelas yang memiliki prinsip setiap orang bekerja menurut kemampuannya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya. Menurut ajaran Marxisme, selama dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosialHunt. 1954. Marxism Past and Present. London: Geoffrey Bles. hal. 76-77, 90).

, yakni kelas borjuasi dan kelas proletar, maka selama itu pula terjadi eksploitasi oleh kelas kapitalis terhadap kelas proletar.

Anggota Zabaza sangat patuh terhadap pemimpinnya bahkan bersedia mati untuk kepentingan bersama. Sistem kepemimpinan dalam gerombolan Zabaza bisa diinterpretasikan sebagai sistem kepemimpinan sentralisme demokrasi. Sistem kepemimpinan ini memberikan otoritas yang besar kepada pemimpinnya, tetapi massa anggota juga punya hak untuk memberikan saran melalui prosedur tertentu. Dalam mekanisme sentralisme demokrasi dikenal Kritik Oto Kritik sebagai sebuah mekanisme untuk memperbaiki kesalahan- kesalahan dalam kepemimpinan.

Pada tingkat negara prinsip sentralisme demokrasi termanifestasikan dalam bentuk pemerintahan diktaktor proletariat. Dalam sistem pemerintahan seperti ini, bisa dikatakan bahwa "setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik". Artinya setiap orang diwajibkan untuk patuh terhadap kepemimpinan diktaktor proletariat. Kepentingan pribadi harus diselaraskan dengan kepentingan diktaktor proletariat. Dengan kata lain setiap warga negara hanyalah alat bagi kepentingan negara. Bagi para pembangkang akan dituduh sebagai kontra-revolusioner. Hukuman bagi para pembangkang adalah kerja paksa atau pembuangan.

Kesejajaran yang sifatnya ideologis antara Zabaza dan PKI adalah tentang kesetiaan anggota terhadap doktrin perjuangan mereka. Doktrin ini merupakan sarana untuk meningkatkan militansi perjuangan. Anggota gerombolan Zabaza sangat yakin pada kemuliaan tujuan.

untuk kepentingan bersama. Apa saja mereka genjot dengan hati beku dan tertutup. Karena mereka sangat yakin kepada kemuliaan tujuannya. (halaman 7)

"Kolonel, kita menghadapi gerombolan yang mentalnya tergarap oleh keyakinan yang sulit dimengerti." (halaman 15)

Doktrin yang terdapat dalam sosialisme/komunisme juga mengajarkan bahwa cita-cita terwujudnya masyarakat tanpa kelas bukan sebagai utopia seperti yang sering dilontarkan oleh pengkritik sosialisme. Akan tetapi cita-cita yang didasarkan pada sosialisme ilmiah tersebut benar-benar akan terwujud sebagai konsekwensi sejarah perkembangan masyarakat.itu sendiri (Lihat Ruslan Abdulgani. tt. Sosialisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Prapantja. halaman 15).

Dalam sejarah masyarakat Indonesia, khususnya Orde Lama, PKI menjadi kekuatan politik dominan. PKI pada masa itu mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Aliran komunis mempunyai tempat dalam konsepnya Soekarno yakni NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Bertolak dari konsep inilah Soekarno berkeras untuk tetap mempertahankan PKI sebagai salah satu kekuatan revolusi. Pada waktu itu Soekarno yang muncul sebagai kekuatan terpenting memberi angin kepada partai ini, dan bahkan membelanya dalam kesulitan-kesulitan politik. Tersingkirnya Masyumi dan PSI semakin memperbesar pengaruh partai komunis. Demikian juga dengan kemerosotan PNI dan NU. Selain itu pimpinan PKI tidak pernah duduk dalam pemerintahan, maka partai ini relatif bersih dari prasangka- prasangka jelek yang hidup di dalam masyarakat yang di- alamatkan kepada mereka yang berkuasa. Kekuatan PKI ini tidak terlepas dari kemampuan organisasi yang baik, di- tangani oleh aktivis-aktivis dan kader-kader yang militan serta penuh dedikasi. Program-program politiknya cukup menarik bagi massa di pedesaan dan perkotaan, sehingga keanggotaannya semakin bertambahD. Legge. op cit. halaman 429)

. Kekuatan PKI tidak tergantung pada parlemen yang berdasarkan konstitusi. Sesungguhnya partai ini sedang mempersiapkan diri untuk memainkan peranan langsung dalam gelanggang politik dengan dukungan organisasi, besarnya jumlah penyokong dan kontrolnya atas anak organisasi di kalangan buruh, tani, dan pemuda. Pada pemilu 1955 PKI memperoleh 8 juta suara (15,4%); menduduki empat besar dalam pemilu tersebut.

3.3.3. Tentara dan Angkatan Darat

Tentara dalam novel Nyali dan Angakatan Darat dalam realitas sejarah Indonesia pada masa Orde Lama dapat dikatakan memiliki kesejajaran. Keduanya merupakan ke- kuatan politik dominan, walaupun dalam tubuh militer terjadi fragmentasi. Dalam novel Nyali tentara yang dipimpin oleh Jendral Leonel terlibat dalam urusan politik kerajaan. Ia tidak sekedar berfungsi sebagai pengawal negara, tetapi punya maksud untuk mengadakan perubahan pada sistem pemerintahan.

"....Karena angkatan perang kerajaan ini benar-benar ampuh dan siap menumpahkan darah. Mereka setia kepada kerajaan sampai titik darah yang penghabisan....Ada alasan kenapa tiba-tiba moral tentara kerajaan sedang berada di puncaknya sekarang. Karena ada Zabaza. Zabaza telah berjasa mengembalikan semangat kepada mereka dengan cara paksa...." (halaman 43)

Militer terutama Angkatan Darat dalam sejarah Indonesia pada masa Orde Lama merupakan kekuatan politik yang cukup dominan. Sejak masa revolusi fisik (1945-1950) militer (TNI) terlibat aktif dalam perjuangan dan dalam masalah politik. Militer tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer saja, akan tetapi juga melibatkan diri dalam menentukan kebijakan dan strategi politik. Bahkan ketika pemerintah mempunyai peluang yang besar untuk ikut dalam kebijaksanaan pemerintahan. Dalam kaitan ini John D. Legge. John D. Legge. op cit. halaman 342.

membuat analisis bahwa:

Diumumkannya Pernyataan Negara Dalam Keadaan Bahaya pada bulan Maret 1957 telah memberikan kepada Angkatan Darat peranan resmi dalam pemerintahan, meskipun secara teoritis kekuasaan dijalankan di bawah ke- kuasaan Sukarno sebagai panglima tertinggi. Pengumum- an negara dalam keadaan bahaya telah memberi peluang bagi tujuan-tujuan politik Angkatan Darat. Selain itu tentara banyak mendapatkan tanggung jawab dalam pekerjaan rutin di pemerintahan.

Dengan demikian militer mulai ikut secara terbuka dalam politik praktis yang pada gilirannya berhasil mendominasi panggung politik Indonesia.halaman 30.

Ketiga kekuatan politik dominan ini terlibat dalam konflik politik dan mencapai puncaknya pada peristiwa G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno dan militer sering berhadapan dalam hubungan konflik. Munculnya militer sebagai kekuatan politik yang cukup dominan dirasakan oleh Soekarno sebagai ancaman, walau kedua belah pihak saling membutuhkan. Tentara membutuhkan hak kekuasaan presiden yang dapat memberikan kepada tentara peranan politik dan presiden membutuhkan dukungan tentara dalam melaksanakan kebijakan politiknya. Kekuatiran Soekarno terhadap militer mempunyai alasan yang kuat. Pengalaman-pengalaman sejarah terdahulu telah menjadi pelajaran untuk waspada terhadap

militer. Pada masa sebelum Demokrasi Terpimpin, militer sering terlibat dalam gerakan pembangkangan dan kudeta seperti yang telah penulis uraikan di atas. Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah bukti dari konflik antara militer dan Soekarno. Peristiwa tersebut merupakan kudeta yang dilakukan oleh militer (Angkatan Darat). Militer mengepung

istana dengan persenjataan berat. Militer menuntut pembubaran parlemen dan menuntut untuk segera diadakan pemilu.

 

 

Presiden Soekarno tidak bersedia membubarkan parlemen, tapi ia menjanjikan akan segera mengadakan pemilu. Akibat dari peristiwa ini A. H. Nasution diberhentikan dari jabatannya sebagai Kasad pada bulan Desember 1952. Akibat lebih jauh adalah terjadinya gerakan "anti 17 Oktober" di sejumlah komando-komando daerah yang menyerukan penghu- kuman terhadap mereka yang bertanggung jawab pada peristiwa tersebut dan pemecatan para panglima di Jawa Timur, Sulawesi dan Sumatra Selatan.terhadap komando-komando di daerah.

Sementara itu militer menaruh curiga terhadap Sukarno karena kedekatan Sukarno dengan PKI. Sukarno memberikan

peluang bagi PKI untuk turut dalam pemerintahan. Bukti- bukti lain dari dukungan Sukarno kepada PKI adalah dalam masalah kebudayaan (sastra). Sukarno cenderung mendukung Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PKI) dan melarang gerakan Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang anti-komunis. Dalam kaitannya dengan landreform Sukarno juga memberikan dukungan kepada PKI. Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1964, Sukarno seolah-olah mendorong petani melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (terutama landreform / pembagian tanah).

Di dalam tubuh militer sendiri juga terjadi fragmentasi yang tajam. Hal ini terlihat dari pembrontakan-pembrontakan atau pun kudeta yang dilakukan oleh panglima-panglima di daerah. Demikian juga dengan kasus Zulkifli Lubis yakni peristiwa penangkapan terhadap Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani dan disusul dengan percobaan kudeta. Pada tanggal 13 Agustus 1956 atas perintah Kolonel A.E. Kawilarang dan dengan sepengetahuan Zulkifli Lubis sebagai Wakil Kepala Staf, menangkap Roeslan Abdulgani yang pada saat itu hendak pergi ke London. Namun kemudian Roeslan Abdulgani dibebaskan oleh Nasution. Beberapa waktu kemudian Kolonel Zulkfli Lubis yang telah diberhentikan dari jabatannya setelah peristiwa penangkapan tersebut mencoba mendatangkan pasukan ke Jakarta untuk mengadakan kudeta. Namun rencana ini dengan mudah dicegah oleh perwira-perwira yang setia kepada Nasution.

Militer dan PKI juga terjadi pertentangan dan persaingan. Ideologi militer adalah anti-komunis. Karena itu dengan segala cara militer berusaha untuk menghalangi pertumbuhan PKI, termasuk menghalangi PKI masuk dalam kabinet. Persaingan semakin keras ketika PKI tumbuh menjadi partai politik yang mempunyai pengaruh dan massa yang cukup besar pada masa Demokrasi Terpimpin. Apalagi meng- ingat Presiden Soekarno memberi dukungan kepada partai ini untuk menjalankan program-program politiknya dan berusaha melibatkan dalam pemerintahan. Sikap anti-komunis dari militer ini terlihat dari usaha militer menghalangi orang- orang PKI masuk kabinet atau pemerintahan. Pada akhir tahun 1964 militer turut mesponsori gerakan anti-komunis. Pada waktu itu didirikan sebuah organisasi baru bernama Badan Pendukung Sukarno (BPS) dengan tujuan mengerahkan perasaan anti-komunis. Namun kemudian Sukarno melarang gerakan itu dengan alasan bahwa gerakan tersebut bersifat memecah belah.John D. Legge. ibid. hal 430.

 

3.4. Konflik dan Perubahan Sosial Politik

Kesejajaran antara novel Nyali dengan sejarah Indonesia sekitar tahun 1965 juga terlihat pada konflik dan perubahan sosial politik. Sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa konflik yang terjadi di sebuah negara dalam novel Nyali telah membawa perubahan sosial politik yang sangat besar. Demikian halnya dengan konflik yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

Puncak dari konflik adalah meletusnya peristiwa G-30- S/PKI. Dalam peristiwa itu terdapat tiga kekuatan yang terlibat dalam konflik. Yang pertama adalah Presiden Sukarno, PKI, dan militer. Tetapi dalam tubuh militer sendiri ada kelompok yang mendukung dan bahkan menjadi pelaku utama dalam kudeta.an antara perwira menengah Divisi Diponegoro dengan pimpinan Angkatan Darat Pusat.

Karena keterlibatan PKI dalam gerakan G-30-S, maka pihak militer (Angkatan Darat) menuduh kepada PKI sebagai pelaku dari peristiwa berdarah tersebut. Tuduhan ini disebarkan secara luas melalui koran-koran milik Angkatan Darat dan koran-koran yang anti-komunis. Akibatnya PKI dilarang dan pimpinan serta anggotanya dibunuh atau di penjaraStudies, Monash University. Halaman 57)

Pembantaian secara besar-besaran terhadap anggota, simpatisan PKI terjadi di Jawa, Bali dan Sumatra Utara. Pembantaian tersebut membe- rikan militer kekuasaan negara yang ampuh dan keji. Pembantaian itu menyatakan komunisme sebagai biang keladi kekacauan dan huru-hara.57

 

Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuhnya pemerin- tahan lama (Presiden Soekarno), hancurnya PKI, dan keme- nangan militer. Dengan kata lain Presiden Sukarno dan PKI sebagai pihak yang kalah dalam konflik, sedangkan militer menjadi pemenang dalam konflik tersebut. Kegagalan Gerakan G-30-S dan keberhasilan militer dalam menumpas PKI telah menjadikan militer sebagai satu-satunya kekuatan politik utama pasca kudeta. Selanjutnya terjadi perubahan radikal dalam sistem demokrasi dan kebijakan pembangunan. Demokrasi Terpimpin digantikan dengan Demokrasi Pancasila. Masa ini dinamakan Orde Baru yang menggantikan Orde Lama yang penuh dengan konflik dan kekerasan serta pembrontakan. Demikian pula dengan berubahnya segi kebijakan pembangun- an. Dengan kata lain kelahiran Orde Baru menandai tertib sosial yang baru setelah menempuh kekerasan massal dan tersingkirnya dua kekuatan politik, yakni Sukarno dan PKI. Pergantian tersebut hanya memerlukan waktu yang tidak lama. Langenberg membuat analisis tentang pergantian periode sejarah ini dengan menekankan pada faktor pemban- taian massal sebagai faktor yang menentukan bagi perubahan politik tersebut. Menurut Langenberg ibid. hal 45

:

Citra sejarah Orde Baru dan naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan politik adalah kemajuan yang bertahap, pelan tapi pasti. Namun pada kenyataannya, proses politik yang menggantikan "Demokrasi Terpimpin" Orde Lama oleh Orde Baru berlangsung efektif hanya dalam enam bulan semenjak pecahnya peristiwa Gestapu 30 September/1 Oktober 1965. Struktur kekuasaan pokok negara Orde Baru diletakkan antara 1 Oktober sampai pertengahan Maret 1966. Hal ini mungkin karena pembantaian massal akhir 1965 memungkinkan pembersihan semua lawan-lawan politik dan pemulihan tata tertib atas mana hegemoni kemudian dapat di- bangun.

Keabsahan Orde Baru dibangun atas dasar peranannya sebagai pemulih tata tertib. Skala pembunuhan dipakai untuk membentuk citra Orde Lama di pikiran publik sebagai periode kekacauan dan huru-hara. Orde Baru memperalat memori sejarah pembunuhan untuk mengukuhkan keabsahannya sendiri. Pembunuhan itu sendiri tidak ditonjolkan dalam sejarah resmi Orde Baru. Mereka secara pasti tidak menyandarkan diri hanya pada penggantian Orde Lama oleh Orde Baru. Pembalasan dendam dianggap sebagai tindakan spontan oleh rakyat melawan komunis yang pengkhianat. Ini berarti mengkambinghitamkan PKI dan sekutu politiknya sebagai bertanggungjawab atas kekerasan massa; dan kekacauan Orde Lama dan bukan permulaan Orde Baru.. ibid. Halaman 58.

Pada masa Orde Lama dipenuhi dengan konflik politik, sedangkan pada masa Orde Baru konflik bisa dikendalikan dan pembangunan diarahkan kepada pembangunan ekonomi dengan memperhatikan segi industrialisasi. Dengan kata lain puncak dari konflik politik pada tahun 1965 telah membawa Indonesia memasuki era baru. Namun demikian konflik tersebut bukan hilang sama sekali. Pada saat-saat tertentu akan muncul kembali. Terbukti dengan gerakan- gerakan mahasiswa pada tahun 1974, 1978 dan gerakan maha- siswa tahun 90-an. Sementara itu kekuatan-kekuatan yang terdapat pada zaman Orde Lama bukan hilang sama sekali.

BAB IV DAN BAB V

 


I puisi I cerpen I novel I skenario I skripsi I profil I time line I catatan harian I surat-surat I
proses kreatif 
I artikel I komentar & resensi] I berita I


 Copyright�2000 Ngarto Februana. All rights reserved.
Design and Maintenance by Ngarto Februana

1