BAB III
NOVEL NYALI DAN REALITAS SOSIAL
Dalam bab ini penulis membahas kaitan antara sastra dan realitas sosial .
Seperti yang telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa karya sastra
mencerminkan kenyataan sosial. Demikian halnya dengan novel Nyali. Dalam konteks
ini penulis membuktikan adanya kesejajaran antara konflik sosial dan politik
dalam novel Nyali dengan konflik sosial dan politik pada kurun sejarah tersebut.
Namun demikian, sebagai sebuah karya kreatif kesejajaran tersebut bukan sebagai
menjiplak realitas sejarah. Karya sastra memilih bahan yang terdapat dalam
masyarakat (termasuk realitas sejarah), mengolahnya dengan dipadu oleh imajinasi
pengarang, sehingga realitas dalam novel Nyali dengan realitas dalam sejarah
masyarakat Indonesia tidak sama persis.
Kesejajaran antara novel Nyali dengan kenyataan sejarah masyarakat Indonesia
pada masa Orde Lama dan sekitar kelahiran Orde Baru ditekankan pada konflik
sosial dan politik yang terjadi pada kurun waktu sejarah tersebut. Kesejajaran
ini bukan berarti sama persis, akan tetapi hanya pada beberapa bagian dari
sejarah tersebut mempunyai kesamaan dengan konflik sosial dan politik yang
tercermin dalam novel Nyali. Kesejajaran tersebut menyangkut periode sejarah,
kondisi sosial dan politik yang mengakibatkan timbulnya konflik,
kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik, serta konflik dan perubahan
sosial-politik. Kurun waktu sejarah yang relevan dengan permasalahan ini adalah
pada masa menjelang dan kurun waktu Demokrasi Terpimpinlagi sebagai ideologi
melainkan wujud dari pimpinan yang berupa pribadi seorang pemimpin (Gazali, dkk.
1989:100).
, yakni mulai tahun 1957 sampai dengan 1965, peristiwa G-30-S/PKI dan masa
kelahiran Orde Baru.
3.1.. Periode Sejarah
Seperti yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa negara yang
dikisahkan dalam novel Nyali memiliki dua periode sejarah, yakni pada masa
monarkhi dan masa republik. Pada masa monarkhi (Orde Lama)sejarah.
negara (kerajaan) senantiasa diwarnai oleh konflik sosial dan politik yang
tajam yang mencapai puncaknya pada peristiwa pem- brontakan atau kudeta. Kudeta
dan pembersihan terhadap gerombolan yang dianggap bertanggungjawab terhadap tin-
dakan itu serta tampilnya tentara (Jendral Leonel) telah mengantarkan negara itu
kepada zaman baru, yakni masa republik (Orde Baru). Pada masa Orde Baru muncul
konflik politik yang termanifestasi dalam bentuk demonstrasi- demonstrasi yang
menggugat kebijakan pemerintahan Jendral Leonel dan menuntut rekonstruksi
peristiwa berdarah pada masa lalu. Demonstrasi-demonstrasi ini diduga didalangi
oleh Zabaza baru. Dalam situasi yang penuh konflik, sisa- sisa gerombolan Zabaza
mengkonsolidasikan diri dan memulai aktivitasnya seperti pasa masa Orde Lama
(masa kerajaan).
Hal ini mempunyai kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia pasca
kemerdekaan, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa Orde Lama, Indonesia terus
menerus dihadapkan pada konflik sosial dan politik yang mencapai puncaknya pada
tahun 1965 dengan meletusnya Gestapu atau G-30-S/PKI. Kudeta dan tampilnya
militer (Angkatan Darat) yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto dalam menumpas pim-
pinan, kader-kader, dan anggota PKI beserta organisasi- organisasi yang
berafiliasi dengannya telah mengantarkan Indonesia memasuki masa baru yang
dinamakan Orde Baru. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik baru yang
termanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa
kebijakan pemerintahan Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan,
pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia. Dalam beberapa kasus, ketika muncul
aksi protes, pemerintah sering melontarkan tuduhan bahwa aksi tersebut didalangi
oleh sisa-sisa PKI. Kasus pem- bangunan waduk Kedong Ombo misalnya, para petani
dituduh didalangi oleh sisa-sisa PKI. Pada masa Orde Baru juga terdapat indikasi
bahwa sisa-sisa anggota PKI mulai mengkonsolidasikan diri.
3.2. Kondisi Sosial dan Politik
Negara yang dikisahkan dalam novel Nyali senantiasa dihadapkan pada konflik
sosial dan politik yang berkepanjangan. Konflik termanifestasikan dalam bentuk
fragmentasi dalam tubuh militer, perbedaan pendapat tentang bentuk pemerintahan,
pertentangan ideologi, kekerasan, sampai menjurus kepada pembrontakan yang
mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan berakibat pada berubahnya sistem sosial
dan politik.
"....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa,
keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)
Sejarah Indonesia pada masa Orde Lama juga senantiasa diwarnai oleh konflik
sosial dan politik. Pada masa Orde Lama, baik pada masa Demokrasi Liberal maupun
Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal
ini mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia. Kemajemukan masyarakat ini
ditandai dengan beraneka suku bangsa, agama, aliran politik, bahasa, adat
istiadat, dan lain-lain. Selain itu dalam bidang politik masyarakat
terpolarisasi dalam beberapa aliran politik dan ideologi yang kadang saling
bertentangan. Demikian juga dengan perbedaan kepentingan di antara
kelompok-kelompok masyarakat. Perbedaan kepentingan inilah merupakan penyebab
timbulnya konflik. Selain itu upaya dalam memperjuangkan kepentingan yang
berbeda merupakan faktor yang memperlebar konflik; perjuangan untuk
memperebutkan dan atau mempertahankan sumber daya langka. Demikian halnya dengan
sistem distribusi kekuasaan dan perekonomian yang tidak memiliki keseimbangan.
R. J. Robinson membuat analisis mengenai distribusi kekuasaan ini dan
membandingkan dengan distribusi bidang-bidang ekonomis strategis. Menurut R. J.
Robinson:
Distribusi kekuasaan dan kendali ekonomi dapat dilihat dari peranan birokrat
politik yang menguasai jabatan-jabatan kuasa dan kendali wibawa dalam partai dan
peralatan negara. Ciri penting dari birokrat politik baru ini ialah terjadinya
pencampuran (fusi) antara kekuasaan politik dan otoritas birokrasi, artinya,
perangkat negara diraih oleh sekelompok kecil pemimpin partai. Wahana yang
digunakan untuk meraih kekuasaan negara ini ialah partai-partai politik dan
faksi-faksi yang menjamin kendali atas sektor-sektor peralatan negara yang
strategis sebagai objek permainan dan pertarungan dan membagi diantara mereka
departemen-departemen yang mengawasi jalur perdagangan dan kebijakan ekonomi,
bank-bank, dan perusahaan-perusahaan negara. Kedudukan dan jabatan yang secara
ekonomis strategis ditempati oleh para pejabat partai dan militer, pendukung
politik dan para kerabat, dengan tujuan untuk membiayai operasi politik oleh
faksi-faksi yang bersangkutan dan menciptakan basis untuk membangun kemakmuran
pribadi para individu pemegang kuasa. Dengan menggunakan kekuasaan yang
diperolehnya dengan cara di atas untuk melangsungkan pembagian lisensi, konsesi,
kredit dan kontrak, kaum birokrat politik ini berhasil mengamankan
kedudukan-kedudukan monopoli dalam sektor impor sebagai distributor komoditi.an
yang ditinjau dari akar sejarah lahirnya borjuasi nasional.
Kondisi seperti tersebut di atas telah menyebabkan timbulnya konflik dalam
bidang ekonomi. Dalam kaitan ini Robinson. ibid
menjelaskan:Dalam lapangan ekonomi konflik yang terjadi terlihat dari
pertarungan memperebutkan lisensi impor yang dibagikan melalui program banteng,
dan dalam konflik tentang kebijaksanan fiskal pemerintah pusat; kebijaksanaan
tersebut sangat merugikan para produsen di luar Jawa dan turut menimbulkan
pembrontakan daerah melawan pusat pada akhir tahun 1950-an.
Selama dekade pertama, kekuasaan politik berada di tangan koalisi
partai-partai politik, suatu koalisi yang sering goyah dan silih berganti. Tidak
satu pun dari partai-partai ini yang bersandar atas suatu basis sosial yang kuat
dan tangguh. Konflik politik cenderung berbentuk pertarungan memperebutkan
jabatan politik.
Pada masa Orde Lama ini konflik politik terjadi baik pada masa Demokrasi
Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Liberal diwarnai dengan
konflik politik yang tidak jarang menimbulkan bentrokan fisik. Alfian mencatat:
Pada masa Demokrasi Liberal kekuasaan politik boleh dikatakan seluruhnya
berada di tangan kaum politisi sipil yang berpusat di parlemen. Dalam badan
legislatif itu sendiri duduk politisi-politisi yang mewakili banyak partai
politik atau golongan. Kekuasaan kaum politisi sipil dengan multipartai dan
parlemennya merupakan ciri khas dari Demokrasi Liberal yang juga sering disebut
sebagai Demokrasi Parlementer. Akan tetapi, proses politik yang berkembang di
dalam sistem itu diwarnai oleh konflik-konflik politik dan ideologi yang
kadang-kadang melahirkan bentrokan fisik atau pembrontakan. Terlalu banyaknya
partai politik dan semakin meningkatnya pertentangan pen- dapat atau ideologi
telah menjadikan Demokrasi Liberal suatu sistem politik yang tidak stabil,
sebagaimana terlihat sering bergantinya kabinet.. Lihat Alfian. 1992. Pemikiran
dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia. Halaman 3-4.
Lebih lanjut Alfian mengatakan bahwa:
Zaman Demokrasi Liberal konflik politik terjadi secara bebas dan praktis
tanpa kekangan, sehingga sering memperlihatkan sifat-sifatnya yang negatif.
Konflik yang pada awalnya berkadar rendah berupa perbedaan pendapat dengan mudah
bergejolak tinggi, mengeras menjadi bentrokan fisik atau pembrontakan.. ibid.
Halaman 6.
Pembrontakan atau kudeta pada masa Orde Lama dapat dicatat antara lain
pembrontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam di bawah pimpinan
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan di Aceh di
bawah pimpinan Daud Beureueh. Demikian juga dengan bentuk- bentuk pembangkangan
daerah terhadap pusat pada tahun 1956. Pada tanggal 20 Desember 1956 Ahmad
Husein, Panglima Sumatra Barat mengadakan kudeta dengan mengambil alih
pemerintahan propinsi. Pada bulan yang sama juga terjadi gerakan pembangkangan
serupa di Sumatra Utara di bawah pimpinan Kolonel Simbolon selaku Panglima di
Sumatra Utara. Sedangkan di Sumatra Selatan, Kolonel Barlian memutuskan
ketergantungannya pada Jakarta. Pada tanggal 2 Maret 1957, Kolonel Samual,
Panglima Indonesia bagian Timur mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang
di seluruh wilayah komandonya. Tujuan tindakannya adalah menempatkan
administrasi sipil pemerintahannya di bawah militer yang pengaruhnya sama dengan
kudeta yang dilakukan Kolonel Husein di Sumatra Barat. Di Sulawesi, pengambil-
alihan kekuasaan oleh Samual telah disertai dengan suatu pengumuman Piagam
Perjuangan Semesta/Permesta.. Lihat John D. Legge. 1985. Sukarno, Sebuah
Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 328-329.
Konflik politik yang tajam juga terjadi dengan munculnya gerakan-gerakan
daerah seperti Dewan Gadjah (Sumatra Utara) dan Dewan Banteng (Sumatra Barat)
sesudah pemilihan umum 1955. Hal ini disebabkan oleh ketidakpuasan atau
ketidakpercayaan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Konflik ini diperparah
dengan pertentangan ideologi serta sikap kaku yang diambil oleh sejumlah
pimpinan dan politisi, yang selanjutnya membawa krisis politik Indonesia kepada
meletusnya prmbrontakan PRRI/Permesta di tahun 1958.. Uraian selanjutnya lihat
Alfian. op cit. Halaman 36.
Selain pembrontakan juga sering terjadi penyelundupan sebagai akibat dari
konflik ekonomi yang mempunyai ten- densi politik. Penyelundupan tersebut antara
lain terjadi di Sulawesi Utara yang didukung oleh tentara. Letkol Worang dan
Andi Mattalata melakukan penyelundupan berdasarkan perintah Kolonel J. F.
Warrouw dan Kolonel Simbolon. Rekor penyelundupan terbesar terjadi pada bulan
Juli 1956 di teluk Nibong yang diprakarsai oleh Kolonel Simbolon. Dan Divisi
Diponegoro sejak tahun 1958 melakukan penyelundupan, ekspor-impor berbagai
barang, dan per- dagangan gula dan kapuk. Menurut analisis Alfian. Ibid
, penyelundupan tersebut merupakan manifestasi dari perebutan dan persaingan
antara daerah dalam kaitannya dengan perekonomian, terutama karena masalah
pendapatan devisa luar negeri. Barang-barang ekspor diambil dari pulau-pulau di
luar Jawa, sehingga menimbulkan anggapan bahwa Jawa yang padat penduduknya hidup
sebagai parasit dari hasil-hasil mereka.
3.3. Kekuatan Politik Dominan
Seperti yang telah diuraikan pada bab tiga, bahwa kekuatan politik yang
terlibat dalam konflik ada tiga, yakni Baginda Raja, Gerombolan Zabaza dan
Jendral Leonel (tentara kerajaan). Sedangkan dalam sejarah Orde Lama, khususnya
pada masa Demokrasi Terpimpin sampai menjelang peristiwa G-30-S/PKI juga
terdapat tiga kekuatan politik yang dominan. Ketiga kekuatan tersebut adalah
Presiden Soekarno, militer (Angkatan Darat) dan PKI.
3.3.1. Baginda Raja dan Presiden Soekarno
Negara yang dikisahkan oleh novel Nyali dipimpin oleh Baginda Raja sebagai
kepala negara. Baginda Raja merupakan salah satu kekuatan politik yang dominan
disamping Zabaza dan tentara (Jendral Leonel). Sebagai seorang raja dalam negara
yang menganut sistem monarkhi atau otokrasi tradisional, Baginda Raja mempunyai
kekuasaan yang besar. Besarnya kekuasaan ini merupakan kesejajaran dengan ke-
kuasaan yang dimiliki oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin.
Kekuasaan Presiden Soekarno terlihat sangat besar ketika ia mencanangkan
Demokrasi Terpimpin untuk menggantikan Demokrasi Liberal. Pada masa Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan masa Demokrasi Liberal, kekuasaannya terbatas.
Menurut konstitusi (UUD Sementara 1950) penggunaan kekuasaan eksekutif berada di
tangan perdana menteri dan kabinet yang tergantung pada dukungan parlemen.
Presiden hanya sebagai tokoh lambang. Ia mempunyai kekuasaan terbatas yang
menyangkut bidang-bidang tertentu, seperti penunjukkan formatur kabinet yang
merupakan hak prerogatifnya, mengeluarkan penyataan negara dalam keadaan bahaya
dan pernyataan perang, menerima surat-surat kepercayaan duta besar negara-negara
sahabat, dan acara-acara seremonial lainnya. Namun dalam keadaan darurat tidak
ada ketentuan yang memperbolehkan presiden membentuk kabinet presi-
dentiil.Harapan. Hal. 279
Mengingat dalam Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet dan
terlebih lagi sering terjadinya konflik politik antar partai, serta pembrontakan
daerah seperti PRRI/Permesta, Presiden Soekarno menghapuskan pemerintahan partai
dan memantapkan suatu bentuk kekuasaan yang populis. Selain itu hal ini
disebabkan oleh karena ketidakmampuan partai-partai politik, antara lain karena
jumlahnya terlalu banyak, sehingga sering terjadi pertentangan dan konflik antar
partai dan akibat lebih jauh menghasilkan ketidakstabilan politik sebagaimana
tergambar dalam pergantian kabinet yang sering terjadi di permulaan tahun
1950-an. Keinginan Soekarno memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam
politik daripada hanya sekedar lambang sebagaimana ditentukan oleh UUDS 1950
juga menjadi faktor penyebab. Faktor lainnya adalah keinginan tokoh-tokoh
militer untuk ikut mempunyai peranan pula dalam politik, antara lain karena
semakin menurunnya kepercayaan mereka pada pemimpin-pemimpin partai atau
politisi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bentuk kekuasaan baru ini dinamakan dengan Demokrasi Terpimpin. Walaupun
Demokrasi Terpimpin sifatnya populis (merakyat) dalam artian bahwa kebijakan dan
retorikanya diperuntukkan bagi tujuan memikat massa dipandang perlu demi
legitimasi negara, namun negara ini juga bersifat otoriter. Lembaga-lembaga
pemerintahan, kebinet, partai politik dan parlemen yang terpilih melalui pemilu
digantikan oleh otoritas kepresidenan dan parlemen yang diangkat. Partisipasi
politik disalurkan melalui organisasi- organisasi yang disponsori dan
dikendalikan oleh negara, yang mewakili kelompok-kelompok fungsional dalam
masyarakat.1983. hal. 13.
Kekuasaan Presiden Soekarno yang sangat besar dan tingkah laku politiknya
yang otoriter ini telah mengarah pada sikap politik diktaktor. Hal ini terbukti
dari pengangkatan dirinya sebagai presiden seumur hidup yang bertentangan dengan
UUD 1945. Demikian juga dengan pembubaran parlemen hasil pemilihan umum tahun
1955 dan digantikan dengan parlemen yang anggotanya ditunjuk sendiri. Kekuasaan
presiden seperti ini dapat dikatakan identik dengan kekuasaan seorang raja yang
memerintah negara sampai akhir hidupnya.
3.3.2. Zabaza dan Partai Komunis Indonesia
Kesejajaran antara PKI dan gerombolan Zabaza adalah keduanya sama-sama
menjadi kekuatan politik dominan dalam sebuah negara, walaupun antara keduanya
terdapat perbedaan. PKI dalam sejarah Indonesia (pada masa Orde Lama) masuk
dalam sistem (masuk dalam kosepnya Soekarno yakni NASAKOM), bahkan empat orang
tokohnya masuk dalam kabinet, sedangkan gerombolan Zabaza menjadi kelompok di
luar sistem yang punya tujuan untuk mengubah sistem.
Gerombolan Zabaza memiliki disiplin yang kuat. Anggotanya mempunyai militansi
yang tinggi, sehingga keanggotaanya terus bertambah. Pengorganisasiannya sangat
rapi. Jaringannya sampai ke desa-desa dan kota, bahkan sampai ke
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, kalangan cendekiawan dan istana.
"....Kita harus berhenti main kekerasan. Dia sudah mendikte kita untuk
bermain menurut rencananya. Kalau lima tahun lagi ini masih terus terjadi,
jaringannya di ibu kota di sekitar istana, di gedung parlemen, di universitas
dan di kalangan para pedagang akan semakin rapih...." (halaman 21-22)
Jaringan dan keanggotaannya yang cukup besar tersebut menunjukkan bahwa
gerombolan Zabaza mendapat dukungan dari kalangan luas. Hal ini juga berarti
bahwa ideologi dan cita-citanya diterima oleh para pendukungnya. Kekuatan Zabaza
ini juga didukung oleh Baginda Raja. Sesungguhnya antara Baginda Raja dan
gerombolan Zabaza tidak bermusuhan. Zabaza sengaja diciptakan oleh Baginda Raja
dengan tujuan untuk mempersatukan tentara yang mengalami fragmentasi. Dalam
novel Nyali, hal ini terlihat pada ucapan istri Jendral Leonel kepada Janda
Kolonel Krosy.
"....Ibu tidak tahu bahwa Zabaza diciptakan sendiri oleh kerajaan, dalam
hal ini baginda, untuk mempersatukan seluruh potensi angkatan bersenjata...."
(halaman 63).
Sesungguhnya Zabaza sendiri tidak bermaksud menggulingkan Baginda Raja.
"....Gerombolan ini tidak memiliki target merebut pemerintahan. Dia
adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang
membuat setiap orang menjadi hambat kerajaan yang baik...." (halaman 65-66)
Selain itu antara PKI dan gerombolan Zabaza dalam novel Nyali dalam beberapa
hal memiliki kemiripan ideologis, walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit,
melainkan melalui simbol-simbol yang bisa diinterpretasikan berdasarkan kerangka
politis dan ideologis. Sesungguhnya Zabaza merupakan kelompok ideologi.
"Bangsat! Sudah bertahun-tahun aku tahu, Zabaza bukan orang, tetapi
semacam ideologi...." (halaman 22)
Zabaza dan PKI sama-sama memiliki cita-cita mengadakan sebuah revolusi.
Dia adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian
yang membuat setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Ini terjadi karena
seka- rang setiap orang sudah terlalu banyak bicara tentang kepentingan-kepentingannya.
Dalam kelompok Zabaza tidak ada lagi kepentingan pribadi. Setiap orang merasa
dirinya alat....(halaman 66)
Secara sepintas bentuk revolusi yang dicita-citakan oleh Zabaza dan revolusi
dalam terminologi Marxis menunjukkan perbedaan. Tetapi jika dikaji lebih seksama,
kedua bentuk revolusi tersebut memiliki kemiripan substansial. Revolusi dan
perjuangan kelas yang menjadi doktrin komunis adalah sebuah cara menuju
terciptanya masyarakat tanpa kelas yang memiliki prinsip setiap orang bekerja
menurut kemampuannya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya. Menurut ajaran
Marxisme, selama dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosialHunt. 1954. Marxism
Past and Present. London: Geoffrey Bles. hal. 76-77, 90).
, yakni kelas borjuasi dan kelas proletar, maka selama itu pula terjadi
eksploitasi oleh kelas kapitalis terhadap kelas proletar.
Anggota Zabaza sangat patuh terhadap pemimpinnya bahkan bersedia mati untuk
kepentingan bersama. Sistem kepemimpinan dalam gerombolan Zabaza bisa
diinterpretasikan sebagai sistem kepemimpinan sentralisme demokrasi. Sistem
kepemimpinan ini memberikan otoritas yang besar kepada pemimpinnya, tetapi massa
anggota juga punya hak untuk memberikan saran melalui prosedur tertentu. Dalam
mekanisme sentralisme demokrasi dikenal Kritik Oto Kritik sebagai sebuah
mekanisme untuk memperbaiki kesalahan- kesalahan dalam kepemimpinan.
Pada tingkat negara prinsip sentralisme demokrasi termanifestasikan dalam
bentuk pemerintahan diktaktor proletariat. Dalam sistem pemerintahan seperti ini,
bisa dikatakan bahwa "setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik".
Artinya setiap orang diwajibkan untuk patuh terhadap kepemimpinan diktaktor
proletariat. Kepentingan pribadi harus diselaraskan dengan kepentingan diktaktor
proletariat. Dengan kata lain setiap warga negara hanyalah alat bagi kepentingan
negara. Bagi para pembangkang akan dituduh sebagai kontra-revolusioner. Hukuman
bagi para pembangkang adalah kerja paksa atau pembuangan.
Kesejajaran yang sifatnya ideologis antara Zabaza dan PKI adalah tentang
kesetiaan anggota terhadap doktrin perjuangan mereka. Doktrin ini merupakan
sarana untuk meningkatkan militansi perjuangan. Anggota gerombolan Zabaza sangat
yakin pada kemuliaan tujuan.
untuk kepentingan bersama. Apa saja mereka genjot dengan hati beku dan
tertutup. Karena mereka sangat yakin kepada kemuliaan tujuannya. (halaman 7)
"Kolonel, kita menghadapi gerombolan yang mentalnya tergarap oleh
keyakinan yang sulit dimengerti." (halaman 15)
Doktrin yang terdapat dalam sosialisme/komunisme juga mengajarkan bahwa
cita-cita terwujudnya masyarakat tanpa kelas bukan sebagai utopia seperti yang
sering dilontarkan oleh pengkritik sosialisme. Akan tetapi cita-cita yang
didasarkan pada sosialisme ilmiah tersebut benar-benar akan terwujud sebagai
konsekwensi sejarah perkembangan masyarakat.itu sendiri (Lihat Ruslan Abdulgani.
tt. Sosialisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Prapantja. halaman 15).
Dalam sejarah masyarakat Indonesia, khususnya Orde Lama, PKI menjadi kekuatan
politik dominan. PKI pada masa itu mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Aliran komunis mempunyai tempat dalam konsepnya Soekarno
yakni NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Bertolak dari konsep inilah Soekarno
berkeras untuk tetap mempertahankan PKI sebagai salah satu kekuatan revolusi.
Pada waktu itu Soekarno yang muncul sebagai kekuatan terpenting memberi angin
kepada partai ini, dan bahkan membelanya dalam kesulitan-kesulitan politik.
Tersingkirnya Masyumi dan PSI semakin memperbesar pengaruh partai komunis.
Demikian juga dengan kemerosotan PNI dan NU. Selain itu pimpinan PKI tidak
pernah duduk dalam pemerintahan, maka partai ini relatif bersih dari prasangka-
prasangka jelek yang hidup di dalam masyarakat yang di- alamatkan kepada mereka
yang berkuasa. Kekuatan PKI ini tidak terlepas dari kemampuan organisasi yang
baik, di- tangani oleh aktivis-aktivis dan kader-kader yang militan serta penuh
dedikasi. Program-program politiknya cukup menarik bagi massa di pedesaan dan
perkotaan, sehingga keanggotaannya semakin bertambahD. Legge. op cit. halaman
429)
. Kekuatan PKI tidak tergantung pada parlemen yang berdasarkan konstitusi.
Sesungguhnya partai ini sedang mempersiapkan diri untuk memainkan peranan
langsung dalam gelanggang politik dengan dukungan organisasi, besarnya jumlah
penyokong dan kontrolnya atas anak organisasi di kalangan buruh, tani, dan
pemuda. Pada pemilu 1955 PKI memperoleh 8 juta suara (15,4%); menduduki empat
besar dalam pemilu tersebut.
3.3.3. Tentara dan Angkatan Darat
Tentara dalam novel Nyali dan Angakatan Darat dalam realitas sejarah
Indonesia pada masa Orde Lama dapat dikatakan memiliki kesejajaran. Keduanya
merupakan ke- kuatan politik dominan, walaupun dalam tubuh militer terjadi
fragmentasi. Dalam novel Nyali tentara yang dipimpin oleh Jendral Leonel
terlibat dalam urusan politik kerajaan. Ia tidak sekedar berfungsi sebagai
pengawal negara, tetapi punya maksud untuk mengadakan perubahan pada sistem
pemerintahan.
"....Karena angkatan perang kerajaan ini benar-benar ampuh dan siap
menumpahkan darah. Mereka setia kepada kerajaan sampai titik darah yang
penghabisan....Ada alasan kenapa tiba-tiba moral tentara kerajaan sedang berada
di puncaknya sekarang. Karena ada Zabaza. Zabaza telah berjasa mengembalikan
semangat kepada mereka dengan cara paksa...." (halaman 43)
Militer terutama Angkatan Darat dalam sejarah Indonesia pada masa Orde Lama
merupakan kekuatan politik yang cukup dominan. Sejak masa revolusi fisik
(1945-1950) militer (TNI) terlibat aktif dalam perjuangan dan dalam masalah
politik. Militer tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer
saja, akan tetapi juga melibatkan diri dalam menentukan kebijakan dan strategi
politik. Bahkan ketika pemerintah mempunyai peluang yang besar untuk ikut dalam
kebijaksanaan pemerintahan. Dalam kaitan ini John D. Legge. John D. Legge. op
cit. halaman 342.
membuat analisis bahwa:
Diumumkannya Pernyataan Negara Dalam Keadaan Bahaya pada bulan Maret 1957
telah memberikan kepada Angkatan Darat peranan resmi dalam pemerintahan,
meskipun secara teoritis kekuasaan dijalankan di bawah ke- kuasaan Sukarno
sebagai panglima tertinggi. Pengumum- an negara dalam keadaan bahaya telah
memberi peluang bagi tujuan-tujuan politik Angkatan Darat. Selain itu tentara
banyak mendapatkan tanggung jawab dalam pekerjaan rutin di pemerintahan.
Dengan demikian militer mulai ikut secara terbuka dalam politik praktis yang
pada gilirannya berhasil mendominasi panggung politik Indonesia.halaman 30.
Ketiga kekuatan politik dominan ini terlibat dalam konflik politik dan
mencapai puncaknya pada peristiwa G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno dan
militer sering berhadapan dalam hubungan konflik. Munculnya militer sebagai
kekuatan politik yang cukup dominan dirasakan oleh Soekarno sebagai ancaman,
walau kedua belah pihak saling membutuhkan. Tentara membutuhkan hak kekuasaan
presiden yang dapat memberikan kepada tentara peranan politik dan presiden
membutuhkan dukungan tentara dalam melaksanakan kebijakan politiknya. Kekuatiran
Soekarno terhadap militer mempunyai alasan yang kuat. Pengalaman-pengalaman
sejarah terdahulu telah menjadi pelajaran untuk waspada terhadap
militer. Pada masa sebelum Demokrasi Terpimpin, militer sering terlibat dalam
gerakan pembangkangan dan kudeta seperti yang telah penulis uraikan di atas.
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah bukti dari konflik antara militer dan Soekarno.
Peristiwa tersebut merupakan kudeta yang dilakukan oleh militer (Angkatan Darat).
Militer mengepung
istana dengan persenjataan berat. Militer menuntut pembubaran parlemen dan
menuntut untuk segera diadakan pemilu.
Presiden Soekarno tidak bersedia membubarkan parlemen, tapi ia menjanjikan
akan segera mengadakan pemilu. Akibat dari peristiwa ini A. H. Nasution
diberhentikan dari jabatannya sebagai Kasad pada bulan Desember 1952. Akibat
lebih jauh adalah terjadinya gerakan "anti 17 Oktober" di sejumlah
komando-komando daerah yang menyerukan penghu- kuman terhadap mereka yang
bertanggung jawab pada peristiwa tersebut dan pemecatan para panglima di Jawa
Timur, Sulawesi dan Sumatra Selatan.terhadap komando-komando di daerah.
Sementara itu militer menaruh curiga terhadap Sukarno karena kedekatan
Sukarno dengan PKI. Sukarno memberikan
peluang bagi PKI untuk turut dalam pemerintahan. Bukti- bukti lain dari
dukungan Sukarno kepada PKI adalah dalam masalah kebudayaan (sastra). Sukarno
cenderung mendukung Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, sebuah organisasi yang
berafiliasi dengan PKI) dan melarang gerakan Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang
anti-komunis. Dalam kaitannya dengan landreform Sukarno juga memberikan dukungan
kepada PKI. Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1964, Sukarno seolah-olah
mendorong petani melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (terutama landreform /
pembagian tanah).
Di dalam tubuh militer sendiri juga terjadi fragmentasi yang tajam. Hal ini
terlihat dari pembrontakan-pembrontakan atau pun kudeta yang dilakukan oleh
panglima-panglima di daerah. Demikian juga dengan kasus Zulkifli Lubis yakni
peristiwa penangkapan terhadap Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani dan disusul
dengan percobaan kudeta. Pada tanggal 13 Agustus 1956 atas perintah Kolonel A.E.
Kawilarang dan dengan sepengetahuan Zulkifli Lubis sebagai Wakil Kepala Staf,
menangkap Roeslan Abdulgani yang pada saat itu hendak pergi ke London. Namun
kemudian Roeslan Abdulgani dibebaskan oleh Nasution. Beberapa waktu kemudian
Kolonel Zulkfli Lubis yang telah diberhentikan dari jabatannya setelah peristiwa
penangkapan tersebut mencoba mendatangkan pasukan ke Jakarta untuk mengadakan
kudeta. Namun rencana ini dengan mudah dicegah oleh perwira-perwira yang setia
kepada Nasution.
Militer dan PKI juga terjadi pertentangan dan persaingan. Ideologi militer
adalah anti-komunis. Karena itu dengan segala cara militer berusaha untuk
menghalangi pertumbuhan PKI, termasuk menghalangi PKI masuk dalam kabinet.
Persaingan semakin keras ketika PKI tumbuh menjadi partai politik yang mempunyai
pengaruh dan massa yang cukup besar pada masa Demokrasi Terpimpin. Apalagi meng-
ingat Presiden Soekarno memberi dukungan kepada partai ini untuk menjalankan
program-program politiknya dan berusaha melibatkan dalam pemerintahan. Sikap
anti-komunis dari militer ini terlihat dari usaha militer menghalangi orang-
orang PKI masuk kabinet atau pemerintahan. Pada akhir tahun 1964 militer turut
mesponsori gerakan anti-komunis. Pada waktu itu didirikan sebuah organisasi baru
bernama Badan Pendukung Sukarno (BPS) dengan tujuan mengerahkan perasaan anti-komunis.
Namun kemudian Sukarno melarang gerakan itu dengan alasan bahwa gerakan tersebut
bersifat memecah belah.John D. Legge. ibid. hal 430.
3.4. Konflik dan Perubahan Sosial Politik
Kesejajaran antara novel Nyali dengan sejarah Indonesia sekitar tahun 1965
juga terlihat pada konflik dan perubahan sosial politik. Sebagaimana yang telah
penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa konflik yang terjadi di sebuah negara
dalam novel Nyali telah membawa perubahan sosial politik yang sangat besar.
Demikian halnya dengan konflik yang terjadi dalam sejarah Indonesia.
Puncak dari konflik adalah meletusnya peristiwa G-30- S/PKI. Dalam peristiwa
itu terdapat tiga kekuatan yang terlibat dalam konflik. Yang pertama adalah
Presiden Sukarno, PKI, dan militer. Tetapi dalam tubuh militer sendiri ada
kelompok yang mendukung dan bahkan menjadi pelaku utama dalam kudeta.an antara
perwira menengah Divisi Diponegoro dengan pimpinan Angkatan Darat Pusat.
Karena keterlibatan PKI dalam gerakan G-30-S, maka pihak militer (Angkatan
Darat) menuduh kepada PKI sebagai pelaku dari peristiwa berdarah tersebut.
Tuduhan ini disebarkan secara luas melalui koran-koran milik Angkatan Darat dan
koran-koran yang anti-komunis. Akibatnya PKI dilarang dan pimpinan serta
anggotanya dibunuh atau di penjaraStudies, Monash University. Halaman 57)
Pembantaian secara besar-besaran terhadap anggota, simpatisan PKI terjadi di
Jawa, Bali dan Sumatra Utara. Pembantaian tersebut membe- rikan militer
kekuasaan negara yang ampuh dan keji. Pembantaian itu menyatakan komunisme
sebagai biang keladi kekacauan dan huru-hara.57
Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuhnya pemerin- tahan lama (Presiden
Soekarno), hancurnya PKI, dan keme- nangan militer. Dengan kata lain Presiden
Sukarno dan PKI sebagai pihak yang kalah dalam konflik, sedangkan militer
menjadi pemenang dalam konflik tersebut. Kegagalan Gerakan G-30-S dan
keberhasilan militer dalam menumpas PKI telah menjadikan militer sebagai
satu-satunya kekuatan politik utama pasca kudeta. Selanjutnya terjadi perubahan
radikal dalam sistem demokrasi dan kebijakan pembangunan. Demokrasi Terpimpin
digantikan dengan Demokrasi Pancasila. Masa ini dinamakan Orde Baru yang
menggantikan Orde Lama yang penuh dengan konflik dan kekerasan serta
pembrontakan. Demikian pula dengan berubahnya segi kebijakan pembangun- an.
Dengan kata lain kelahiran Orde Baru menandai tertib sosial yang baru setelah
menempuh kekerasan massal dan tersingkirnya dua kekuatan politik, yakni Sukarno
dan PKI. Pergantian tersebut hanya memerlukan waktu yang tidak lama. Langenberg
membuat analisis tentang pergantian periode sejarah ini dengan menekankan pada
faktor pemban- taian massal sebagai faktor yang menentukan bagi perubahan
politik tersebut. Menurut Langenberg ibid. hal 45
:
Citra sejarah Orde Baru dan naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan politik
adalah kemajuan yang bertahap, pelan tapi pasti. Namun pada kenyataannya, proses
politik yang menggantikan "Demokrasi Terpimpin" Orde Lama oleh Orde
Baru berlangsung efektif hanya dalam enam bulan semenjak pecahnya peristiwa
Gestapu 30 September/1 Oktober 1965. Struktur kekuasaan pokok negara Orde Baru
diletakkan antara 1 Oktober sampai pertengahan Maret 1966. Hal ini mungkin
karena pembantaian massal akhir 1965 memungkinkan pembersihan semua lawan-lawan
politik dan pemulihan tata tertib atas mana hegemoni kemudian dapat di- bangun.
Keabsahan Orde Baru dibangun atas dasar peranannya sebagai pemulih tata
tertib. Skala pembunuhan dipakai untuk membentuk citra Orde Lama di pikiran
publik sebagai periode kekacauan dan huru-hara. Orde Baru memperalat memori
sejarah pembunuhan untuk mengukuhkan keabsahannya sendiri. Pembunuhan itu
sendiri tidak ditonjolkan dalam sejarah resmi Orde Baru. Mereka secara pasti
tidak menyandarkan diri hanya pada penggantian Orde Lama oleh Orde Baru.
Pembalasan dendam dianggap sebagai tindakan spontan oleh rakyat melawan komunis
yang pengkhianat. Ini berarti mengkambinghitamkan PKI dan sekutu politiknya
sebagai bertanggungjawab atas kekerasan massa; dan kekacauan Orde Lama dan bukan
permulaan Orde Baru.. ibid. Halaman 58.
Pada masa Orde Lama dipenuhi dengan konflik politik, sedangkan pada masa Orde
Baru konflik bisa dikendalikan dan pembangunan diarahkan kepada pembangunan
ekonomi dengan memperhatikan segi industrialisasi. Dengan kata lain puncak dari
konflik politik pada tahun 1965 telah membawa Indonesia memasuki era baru. Namun
demikian konflik tersebut bukan hilang sama sekali. Pada saat-saat tertentu akan
muncul kembali. Terbukti dengan gerakan- gerakan mahasiswa pada tahun 1974, 1978
dan gerakan maha- siswa tahun 90-an. Sementara itu kekuatan-kekuatan yang
terdapat pada zaman Orde Lama bukan hilang sama sekali.
BAB IV DAN BAB V
|