Kawan Ngarto,
Ketika kau katakan
telah menulis sebuah artikel untukku, yang
terbayang dalam pikiranku adalah sebuah artikel
sungguhan seperti artikel-artikel di surat kabar
yang mungkin berisi analisa-analisamu tentang
sesuatu. Apalagi saat itu kamu sering menyebut
nama Aung San Suu Kyi yang juga merupakan salah
satu idolaku dalam kehidupan pergerakan.
Sungguh To, aku
sama sekali tidak menyangka kamu akan memberikan
sebuah "artikel" yang cukup membuat otak
dan nuraniku bekerja keras sepanjang malam ini.
Setelah membaca
tulisanmu, aku mencoba merefleksikan kembali
sejarah kehidupanku dalam pergerakan ini, yang
ternyata tidak jauh berbeda denganmu. Ketika aku
menginjakkan kaki di kota gudeg ini 5 tahun yang
lalu diriku masih berwujud gadis produk kapitalis
yang tak tahu apa arti demonstrasi, bahkan juga
diskusi. Walau aku saat itu telah mengerti bahwa
yang namanya Soeharto itu perampok dan banyak
pejabat yang jago korupsi. Tapi pergerakan untuk
suatu perubahan struktural di negeri tercinta ini
masih merupakan pengetahuan yang sangat ‘sophisticated’
bagiku saat itu.
Sejalan dengan
bergulirnya pergaulanku dengan kawan-kawan Pijar
Filsafat, kemudian aku diperkenalkan dengan
‘mainan’ baru (bagiku saat itu) yang disebut
‘aksi’. Aku yang memang berjiwa pemberontak (kepindahanku
ke UGM ini juga karena jiwaku yang selalu gelisah
tak pernah menyukai kehidupan metropolisnya Ibu
Kota) langsung tertarik dengan ‘mainan
baru’-ku itu. Tapi ungtunglah kawan-kawan segera
memberikan pendidikan kepadaku hingga demonstrasi
tidak lagi menjadi penyaluran ‘jiwa
eksentrik’ku saja, tapi sudah lebih pada suatu
kesadaran nyata sebagai alat untuk suatu perubahan
bagi proses distribusi keadilan.
Semakin lama
semakin dalam aku berada di dunia pergerakan
sembari terus mencari yang oleh orang-orang
filsafat disebut ‘hakikat kebenaran’. Lewat
gerakan aku jadi mengerti mengapa Duli Tuanku
Soeharto menjadi prampok, mengapa para pejabat
korup, mengapa banyak rakyat digusur, mengapa
buruh berupah rendah dan mengapa aku harus
bergerak. Aku juga mengerti mengapa ABRI punya
program dwifungsi, dan kenapa PKI terus menjadi
monster yang seolah-olah terus membayangi dan siap
menerkam Pancasila. Gerakan telah membuatku celik
realitas dan menjadi sangat gusar jika melihat
seorang tukang becak yang hampir tertidur di dalam
becaknya sendiri ketika sedang menunggu tumpangan.
Kawan Ngarto, dunia
gerakan memang penuh dengan gejolak baik eksternal
maupun internal. Serangan yang kita terima dari
luar dapat cukup membuat kita rapuh, belum lagi
konflik-konflik di dalam dunia gerakan itu sendiri
ditambah lagi dengan konflik atau kontradiksi
internal para pejuangnya yang jika bukan karena
mentalitas serta komitmen perjuangan yang kuat
dari unsur kemanusiaan yang paling dalam, akan
mempu menjadikan bahwa seorang Ryadi Gunawan pun
terpental jauh.
Aku banyak belajar
dan berrefleksi di dalam gejolak dan dinamika
pergerakan ini. Walau dalam prosesnya terkadang
mau cepat lalu tiba-tiba mundur sedikit kemudian
pada saat-saat tertentu mengalami stagnasi.
Prosesku mungkin tidak sama dengan prosesmu walau
pada dasarnya kita mengalami hal yang sama,
pencerahan dan celik realitas. Tak perlu lagi aku
memaparkan bagaimana proses yang kujalani, karena
aku yakin kita sudah sama-sama tahu apa dan
bagaimana gejolak dan dinamika di dalam dunia
pergerakan ini. Pahit-getirnya, suka-dukanya,
puas-riangnya, takut-cemasnya kita sama mengetahui
dan merasakannya, tak jauh berbeda.
Kawanku Ngarto,
saat ini ada banyak hal yang berkecamuk di
kepalaku. Konflik-konflik yang kualami secara
beruntun selama ini telah membuatku goyah. Jujur
kuakui bahwa bubarnya kolektif di Gajah adalah hal
terberat yang kualami selama aku berada di dunia
pergerakan. Secara pribadi aku menyayangi Yuli dan
Nur mungkin melebihi rasa sayangku kepada kakak
atau adik kandungku sendiri. Mereka telah kuanggap
sebagai saudaraku sendiri, sejak aku menyerahkan
diriku sepenuhnya untuk pergerakan. Ikatan tali
persaudaraan dalam dunia pergerakan yang akan
terus kujalani selama hidupku memiliki arti yang
lebih dalam dibanding ikatan persaudaraan sedarah
yang berkembang dalam kehidupan individual-kapitalistik.
Kemudian disusul dengan tidak diterimanya lagi aku
di lingkaran ini FSM karena keterlibatanku di PADI.
Sungguh membuatku terpukul, hingga menjadi sedikit
disorientasi.
Ngarto yang baik,
ketika aku mengiyakan untuk mengikuti Kongres PADI
di Pucak dulu, aku berharap dapat memberikan
sedikit wawasan baru ke depan bagi kawan-kawan ini
FSM sebagai suatu pendidikan politik yang memang
sudah harus kami (FSM) kuasai dan praktekkan, tapi
sayangnya hal tersebut dipandang sebagai suatu
pengkhianatan bukan lagi sebuah manuver. Padahal
aku tak pernah memikirkan hal lain selain hanya
bagaimana supaya gerakan khususnya FSM bergerak
maju dan revolusioner untuk suatu perubahan
kehidupan di negeri ini.
Tapi sangat
disayangkan mereka tak pernah memahaminya. Dan
yang lebih menyakitkan lagi ketika secara tidak
langsung seorang dari kawan-kawan tercinta itu
menutup langkahku untuk menggerakkan FSM lagi
dengan argumentasi bahwa semangat kawan-kawan FSM
sudah tak bisa lagi diharapkan, sementara mereka
diam-diam masih mengibarkan bendera FSM. Terus
terang To, aku terpukul berat ketika tahu FSM ikut
dalam aliansi FPKMY kemarin. Aku merasa sangat
kecewa. Bahkan seorang kawan yang dulu saling
menyebut kamerad dan begitu dekat dengan
kerja-kerja politik maupun kehidupan sehari-hari
bisa bersikap seperti itu, bagaimana dengan
kamerad-kamerad lain yang bau kukenal beberapa
hari? Aku jadi sulit percaya dengan
pribadi-pribadi yang lain.
Kawan Ngarto, aku
tahu kalau kaupun pernah mengalami hal yang sama
seperti yang terjadi pada diriku (bahkan mungkin
lebih berat lagi). Dan memang benar penilaianmu
bahwa permasalahku bukan persoalan prinsipil
sebagai alasan pengunduran diriku dari keanggotaan
partai.
Ada banyak hal yang
kusetujui dari pandangan-pandangan sosial-demokrat
dalam proses perubahan ini, dan itu menjadi bukti
bagi diriku sendiri mengapa aku harus mendukung
PADI. Tetapi memang ada faktor lain yang membuatku
berkeputusan seperti itu. Saat ini yang kubutuhkan
hanya sedikit kelonggaran waktu untuk menata
kembali dan menyusun lagi langkah yang harus aku
lakukan untuk masa panjang ke depan. Apakah kamu
akan percaya begitu saja ketika seorang Moerdani
berkata tidak mau tahu-menahu lagi konstelasi
politik di Indonesia ini? (he, he, he, ‘nyamain
diri dengan Moerdani).
Aku akan sangat
berterima kasih jika kau mau memberikan
kepercayaan kepadaku untuk melakukan dan menjalani
semua itu. Dan aku tak ingin memberikan janji yang
muluk-muluk kepada kamu, cuma sekedar
kepercayaanmu kepada aku bahwa ruh perjuanganku
tak dapat tercerabut oleh siapa pun, serta memang
tidak kutemukan perbedaan-perbedaan prinsiil
antara keyakinan politikku dengan keyakinan
politikmu.
Kawan Ngarto yang
baik, aku sangat menghargai segala upaya yang
bersifat organisasional ataupun pribadi dari para
pejuang yang bertujuan hanya demi menguatkan
pergerakan ini. Karena itu ‘artikel’ yang kau
berikan padaku itu sungguh sangat berarti,
khususnya bagi gerak progressivitas kesadaran
politikku. Terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
begitu besarnya perhatian yang kamu berikan bagi
prosesku ini. Semoga kamu pun akan selalu bergerak
maju.
Cita-cita
perjuangan kita masih harus menempuh perjalanan
panjang, yang akan begitu banyak waktu, tenaga dan
segala pontensi yang harus dikuras untuk
mencapainya. Karena itu tetaplah menjaga
konstanitas diri dan kolektif organisasi lewat
kerja-kerja massa dan kerja politik bagi perubahan
kehidupan yang kita inginkan.
Somewhere in Yogya,
14 Desember 1995
04.45 WIB
Rina Kasenda
|