Yogyakarta, 28 Oktober 1994
Untuk Kawanku Linda Christanty
di Jakarta
Salam demokrasi!
Kota Yogya yang pengap. Yogyaku yang menyisakan kenangan.
Meninggalkan kesakitan-kesakitan kecil yang kadang nyeri di ulu hati. Pengapnya kota tak
menghalangi rasa rinduku kepadamu. Lewat desiran angin kubisikkan kangen kepadamu.
Linda yang baik, kini aku berada di Yogya untuk beberapa
urusan. Aku tak akan lama di Yogya. Mungkin hanya seminggu. Lalu aku mesti kembali ke kota
kelahiranku. Kota pengasinganku.
Kawanku yang baik, beberapa waktu lalu aku menitipkan buku
kumpulan cerpen lewat Yanto. Buku itu aku tujukan untukmu sebagai kenang-kenangan dariku.
Dari seorang veteran perang yang merindukan bedil dan kancah peperangan.
Dalam buku itu ada sesuatu yang mungkin kurang enak bagimu,
yakni pada kata pengantarnya. Ini bukan kesengajaan dari teman-teman FPSB. Harap tidak
salah paham. Dan kuharap kamu masih percaya kepadaku. Aku tetap berjalan di garis
kerakyatan.
Kawan Linda, dulu kita pernah berbincang-bincang tentang
pengalaman-pengalaman kita. Tentang cinta. Tentang cowok bernama Paul yang masih mengusik
hatimu. Paul, seorang lelaki aneh. Kadang aku merasa seperti dia. Absurd! Dulu kamu pernah
meminta padaku untuk menulis kisah itu dalam sebuah cerpen. Permintaanmu telah kupenuhi.
Berikut kulampirkan klipingan koran yang memuat cerpen itu. "Lelaki Asing",
begitulah judulnya. Cerpen itu kukirimkan ke Bernas pada tanggal 28 Agustus. Dua minggu
kemudian "Lelaki Asing" dimuat. Maaf kisahnya aku kembangkan sendiri dengan
paduan daya imajinasiku.
Selain membuatkan cerpen, aku masih punya janji kepadamu.
Aku pernah berjanji untuk membuatkan sebuah lukisan untukmu. Maaf jika sampai saat ini aku
belum bisa memenuhinya. Aku sibuk menyelesaikan skripsiku. Suatu saat nanti akan aku
buatkan. Aku punya obsesi untuk melukis adegan demonstrasi atau tentang petani bersama
lumpur sawah dan cangkul. Kuharap kamu percaya padaku, aku tak akan pernah melupakan
janjiku padamu.
Hari menjelang sore.
Matahari menuntaskan tugas kesehariannya.
Angin berdesir.
Debu beterbangan.
Aku mesti akhiri surat ini
dan segera mandi.
Salam solidaritas dariku:
Ngarto Februana
NB: Surat ini tak perlu dibalas. Aku sudah cukup senang
jika kamu sudi membacanya dan masih ingat padaku.
|