KANDASNYA HARAPAN KECIL
Kepada Tyas PP
Mereka yang tidak mau belajar dari
sejarah
pasti akan mengulainya. (Santayana)
(Santayana)
Manusia memiliki tiga dimensi waktu. Masa lalu, masa kini,
dan masa yang akan datang. Masa lalu sebagai sejarah tidak bisa dilupakan begitu saja. Di
sana ada pelajaran berharga yang bisa kita petik untuk masa kini ataupun masa yang akan
datang. Demikian pula belajar dari masa kini untuk masa yang akan datang merupakan sikap
yang arif. Aku pun demikian. Setiap saat aku berrefleksi diri terhadap apa yang aku
perbuat di masa lalu, masa kini, agar kebodohan-kebodohan kecil ataupun besar tidak
terulang lagi.
Terhadap dirimu, aku telah melakukan kebodohan yang cukup
naif. Aku telah bersikap apriori terhadap kamu. Aku telah membuat asumsi yang mungkin
salah. Aku berasumsi bahwa kamu menyimpan perasaan yang sama dengan apa yang selama ini
bersemayam dalam sudut hatiku. Yah, aku mengandaikan bahwa kamu pun suka sama saya,
sehingga aku telanjur membangun harapan-harapan baru, membangun istana mimpi di atas
fondasi perasaan yang masih rapuh, karena belum tentu kau menerimanya. Inilah ketololan
naif yang telah kuperbuat.
Kebodohan yang kedua adalah aku terlalu egois! Aku selalu
menghendaki orang yang saya sukai mempunyai komitmen yang sama, jalan pikiran
yang sama, sikap yang sama. Padahal aku meyakini bahwa kesamaan-kesamaan seperti itu tidak
akan melahirkan sebuah dialektika. Tidak akan memunculkan entitesa dan lebih lanjut tidak
mungkin terbentuk sintesa. Yang ada hanya tesa-teasa. Tampaknya selama ini aku telah
memandang dirimu sebagai obyek bagi perasaan saya; obyektifikasi bagi perasaan
saya.
Mungkin benar kata Sartre bahwa cinta adalah suatu bentuk hubungan yang akhirnya akan
ditandai oleh keinginan pihak-pihak yang bersangkutan untuk saling memiliki, yaitu sebagai
obyek cintanya masing-masing. Seseorang yang dicintai maupun yang mencintai pada dasarnya
meletakkan harapan-harapan. Yang dicintai meletakkan harapan bahwa ia akan terus-menerus
dicintai; begitu pula, seorang yang mencintai ingin menguasai orang-orang yang dicintainya
sebagai obyek cintanya. Dengan demikian menurut Sartre, hubungan cinta tidak lain adalah
suatu bentuk hubungan yang akhirnya bersifat sengketa, oleh karena kecenderungan
obyektifikasi yang tidak bisa dihindarkan dalam hubungan seseorang dengan
lainnya.
Yang ketiga, aku telah begitu yakin bahwa harapan-harapan
dan mimpi yang kubangun bukan sebagai fatamorgana, tapi sebuah kenyataan yang bisa
kumiliki. Lebih jauh aku bermaksud untuk merengkuh pelabuhan cintamu dan ingin memilikimu.
Padahal itu tidak manusiawi, sebab tidak seorang pun bisa memiliki orang lain. Seorang
Tuan Baron (dalam film Litle Missy) sebenarnya tidak berhak memiliki Bulgensio,
Sebastio, Jastino, dan kawan-kawannya. Bahkan seorang ibu tidak berhak memiliki
anak-anaknya. Anak bukanlah milik orangtuanya, seperti kata Kahlil Gibran:
Putramu bukanlah milikmu
mereka adalah putra-putri kehidupan
yang mendambakan kehidupannya sendiri
Mereka memang lahir melalui
kamu
tapi bukan dari kamu
Kamu boleh memberikan kasih sayangmu
tapi bukan pendirianmu
.
Yah, kini kusadari betapa egoisnya diriku. Aku telah
memaksa kamu agar mau menerima pendirianku. Dengan kata lain aku telah
mempunyai keinginan untuk menanamkan pendiriku padamu, seperti halnya Ernesto Guevara
(tokoh revolusioner Kuba) yang ingin menanamkan pendiriannya pada anak-anaknya untuk
menjadi revolusioner seperti bapaknya.
Surat-suratku terdahulu tidak kumaksudkan untuk
mengorganisir kamu, bukan untuk mengkompor-kompori kamu, apalagi untuk melibatkan kamu
dalam perjuanganku. Sama sekali tidak. Aku tidak punya maksud seperti itu terhadap
dirimu.
Namun mau tidak mau harus kuakui bahwa aku ingin kamu mengerti tentang
diriku. Aku berharap, kamu bisa memahami apa yang menjadi perjuanganku yang selanjutnya aku
menginginkan kamu setuju dengan perjuanganku. Terlepas dari persoalan maksud agar kamu mau
mengerti apa yang menjadi perjuanganku, aku akan bergembira apabila kamu menganggap isi
surat-suratku kemarin haranya sekadar informasi. Baiklah, Tyas, sekarang anggaplah isi
surat-suratku terdahulu hanya sebagai informasi, tanpa maksud apa-apa, meski semula ada
maksudnya yaitu agar kamu mau mengerti. Bagaimanapun, informasi sangat penting apalagi era
zaman ini adalah era informasi. Selama ini informasi yang kita terima, tidak seluruhnya
benar. Banyak informasi yang ditutup-tutupi ataupun diputarbalikkan untuk alasan
kekuasaan, Seperti, informasi sejarah tentang G/30/S. Semenjak kecil, informasi yang kita
terima adalah bahwa peristiwa tersebut merupakan pemberontakan PKI. Namun sesungguhnya
bukan demikian. Memang sejak semula antara PKI dan Angkatan Darat sama-sama punya maksud
merebut kekuasaan. Namun PKI telah dijegal sejak tahun 1959 oleh para jenderal Angkatan
Darat dengan cara mendesak Soekarno agar menunda pemilihan umum untuk 6
tahun, karena
dikhawatirkan PKI akan memenangkan suara. Nah, sejak itu Angkatan Darat menyiapkan apa
yang dinamakan a creeping coup detat. Mereka menguasai bidang
ekonomi,
mengontrol perkebunan, industri kecil, minyak dan timah. Menurut Hanna dari American
University, ini merupakan bentuk pemerintah baru military-private enterprise yang
didukung penuh oleh CIA. Sementara kup yang direncanakan oleh Angkatan Darat
(Dewan Jenderal) tanggal 5 Oktober 1965. Namun sebelum tanggal itu sudah terjadi konflik antara
perwira dari Divisi Diponegoro dengan pucuk pimpinan Angkatan Darat di Jakarta, hingga
terjadilah peristiwa 30 September 1965. Pucuk pimpinan Angkatan Darat dengan cepat
membuang kesalahan ini kepada kaum komunis. Dan selanjutnya mereka menyikat lebih dari
satu juta kaum komunis menjadi bangkai yang membusuk di sungai-sungai di Jawa
Tengah, Jawa
Timur dan Jakarta. Menurut ilmuwan Belanda W.F. Wertheim dalam bukunya Indonesia Before
and After Untung Coup, keterlibatan PKI dalam kup Kolonel Untung ini sangat
meragukan,
karena cara-cara yang biasa dipergunakan PKI bukan seperti itu. Kalaupun mereka merebut
kekuasaan adalah dengan disertai aksi massa di jalan-jalan, pemogokan kaum buruh di pabrik
di seluruh negeri, pergolakan petani di desa-desa. Namun peristiwa 30 September 65 tidak
disertai dengan aksi massa. Ini semakin menunjukkan bahwa affair tersebut timbul sebagai
pertikaian tentara sendiri yang merefleksikan ketegangan parah antara perwira Divisi
Diponegoro dengan pucuk pimpinan Angkatan Darat di pusat.
Ini hanya sekadar contoh informasi saja. Jangan dianggap
sebagai agitasi. Yah, informasi kepada seorang teman. Namun kau pun punya hak untuk
menolak ataupun menerima informasi ini. Demikian pula kamu juga punya hak untuk menolak
pendapat-pendapatku yang lain.
Kita memang sah-sah saja berbeda pendapat. Berbeda pendapat
bukanlah sesuatu yang haram. Bahkan perbedaan pendapat adalah rahmat. Di dalam suatu
masyarakat yang sehat, menurut Kuntowijoyo, harus ada perbedaan pendapat. Apabila di dalam
suatu masyarakat, perbedaan pendapat diperlakukan sebagai subversi dan bukannya sebagai
cara bagi masyarakat untuk memperoleh kepastian mengenai kemungkinan pertimbangan yang
paling baik bagi pilihan-pilihan kebijaksanaan yang seluas mungkin, maka dapat dikatakan
tatanan dan sistem dalam masyarakat tersebut masih sakit. Soejadmoko pernah mengatakan,
tanpa kebebasan untuk berbeda pendapat secara bertanggung jawab, impuls-impuls pembangunan
yang kreatif pada masyarakat akan menghilang; dan tanpa kebebasan untuk berbeda pendepat,
perjuangan bagi hak-hak manusia lainnya menjadi tidak mungkin.
Dalam hal cara yang dipakai dalam sebuah perjuangan, kami
meyakini sedalam-dalamnya, bahwa hanya dengan revolusilah sistem represif di negeri ini
bisa dirombak sampai ke akar-akarnya. Sudah terlalu lama kita, kesadaran dan mental kita
dijajah. Hampir 350 tahun kita dijajah oleh kolonial Barat. Kemudian 45 tahun dijajah oleh
bangsa sendiri. Memang benar seperti kata Sutan Takdir, semuanya harus dirombak. Rebolusi
harus dimulai dari jiwanya, demikian kata Takdir. Tapi kami pun tidak terlalu fanatik
dengan cara yang kami pakai. Memang, pada akhirnya semua harus berjuang. Iwan Fals
berjuang dengan lagu-lagunya untuk menyuarakan realitas yang sesungguhnya. Untuk turut
menciptakan iklim yang kondusif bagi sebuah perjuangan. N. Riantiarno berjuang dengan
teaternya. Rendra berjuang dengan teater dan puisi-puisinya. Zainuddin MZ berjuang lewat
dakwah Islamnya. HJ Princen berjuang dengan lembaganya, memperjuangkan hak asasi manusia.
Kuntowijoyo, Mangunwijoyo, Arief Budiman, Mubyarto berjuang dengan kemampuan
intelektualitasnya. Dan kami mahasiswa aktivis berjuang dengan idealisme, kesadaran, dan
pikiran, serta hati nurani.
Tyas, temanku yang baik, kini aku telah sampai pada pucak
kesadaran. Menyadari kebodohan-kebodohan seperti yang kukatakan di atas. Kekecewaan telah
kusadari sebagai sebuah pengorbanan kecil dari sebuah pengorbanan besar yang mungkin akan
kupikul, yakni membusuk di tiang gantungan. Karenanya aku sama sekali tidak cukup alasan
untuk kecewa apalagi penyesalan. Tidak ada yang patut disesalkan dalam hidup ini. Aku
tidak menyesal dilahirkan di negeri ini. Aku tidak menyesal kenapa aku tidak dilahirkan
sebagai anak pejabat. Aku tidak menesal, kenapa sampai sekarang aku masih tetap
sendiri. Tidak pula aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memilih Nurhaini. Aku
juga tidak akan menyesal kalau suatu saat nanti aku terpaksa mendekam di balik terali besi
atau mengakhiri hidupku di depan regu tembak.
Atas dasar kesadaran pula, aku setuju dengan keputusanmu:
antara kita adalah teman. Sehingga kita tidak perlu kehilangan subyektivitas dan
kemerdekaan kita secara eksistensial. Kita tidak perlu merangkai seutas tali pengikat.
Kita merdeka satu sama lain. Aku adalah aku dan kamu adalah kamu. Aku bebas menentukan
jalan hidupku, kamu pun bebas menempuh jalan hidupmu. Aku bebas menentukan pilihanku, kamu
pun bebas menjatuhkan pilihanmu. Namun tidak tertutup kemungkinan, antara kita saling
memberikan saran dan nasihat, sedangkan keputusan tetap ada pada masing-masing kita.
Semoga kita menjadi teman yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling
menasihati.
Sekali lagi aku katakan, aku setuju dengan keputusanmu:
antara kita adalah teman. Aku akan tetap konsisten dengan keputusan ini. Karena itu aku
akan mengubur cintaku padamu sedalam-dalamnya, selama-lamanya. Biarlah keping-keping cinta
itu berserakan di dasar samudra hatiku, lalu lambat laun akan terlupakan. Barang aku aku
hanya akan mencatatnya pada lembar sejarah hidupku, bahwa aku pernah mencintai seorang
gagis yang bernama Tyas Ponco Pudjiastuti. Suatu saat nanti, entah kapan, kalau
anak-anakku membuka lembar sejarah ayahnya, mereka bisa berkata, "Ayah punya
pendirian!" Lalu, istriku, entah siapa, akan berkomentar, "Begitulah ayah
kalian, manusia yang senantiasa setia pada keyakinan dan pendiriannya."
Kiranya cukup sekian suratku. Aku mohon maaf kalau selama
ini aku telah merepotkan kamu. Barangkali aku telah menyusahkan kamu, di saat-saat ujian,
aku mengganggu waktumu, mungkin juga mengganggu pikiranmu. Dan terlebih lagi aku mohon
maaf atas kebodohanku padamu. Semoga ini menjadi pelajaran bagiku untuk tidak memaksakan
diri menumbuhkan kembang di atas batu.
Yogyakarta, 15 Desember 1990
Dari seorang teman:
Ngarto Februana
|