Untuk Rina Kasenda
di Yogyakarta
Salam demokrasi!
Kutulis surat ini pada suatu malam di bulan Desember. Udara sangat dingin. Rintik-rintik
hujan masih tersisa. Angin sesekali berhembus kencang. Pohon mangga di halaman rumah
bergoyang laksana bayang-bayang hantu malam. Dan lampu merkuri di halaman rumah tetangga
senantiasa setia menjaga malam.
Rina, banyak hal yang ingin kutulis. Unek-unek yang
bertumpuk serasa di kepala ingin kutumpahkan semuanya, tapi itu tidak mungkin. Rina,
kawanku, kuharap kau bersedia membaca surat ini sampai selesai.
Rina yang baik, malam sebelumnya, tepatnya setelah kamu
bicara padaku tentang persoalanmu dan keputusanmu untuk mengundurkan diri dari partai, aku
mencoba merenungkan banyak hal yang berkaitan dengan partai dan gerakan pro-demokrasi
secara umum. Aku mencoba membuat refleksi tentang keterlibatanku dalam gerakan.
Ketika aku menginjakkan kaki di bumi Yogyakarta pada tahun
1986, aku sama sekali tak mengenal apa yang dinamakan gerakan mahasiswa pro-demokrasi. Aku
tidak melihat adanya unjuk rasa. Bahkan yang namanya mimbar bebas pun aku tak pernah
mengenalnya. Dan aku mulai terlibat dalam gerakan, ketika Bambang Isti Nugroho dan Bambang
Subono diseret ke pengadilan oleh rezim Orde Baru karena aktivitasnya yang mencoba
bersikap kritis terhadap masyarakat. Ketika itu aku belum terikat dalam kelompok mana pun.
Dan pada saat itu aksi-aksi yang dilakukan tidak diorganisir oleh sebuah organisasi,
tetapi hanya oleh komite kecil. Kesadaran politik mahasiswa pada saat itu belum sampai
pada sebuah organisasi politik sebagai alat untuk memperjuangkan demokratisasi dan
keadilan sosial. Baru berupa komite untuk mengorganisir aksi dan itu pun dilandasi oleh
moral dan rasa simpati serta solidaritas. Tetapi sekarang? Aku terlibat dalam sebuah
partai politik!
Kesadaran politik yang kutemukan saat ini tentu tidak jatuh
dari langit, tetapi melalui proses dan didorong oleh banyak faktor, baik internal maupun
eksternal. Bayangkan, pada tahun 1989 aku baru mengenal komite aksi dan tujuh tahun
kemudian kesadaran politikku sampai pada tahapan partai politik. Pada tahun 1989 aktivitas
gerakanku hanya terbatas di UGM, tetapi enam tahun kemudian aktivitasku sudah mencapai ke
tingkat nasional. Hal ini pun karena faktor eksternal dan internal.
Rina kawanku, tentu kamu pun menyadari bahwa sejak
diterapkannya depolitisasi oleh rezim Orde Baru, di sektor mahasiswa, dengan
diberlakukannya NKK/BKK, praktis aktivitas kemahasiswaan mandek. Mahasiswa dilarang
berpolitik praktis. Pembungkaman semakin kencang dilakukan oleh penguasa.
Tetapi, betapa
pun kuatnya tembok dan rantai yang membelenggu kebebasan, pada akhirnya akan jebol
juga.
Pada tahun 80-an mahasiswa aktif dalam kelompok-kelompok studi yang menganalisis persoalan
rakyat. Beberapa tahun kemudian, aktivis kelompok studi tidak puas jika hanya bicara
tentang persoalan masyarakat. Mereka harus bertindak konkret dengan aksi. Maka muncullah
fenomena baru: dari aktivitas kelompok studi ke aktivitas turun jalan. Pada saat itu baru
diorganisir oleh komite aksi dan bersifat sporadis dan lokal. Tidak terkonsolidasi secara
nasional. Tetapi hal ini merupakan perkembangan yang cukup baik. Dan ini pun memberikan
sumbangan bagi terkuaknya celah demokrasi, meski masih sedikit sekali. Sebelumnya orang
tidak berani bicara soal rakyat bahkan istilah rakyat seringkali dikacaukan dengan
istilah masyarakat, tetapi semenjak muncul aksi-aksi mahasiswa dan aksi penduduk
Kedung Ombo, orang mulai bicara soal rakyat.
Selanjutnya kesadaran rata-rata mahasiswa meningkat. Mereka
menyadari bahwa komite saja tidak cukup efektif, apalagi jika terbatas pada satu kampus.
Maka mulailah mereka memikirkan dan mengorganisasikan diri dalam sebuah organisasi. Semula
di tingkat kampus, lalu di tingkat kota. Dan di Yogyakarta terbentuk FKMY, menyusul
kemudian (setelah perpecahan FKMY) SMY dan DMPY. Perkembangan berikutnya, aktivis
mahasiswa menyadari bahwa perjuangan akan semakin efektif jika dilakukan bersama dengan
kawan-kawan lain di luar kota. Maka terbentuklah jaringan antarkota di Jawa. Dengan kata
lain konsolidasi lebih jauh mulai dilakukan. Organisasi yang sifatnya nasional sudah
saatnya dibutuhkan. Lalu terbentuklah SMID, FAMI. Aku berpikir bahwa proses seperti ini
merupakan konsekuensi sejarah yang terus bergerak maju; bukan mundur ke belakang. Kemudian
aku teringat pada pelajaran sejarah tentang pergerakan kebangsaan.
Kawanku, kamu pun pasti ingat bahwa pada masa penjajahan
Belanda, bangsa Indonesia terus-menerus melakukan perlawanan, betapapun yang dilawan
sangat kuat dan terorganisir. Perlawanan bersenjata yang dilakukan di daerah-daerah secara
terpisah-pisah dan bersifat kedaerahan ternyata mudah dipatahkan oleh kolonial Belanda.
Hal ini dijadikan pelajaran, bahwa untuk melakukan perlawanan harus melalui wadah yang
terorganisasi rapi dan berskala nasional. Dimulai dari Perhimpoenan Indonesia (PI) di
Belanda oleh Hatta dan kawan-kawan akhirnya bisa terbentuk Kelompok Stoedi Indonesia dan
Kelompok Stoedi Oemoem yang semula hanya terbentuk di Bandung, tetapi kemudian mempunyai
cabang di Batavia dan Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Pekalongan. Dari kelompok studi
bertransformasi menjadi partai! Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai-partai lain juga
muncul: Partai Sarekat Islam, PKI, NU, Boedi Oetomo dan mereka membentuk front, yakni
PPPKI (Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Nah, saat itu partai
merupakan alat untuk melakukan perlawanan dan sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan
Indonesia. Tujuan partai-partai ketika itu sama: Indonesia merdeka. Meskipun caranya
berbeda-beda: kooperasi dan non-kooperasi. Ideologinya pun berbeda-beda.
Bila aku memperhatikan perjuangan di negara lain, ternyata
ada kesamaan, yakni partai sebagai alat untuk perjuangan. Di Burma misalnya, sejak tahun
60-an perjuangan melawan junta militer rezim Ne Win (berkuasa sejak 1962) dilakukan dengan
partai. Ada partai CPB (Communist Party of Burma), APFP (Arakanese Peoples Front
Party), SSPP (Shan State Progress Party), BSPP (Burmese Socialist Program Party) dan
lain-lain.
Di Indonesia pada saat ini telah muncul kesadaran politik
yang lebih tinggi, yakni partai. Bermula dari komite dan kelompok-kelompok, lalu
organisasi tingkat kota, organisasi yang menasional (SMID, FAMI, Aldera, PRD) dan akhirnya
partai. Proses seperti ini sejalan dengan tahapan politik (stage politic) yang
pernah aku tulis dalam makalah dan kupresentasikan dalam Kongres Luar Biasa SMID Agustus
1994. Dan kini kita telah menemukan kesadaran politik yang tidak sekedar komite kecil
untuk sekedar mengorganisir aksi, tidak sekedar kelompok studi, juga tidak terbatas pada
organisasi lokal, tetapi kesadaran politik kita sudah mencapai pada level partai.
Kesadaran politik tersebut telah kita manifestasikan dan kita aktualisasikan dengan
membentuk Partai Rakyat Demokratik Indonesia (PADI) di Puncak, Bogor, akhir Agustus yang
lalu. Aku yakin bahwa kamu menyadari sejarah tidak bergerak mundur ke belakang, tetapi
bergerak maju. Sejarah masa lalu bukan untuk dijadikan monumen mati, tetapi menjadi
pelajaran untuk langkah kita di masa kini dan masa depan. Aku teringat pada sebuah pepatah
yang mengatakan, "Barang siapa melupakan masa lalu, akan kehilangan masa
depannya."
* * *
Kawan, itulah sekelumit refleksiku tentang keterlibatanku
dalam gerakan, dari mulai aku menjadi bagian dari sebuah komite aksi, kelompok, organisasi
di tingkat kampus, kemudian meningkat keterlibatanku dalam organisasi tingkat kota sampai
organisasi tingkat nasional (aku sempat menjadi Sekjen SMID) dan kini kesadaran politikku
mencapai tingkatan partai. Tentu, kesadaran politik yang kucapai tidak hanya karena
didorong oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal. Sehebat apa pun pendidikan
politik yang pernah diterima oleh seseorang, tetapi jika integritas kepribadian seseorang
itu rapuh, maka tidak akan ada gunanya segala macam pendidikan politik itu. Ya, sekali
lagi integritas kepribadian seseorang menjadi faktor yang turut menentukan kesadaran
politik seorang aktivis.
Malam semakin dingin. Angin kencang kian menambah dinginnya
malam. Kutengok arloji. Sudah jam dua belas lewat lima puluh menit. Tak terasa hari telah
berganti. Dari kejauhan terdengar kodok dan jangkerik mendendangkan tembang alam. Seekor
anak burung menyusup di balik kehangatan kepak sayap induknya.
Rina yang baik, jika aku menceritakan tentang diri dan
keterlibatanku dalam gerakan, kuharap kamu tidak menilaiku sebagai orang yang
menyombongkan diri. Terlebih lagi, sebagai orang yang arogan. Aku sekedar refleksi diri.
Mungkin pada dirimu pun terdapat persamaan dengan proses yang kualami, meski barangkali
tidak seluruhnya.
Kawanku, aku teringat pada ucapanmu yang mengutip perkataan
seseorang (yang tak kau sebutkan namanya) bahwa aktivis di Yogya tidak ada yang
demokratis. Aku berpikir, sesungguhnya ukuran apa yang dipakai untuk menilai seorang
aktivis itu demokratis atau tidak. Apakah jika seseorang memilih sebuah ideologi tertentu
berarti ia tidak demokratis? Sama halnya jika seseorang memilih sebuah agama tertentu,
apakah berarti orang itu tidak demokratis? Bukankah perbedaan pendapat itu substansi dari
demokrasi? Justru sikap dan tindakan yang mengharamkan perbedaan pendapat adalah tindakan
yang tidak demokratis. Rezim-rezim komunis senantiasa mengharamkan segala sesuatu di luar
doktrin komunisme. Kamu pasti mengetahui sastrawan Rusia yang tidak mengikuti aliran
realisme sosialis bisa dibuang ke Siberia untuk kerja paksa. Bukankah ini tidak
demokratis? Di negara-negara komunis hanya ada satu partai; partai tunggal, yakni partai
komunis. Bukankah ini tidak demokratis. Aku yakin, kamu pun setuju dengan pendapatku ini,
tapi tidak memaksamu untuk setuju. Tetapi kita pun bisa menyaksikan bagaimana kehidupan
politik di negara-negara Eropa Barat. Di Belanda misalnya, ketika partai sosial-demokrasi
berkuasa, partai komunis pun dibiarkan hidup. Walau sesungguhnya mereka berseberangan.
Demikian pula di Jerman. Aku menilai kehidupan politik seperti itu demokratis.
Aku telah memilih ideologi sosial-demokrasi. Aku meyakini
kebenaran ideologi ini, bahwa konsep keadilan sosial ala sosial-demokrasi bisa diwujudkan.
Teman-teman lamaku memilih ideologi komunis. Mereka pun yakin bahwa ideologi tersebut
mampu menjawab problem kelas tertindas. Aku dan teman-teman lamaku jelas berbeda pendapat.
Tetapi bukankah perbedaan pendapat adalah sah. Dan menurut agama yang kuyakini, perbedaan
pendapat merupakan rahmat. Lalu apa parameter yang dipakai oleh temanmu itu dalam menilai
bahwa aktivis di Yogya tidak ada yang demokratis? Sayang sekali pembicaraan kita tempo
hari terlalu singkat, dan kita belum sempat berdiskusi tentang hal ini. Adapun kesempatan
lain kita bisa bertemu dan berdiskusi mungkin jarang, walau sesungguhnya aku ingin sering
bisa bertemu dan ngobrol banyak denganmu.
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Waktu terus
merangkak. Pelan tapi pasti seiring dengan rotasi bumi mengelilingi matahari. Angin tak
henti-hentinya berhembus kencang. Kurapatkan jaketku. Kuambil sebatang rokok. Kunyalakan
dan menghisapnya. Sambil menghembuskan asap rokok ke udara, kukenang dirimu.
Rina yang manis, perasaan kecewa, benci, marah, atau cinta
adalah sesuatu yang manusiawi dan alamiah. Aku pun bisa kecewa, menyesal, benci, atau
cinta. Ketika kamu berharap bahwa aku tidak kecewa dengan keputusan yang kamu ambil, aku
katakan, "Aku percaya sama kamu. Aku memahami persoalanmu." Namun, dalam hati,
di sudut hatiku yang terdalam, aku sempat kecewa. Tetapi kamu telah mengambil sebuah
keputusan untuk mengundurkan diri dari partai. Aku tidak tahu, apakah itu keputusan yang
emosional ataukah keputusan yang rasional. Sayang dalam suratmu tidak kau jelaskan
argumentasi yang kuat dan memadai, meski sebelum kamu berikan surat itu, kamu telah banyak
mengutarakan persoalanmu. Tetapi bagaimanapun itu adalah pilihan politikmu. Terlepas dari
pertimbangan tepat tidaknya pilihan politik itu, aku mesti menghargainya, walau tidak
tertutup kemungkinan bagiku untuk memberikan penilaian. Kupikir aku punya tanggung jawab
untuk memberikan penilaian. Kamu adalah temanku, bahkan di mataku sudah kupandang sebagai
adik sendiri dan aku sayang kamu. Untuk itu sudilah kiranya kamu berkenan membaca
penilaianku ini.
Permasalahan yang kau utarakan kepadaku tempo hari kupikir
bukan sesuatu yang prinsip sebagai alasan untuk mengundurkan diri dari keanggotaan partai.
Bukankah lebih baik menjadi anggota non-aktif daripada harus mengundurkan diri sebagai
anggota partai. Jika kamu mengundurkan diri dari keanggotaan partai karena ketidaksetujuan
terhadap sikap dan pendirian serta ideologi partai, maka alasan pengunduran diri tersebut
adalah prinsipil. Tentunya disertai dengan argumentasi yang memadai. Kita bisa mengamati
dan mencermati perpecahan dalam gerakan. Jika perpecahan karena perbedaan garis politik
dan ideologi, maka perpecahan tersebut sangat historis, seperti halnya perpecahan antara
Partai Sosialis yang menjadi PSI (sosialisme-demokrasi) dan PKI (komunis). Perpecahan itu
dikarenakan sesuatu yang prinsip. Tetapi kita juga sering menjumpai perpecahan hanya
karena persoalan uang, soal si A dikirim ke luar negeri, si aku kok tidak. Si B terpilih
sebagai ketua, kok si aku tidak. Si A dan si B tidak cocok dalam kepengurusan, lalu si A
dan si B pecah. Kita pun kerap menjumpai dalam sebuah kolektif yang punya masalah,
bukannya para anggota kolektif menyelesaikan masalah itu tetapi sebagian anggota
menggembosi kolektif. Tetapi kita juga melihat di sebuah ormas, NU misalnya, seorang kiai
karismatik dari Situbondo punya perbedaan pendapat yang tajam dan keras dengan Gus Dur,
tetapi beliau tidak keluar dari NU. Abu Hasan yang berseteru dengan Gus Dur bahkan sampai
berniat memperkarakan Gus Dur, toh Abu Hasan tidak perlu keluar dari NU. Jadi, ada alasan
yang bisa diterima kenapa seseorang keluar dari sebuah organisasi, ada pula alasan yang
kurang bisa diterima dan ada juga alasan yang sifatnya sangat pribadional. Juga ada alasan
taktis atau mungkin alasan manuver-manuver politik.
Namun demikian, aku percaya kepadamu. Meskipun kamu telah
mengundurkan diri dari keanggotaan partai, namun aku percaya pada janjimu untuk menjadi
simpatisan aktif dan akan tetap memberikan kontribusi demi perkembangan partai.
Kadang kita perlu memberikan kepercayaan kepada seseorang,
walau kita menyadari bahwa manusia itu bisa saja berubah. Istri saja yang dikeloni tiap
hari bisa menjadi musuh dalam selimut. Ini ekstremnya. Di balik kepercayaan yang kita
berikan ada tanggung jawab untuk membuat seseorang itu bisa tetap dipercaya. Di dalam
sebuah organisasi yang besarapalagi partai, kita tidak mungkin mengenal luar
dalam semua kader-kadernya. Kecuali jika kita berada dalam kelompok kecil yang semua
anggotanya bisa kita kenali luar dalam, karena setiap hari ketemu, apalagi jika tinggalnya
dalam satu rumah (sekretariat). Jika pengenalan luar dalam setiap pengurusnya
dan kader-kadernya dijadikan prasyarat bagi kita untuk masuk dalam sebuah organisasi atau
partai, kita tidak akan pernah membuat organisasi. Kita tidak akan pernah membuat
organisasi menjadi besar. Apalagi partai. Untunglah bahwa syarat seseorang menjadi anggota
partai atau organisasi adalah setuju dengan sikap dan pendirian politik serta program
politik organisasi/partai. Kupikir tidak ada satu partai pun di dunia ini yang memberikan
syarat kepada calon anggota untuk mengenali luar dalam pengurus/kader-kadernya. Sebab itu
absurd. Memang tidak dimungkiri bahwa ada kemungkinan kader dan atau pimpinan partai punya
kepentingan politik tertentu. Tetapi jika kita menjadi anggota partai, tentu kita punya
tanggung jawab untuk mengontrol pimpinan agar tidak menyimpang dari sikap/pendirian
politik dan garis politik partai serta ideologi partai. Pada umumnya partai punya
mekanisme kontrol. Inilah kehidupan berorganisasi. Dalam senat mahasiswa saja, kita tidak
mungkin mengenal luar dalam setiap fungsionarisnya, apalagi partai. Sayang rakyat tidak
pernah diberikan pendidikan politik dan pendidikan organisasi yang benar. Yang dilakukan
penguasa justru sebaliknya: deorganisasi, depolitisasi, dan deideologisasi. Ternyata
pengaruh dari praktik penguasa sangat besar. Aktivis yang sudah kawakan pun bisa teracuni:
tidak percaya organisasi/partai, tidak percaya bahwa perjuangan membutuhkan basis politik
dan basis ideologi. Karena racun yang ditebar oleh penguasa, tidak aneh jika ada orang
yang mengatakan bahwa aktivis yang memilih ideologi tertentu dinilai tidak demokratis.
Rina adikku, sekali lagi kukatakan, aku tetap percaya
padamu. Percaya bahwa ruh gerakan akan senantiasa mengalir dalam nadimu. Karena ruh itu
pula harapanku yang akan membuatmu kuat untuk tidak menyesali jalan yang
pernah kau tempuh, meski banyak pengorbanan, walau mungkin banyak kekecewaan. Setiap
pengalaman, betapapun pahitnya, akan menjadi pelajaran untuk mematangkan pribadimu,
mematangkan diri berkiprah dalam gerakan untuk demokratisasi dan keadilan sosial.
Hari menjelang pagi. Fajar merah tembaga semburat di ufuk
timur. Menyonsong hari baru. Kicauan burung prenjak di ranting pohon mangga sudah
terdengar, bersambut dengan kokok ayam. Dan kuakhiri suratku dengan sebuah kalimat,
"Ada kalanya kita menjadi pengangkut kayu untuk membuat perahu, tapi jika saatnya
tiba kita ambil bagian mengayuh dayung atau mungkin menjadi nakhoda mengemudikan bahtera
menuju dermaga cita-cita."
Jabat erat dalam demokrasi!
Pakem-Yogyakarta, Dini hari 7 Desember 1995
Ngarto Februana
NB: Salam buat teman-teman FSM
|