Yogyakarta, 5 September 1995
Untuk Kawanku Ninuk
di Medan
Salam demokrasi!
Hari telah larut malam. Angin berdesir dari lereng Gunung Merapi. Udara malam ini kian
dingin. Yah, udara dingin yang senantiasa membungkus desaku di utara kota Yogya. Kodok di
samping rumah, di ladang tetangga bersahut-sahutan seakan menyenandungkan kidung alam.
Sepi. Malam ini terasa sepi. Di dalam sepi, di bawah jubah malam yang hitam pekat, aku
ingin menarikan jemariku menulis surat untukmu, wahai kawanku.
Ninuk kawanku, telah beberapa minggu kita terpisah oleh
jarak yang jauh. Tapi aku yakin, bahwa komitmen yang sama terhadap perjuangan untuk
demokrasi adalah tali yang kuat tuk satukan hati kita, pererat persahabatan dan kian
memperdekat jarak antara kita. Bagaimana kabarmu di seberang sana? Semoga baik-baik saja
dalam lindungan cinta kasih-Nya. Sementara aku di Yogya juga senantiasa sehat, walau agak
letih karena aku baru saja keliling ke beberapa kota untuk konsolidasi partai dan untuk
mencari kontak-kontak baru untuk direkrut menjadi simpatisan partai. Tapi segala keletihan
itu justru terasa indah seperti kelelahan seorang petani sehabis mencangkul sawah lalu
beristirahat di bawah rindangnya pepohohan. Aku berada di Yogya untuk beberapa hari,
karena setelah itu aku mesti melanjutkan perjalanan safari politik ke kota-kota lain yang
belum aku kunjungi di Jawa. Mungkin nanti aku akan mengunjungi kota-kota di luar Jawa,
termasuk Medan.
Malam merangkak kian jauh. Udara terasa makin dingin.
Kurapatkan jaketku dan aku kembali menarikan jemari pada keyboard komputer.
Ninuk yang baik, awal perjalanan partai yang kita bentuk
penuh dengan tantangan dan rintangan laksana jalan berbatu, berliku, dan penuh semak
berduri. Semua harus kita lalui demi mewujudkan cita-cita mulia. Tentu dukungan dari
banyak pihak akan sangat berarti bagi perjalanan panjang partai kita.
Kawanku, sampai saat ini aku belum memperoleh kepastian
darimu tentang status keanggotaanmu. Aku berharap, kamu secepatnya memberikan kepastian.
Dan aku berharap, agar kamu bersedia menjadi Ketua Biro Perempuan.
Angin berhembus pelan.
Menarikan dedaunan di halaman rumah.
Tanaman tembakau di belakang rumah bergoyang lemah.
Kuhela napas dan kulanjutkan suratku.
Ninuk kawanku yang baik, aku ingin mengajakmu membayangkan
sebuah pemandangan yang telah sering kita saksikan. Coba bayangkan, di atas tanah pedesaan
yang miskin, berpuluh-puluh orang, tua muda, kakek nenek, perempuan, anak-anak, semua
berbondong-bondong hengkang dari tanah leluhurnya; tergusur dari desa mereka, karena desa
itu akan disulap jadi bendungan. Wajah mereka muram, mata mereka kering karena air mata
sudah tak tersisa, bibir pucat, dan harapan pun kandas. Mereka terusir dari tanah yang
secara sah adalah miliknya. Marilah kita bayangkan di antara mereka ada paman kita, ada
keponakan kita, dan mungkin ada orang tua kita. Bagaimana perasaanmu jika kita sendiri ada
di antara mereka?
Ninuk, kini marilah kita beralih pada pemandangan lain. Di
sebuah kota yang panas dan pengap, ada perkampungan kumuh dan padat. Rumah-rumah yang
dindingnya terbuat dari papan atau tripleks tampak berjejal dan berimpit-impitan.
Gang-gang sempit dan becek. Selokan di kanan-kirinya mengalir air bau busuk. Sampah
teronggok di beberapa tempat dan bangkai tikus menyumbat lubang selokan. Di rumah-rumah
sempit dan berimpit-impitan serta kumuh itu buruh-buruh pabrik bermukim. Mari kita
bayangkan, di sana ada saudara-saudara kita, adik kita, atau kita sendiri tinggal di sana.
Dan pada suatu siang yang terik, tak jauh dari permukiman itu, tepatnya di halaman sebuah
pabrik, berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus buruh mogok meneriakkan tuntutannya. Lalu
tiba-tiba mereka dikepung oleh sepasukan tentara. Pada malam harinya seorang buruh yang
diduga sebagai penggerak pemogokan diculik dan dibawa ke sebuah Markas Kodim. Buruh
perempuan itu disekap di dalam sebuah ruang dan disiksa oleh petugas. Ia tak berdaya. Ia
pingsan. Dari lubang hidungnya mengeluarkan darah. Beberapa hari kemudian buruh perempuan
malang itu ditemukan tewas di sebuah gubuk di tepi sawah. Coba kita bayangkan bahwa buruh
perempuan itu adalah saudara kita atau adik kita, bagaimana perasaanmu.
Di negeri yang katanya sudah 45 tahun merdeka, masih kita
saksikan penindasan dan kesewenang-wenangan. Di negeri yang katanya adil makmur tata
tentrem karta raharja gemah ripah loh jinawi ini, masih kita saksikan kemiskinan yang
memprihatinkan. Di negeri yang katanya punya budaya adi luhung, masih sering kita saksikan
pemerkosaan hak-hak kemanusiaan yang hakiki. Sudah saatnya rakyat dibangkitkan. Dan kita
berada di tengah-tengah mereka, berada dalam kancah perjuangan!
Malam merangkak kian jauh, memeluk bumi, merangkum segala
kerahasiaan semesta. Angin berhembus. Dedaunan pohon mangga di halaman rumah bergoyang.
Seekor burung pipit mendekap anak-anaknya dalam kepak sayap pada sarangnya.
Ninuk, barangkali kamu pernah menonton film November 1928.
Ada sesuatu yang menarik untuk dicermati dalam film itu, yakni ucapan tokoh Kromoludiro,
"Tidak ada sebuah negeri yang semua penduduknya menjadi pengkhianat." Aku
membayangkan bahwa meskipun rakyat negeri ini sudah lama mengalami depolitisasi dan
deorganisasi, tapi aku yakin masih banyak orang yang kritis dan bangkit untuk menguak
kebekuan dan segala pembungkaman. Tidak semua orang Indonesia pro-status quo dan acuh tak
acuh terhadap nasib demokrasi di negeri ini. Aku dan mungkin dirimu merasa untung bahwa
kita adalah orang-orang yang termasuk memperoleh keberuntungan sempat menikmati bangku
pendidikan tinggi. Dan kita telah lama menyadari, sebagai orang yang tahu tentang kondisi
masyarakat, maka kita punya tanggung jawab moral untuk peduli terhadap persoalan
masyarakat. Kita mengetahui bahwa banyak ketidakberesan dalam pemerintahan dan dalam
praktik-praktik pembangunan. Tentu kita tidak diam dan kita telah berbuat sesuatu untuk
sebuah perubahan yang lebih baik. Dan kita telah sampai pada kesadaran politik yang lebih
tinggi, yakni pemahaman tentang sebuah partai politik.
Kita tidak akan bertanya kenapa mesti partai. Bagi kita
pertanyaan itu sudah selesai. Aku hanya ingin mengajakmu untuk sekadar merefleksikan
sebuah perjalanan panjang pergerakan untuk demokrasi. Sebuah langkah panjang dan mungkin
akan melelahkan, kadang kita terantuk batu rintangan, kadang kita merasa jenuh, tapi kita
bangkit dan terus bangkit sambil kepalkan tangan, kumpulkan semangat juang, walau keringat
terus mengucur bersama keringat rakyat, sebab keringat rakyat adalah keringat kita, air
mata rakyat adalah air mata kita juga. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita juga.
Kita melangkah di nadi rakyat.
Ninuk, kamu merasa jenuh dengan suratku? Semoga tidak.
Kuharap kamu tetap berlapang hati meneruskan mambaca suratku ini.
Pemerintahan Orde Baru, dengan alasan stabilitas nasional,
demi pembangunan, menerapkan depolitisasi pada rakyatnya. Masyarakat tidak boleh
mendirikan partai baru. Rezim Soeharto membuat undang-undang yang hanya membatasi tiga
partai dengan asas tunggal. Organisasi-organisasi yang ada adalah organisasi yang mesti
taat pada irama yang dikehendaki penguasa. Organisasi alternatif selalu ditekan. Di buruh
hanya diperbolehkan satu serikat buruh SPSI, di sektor petani hanya ada HKTI, di sektor
pemuda hanya ada KNPI, di sektor wartawan hanya ada PWI. Inilah irama yang dikehendaki
rezim Orde Baru. Tetapi aspirasi rakyat tidak bisa diredam. Pada akhir-akhir ini muncul
organisasi-organisasi alternatif. Di sektor buruh telah lahir SBSI, di wartawan ada
Aliansi Jurnalis Independen. Bahkan muncul organisasi-organisasi yang berbasiskan
perjuangan untuk demokrasi seperti Aldera, SMID, PPBI, FAMI, dan PRD. Tentu pemerintah
tidak merestui kehadiran organisasi-organisasi ini, tetapi pemerintah tidak bisa melarang.
Ninuk kawanku yang militan, marilah kita menengok sejenak
kondisi tahun 80-an, tepatnya sejak dilimbasnya Malari. Tentu kamu masih ingat, pada masa
itu aktivitas kemahasiswaan beku. Mahasiswa digiring ke kampus dan tidak boleh melakukan
politik praktis. Sementara di luar kampus, di masyarakat terjadi banyak kesewenangan.
Penduduk Kedung Ombo diusir dari tanah leluhurnya dan desa-desa mereka ditenggelamkan
menjadi waduk. Mahasiswa tidak bisa tinggal diam. Mereka ambul peduli, membentuk komite
untuk solidaritas terhadap korban pembangunan waduk Kedung Ombo. Rakyat Kedung Ombo
bangkit dan mengadakan aksi sampai ke DPR dengan menggunakan alat politik modern seperti
poster, spanduk, dan aksi massa. Ini merupakan terobosan baru dalam kebekuan. Sejak saat
itu, rakyat di beberapa tempat yang dirugikan oleh pembangunan berani memprotes. Ini
adalah sebuah tahapan politik awal menuju tahapan (stage) politik lebih lanjut.
Semula orang tidak bisa bicara soal rakyat. Bahkan istilah rakyat digantikan dengan
istilah masyarakat. Orang tidak menggunakan istilah perubahan sosial, tapi transformasi
sosial. Tapi sejak saat itu orang bisa bicara permasalahan rakyat. Gerakan-gerakan
kerakyatan terus bergulir bersama dengan mahasiswa. Gerakan kerakyatan (peopleness
movement) tersebut mempunyai andil besar dalam menguak celah demokrasi. Artinya demokrasi
bukan hadiah dari penguasa, tetapi rakyat yang harus merebut demokrasi. Selain itu,
gerakan kerakyatan juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam meluaskan dan
meningkatkan issue-issue kerakyatan; bukan sekedar issue penggusuran tanah, tetapi juga
issue-issue buruh, kaum miskin kota, petani, nelayan, dan lain-lain. Issue-issue itu pun
bertambah politis, dari issue ekonomi meningkat menjadi issue politis seperti anti
fasisme, anti militerisme, issue kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat.
Seiring dengan meluas dan meningkatnya issue, radikalisme
dan militansi rakyat meningkat pula. Ini tidak bisa diredam ataupun dibendung lagi bahkan
ketika Marsinah dibunuh karena aktivitasnya memperjuangkan nasib buruh, kaum buruh tetap
melakukan pemogokan untuk menuntut haknya. Aksi pemogokan mareka semakin militan dan
menggunakan alat-alat politik modern seperti penggunaan poster, spanduk, dan mengadakan
reli (pawai) ke Depnaker. Demikian pula bagi aktivis mahasiswa. Walaupun aksi mahasiswa
sering mendapat represi dari militer bahkan beberapa mahasiswa dipenjara, tetapi militansi
makin meningkat.
Ninuk, aku ingin mengatakan bahwa terkuaknya celah
demokrasi ini memungkinkan berdirinya organisasi-organisasi semilegal yang telah
kusebutkan di atas. Legitimasi organisasi semilegal bukan dari restu pemerintah, tetapi
oleh massa anggotanya. Organisasi-organisasi itu tidak dapat dikontrol lagi oleh
pemerintah. Organisasi ini bahkan terus melakukan konsolidasi ke tingkat nasional. Dan
kita telah membentuk sebuah PARTAI POLITIK. Jadi dalam kerangka tahapan politik,
terbentuknya sebuah partai baru bukanlah lahir dari sebuah kondisi prematur, tetapi
seiring dengan tahapan politik yang telah lama berproses. Dan Partai Rakyat Demokratik
Indonesia akan terus berproses menuju pengembangan, penguatan, dan membuktikan diri bahwa
PADI konsisten dengan asas dan tujuannya. Kita menyadari bahwa semua itu adalah perjuangan
yang panjang dan tak akan pernah surut! Maju terus dan lawan!
Salam solidaritas!
Kawanmu,
Ngarto Februana
|