KEPADA YTS TYAS P.
PUDJIASTUTI
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Brave
is he who knows fear but conquers fear,
who sees the abyss, but with pride.
(Nietzsche)
Tyas yang baik,
sebagai pembuka surat ini telah aku kutipkan
kata-kata seorang filsul eksistensialis,
Nietzsche, yang terjemahannya: Berani adalah dia
yang mengetahui ketakutan tapi menaklukkannya,
yang melihat jurang tapi dengan bangga.
Tyas, sepulang dari
rumahmu kemarin (27 November 1990) dalam sudut
hatiku selalu bertanya-tanya. Lalu aku
merenungkannya untuk sekadar memahami sebabnya.
Waktu itu kau sempat cerita bahwa Mabruk (temanmu)
takut terhadap tulisan Yonico yang dianggapnya
keras. Aku tak habis mengerti, kenapa seorang
mahasiswa harus takut pada tulisan yang "keras"?
Padahal dia bukan penanggung jawab tulisan itu.
Kalau tulisan itu aku muat di majalah Dian
Budaya, toh aku yang bertanggung jawab sebab
akulah pemimpin umum dan pemimpin redaksi
sekaligus penanggung jawabnya. Kenapa mesti orang
lain yang sekadar reporter ikut takut?
Ketika tengah malam
yang sunyi, aku mendapatkan jawabannya. Aku tidak
menyalahkan Mabruk seratus persen, tapi aku
menyalahkan sesuatu di luar Mabruk yang selama ini
menanamkan ketakutan padanya. Tidak hanya kepada
seorang Mabruk, tapi kepada ribuan mahasiswa dan
jutaan rakyat di negeri ini. Bukan maksudku untuk
mencari kambing hitam atas suatu kesalahan, tapi
memang kenyataannya demikian dan kita tidak
mungkin memungkirinya. Kita hidup terbelenggu oleh
ketakutan-ketakutan mistis yang tidak kita kenal
dan tidak kita lihat bentuknya.
Baiklah, Tyas,
terlebih dahulu aku akan mendeskripsikan ketakutan
yang dialami oleh seorang seniman. Tyas, pernahkan
engkau membaca sajak yang berjudul Kenangan
kepada Sayuti – Seniman yang Ditembak Mati?
Puisi karya Amarzan Ismail Hamid (mungkin kau tak
pernah dengar namanya) tersebut bercerita tentang
seorang seniman yang pejuang demi kemerdekaan
ditembak mati oleh penjajah.
…..
Sayuti!
ditembak mati!
adakah mungkin
kemerdekaan ditembak mati?
adakah mungkin
mamasang nyanyi dan keyakinan
dari pejuang yang ikhlas
sadar dan setia
menumpahkan darah,
bagi harapan dan hari depan?
….
peleton algojo itu menggigil
dalam subuh pagi yang dingin
dan langit pun menggigil,
ketika dua belas peluru
serentak ditembakkan:
lelaki itu pun tumbang
........
Yah,
seniman sebagaimana kata Albert Camus: "seniman
berdiri di tengah-tengah orang yang bekerja dan
berjuang. Tugasnya, jika dihadapkan pada
penindasan adalah membuka penjara dan menyuarakan
penderitaan serta kebahagiaan semua orang."
Namun, di balik tugasnya yang berat itu terkandung
sebuah risiko, ia bisa dimasukkan dalam penjara
karena perjuangannya. Mochtar Lubis yang menurut
S. Tasrif dikatakan sebagai seorang pejuang bagi
demokrasi, kebebasan pers dan kejujuran, berkali-kali
keluar masuk penjara. Ia ditahan antara 21
Desember 1956 dan 29 April 1961 yang sebagian
besar tahanan rumah di Jakarta, kemudian ditahan
lagi mulai 14 Juli 1961 sampai dengan 17 Mei 1966
di penjara militer di Madiun, selanjutnya ia
mengalami nasib sial lagi yaitu dijebloskan dalam
penjara Nirbaya Jakarta antara 4 Februari dan 14
April 975. Demikian halnya dengan penyair Rendra.
Ia pun pernah masuk penjara. Pimpinan Bengkel
Teater ini pernah juga dilarang pentas antara Mei
1978 sampai akhir 1985. Selain itu, seorang
sastrawan yang pernah dicalonkan sebagai penerima
Hadiah Nobel, Pramoedya Ananta Toer, pernah
mengalami pembuangan selama 14 tahun di Pulau Buru
tanpa pengadilan. Itulah beberapa contoh seniman
yang terpaksa mendekam di balik terali besi
lantaran idealismenya, karena keberaniannya untuk
mengatakan sesuatu yang benar, untuk mengungkapkan
fakta dan realitas sosial politik negara. Lalu apa
pengaruhnya bagi generasi sesudahnya.
Tindakan rezim
terhadap para seniman itulah yang membentuk
ketakutan-ketakutan mistis. Karena hal itu
menimbulkan preseden buruk bagi generasi
sesudahnya. Apalagi melihat pelarangan-pelarangan
pementasan, buku sastra, dan puisi, semakin
memperkuat preseden tersebut. Akibatnya para
senimah selalu dibelenggu ketakutan dan pertanyaan
"jangan-jangan". Yah, kalau seorang
seniman akan berkarya, dalam benaknya sudah ada
pertanyaan: jangan-jangan karyaku nanti dibredel,
atau ia sendiri akan dijebloskan dalam penjara.
Yah, ketakutan
mistis telah terbentuk dari sebuah tindakan
represif suatu rezim pemerintahan, entah dulu atau
sekarang. Rendra, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta
Toer dan lain-lain menjadi tumbal bagi pembentukan
bangunan ketakutan. Ini merupakan penindasan bagi
suatu kreativitas berkesenian. Baru-baru ini
tersiar kabar, pementasan Teater Koma yakni Suksesi
dicabut izinnya pada hari kesepuluh dari sebelas
hari pementasan. Dan juga pelarangan terhadap
puisi Rendra, Pemuda Rangkasbitung.
Lagi-lagi ini merupakan tumbal bagi upaya
membentuk ketakutan pada diri seniman dan
sekaligus penindasan bagi kreativitas berkesenian.
Dengan demikian sei tidak lagi merdeka. Sistem
kekuasaan yang represif telah menjadi penjajahnya.
Di balik semua itu,
slogan-slogan propaganda pemerintah dilancarkan.
Para decesion maker ngomong di pers, bahwa
seni yang dilarang itu memang membayakan. Nah,
inilah yang mengkondisikan publik untuk
membenarkan tindakan pemerintah. Bagi mereka yang
tidak kritis pasti akan termakan prapaganda
tersebut. Lalu mereka akan menilai suatu hasil
kesenian yang "keras" perlu ditakuti.
Lantas, bukan kesalahan mereka kalu mereka takut
terhadap sesuatu yang "keras", tapi yang
jelas struktur bangunan ketakutan itu yang
dipersalahkan dan pembuat keakutan itu yang
memikul dosanya.
Tyas, dalam suratku
yang terdahulu, telah kusinggung tentang
pembredelan pers. Yah, insan pers pun mengalami
nasib yang sama dengan seniman dan pekerja
kebudayaan (cultural workers). Mereka
selalu dikondisikan untuk takut pada apa yang
disebut pembredelan juga black out atau pun
black list. Sinar Harapan pernah
dibredel karena memuat tulisan Daud Yusuf tentang
akibat deflasi bagi rakyat kecil. Nah, dari
pembredelan itu semakin bertambah jumlah
penganggur. Dari wartawan, staf perusahaan, sampai
penjual koran dan pengantar koran terpaksa
kehilangan nasi.
Oh, iya, Tyas,
dalam surat ini aku ingin berkomentar tentang
kasus Monitor. Ketika aku mendengar Monitor
dibredel, dalam benakku terbayang ratusan, mungkin
ribuan orang kehilangan matapencaharian. Kesalahan
Arswendo ternyata dipikul oleh seluruh staf dan
pekerjanya. Bahkan sampai pada tukang sapu di
kantor Monitor ikut terkena getah. Terlepas
dari setuju atau tidak, lantas aku melihat sebuah
gambaran di balik kasus tersebut. Siapa yang
merasa untung dari kasus tersebut? Jawabnya adalah
raja Cendana alias Presiden! Kenapa?
Kasus tersebut
dimanfaatkan oleh rezim pemerintah fascis untuk
memperkuat posisinya. Begitu umat Islam
marah-marah pada Monitor, Presiden ngomong:
adili Arswendo, bredel korannya! Lantas apa
pengaruhnya bagi umat Islam Indonesia? Mereka
berbondong-bondong berdiri di belakang Presiden,
artinya umat (atas kasus tersebut) menganggap
bahwa Presiden telah menjadi pahlawan. Maka mereka
pun memperkuat posisinya.
Dan kasus tersebut
telah menimbulkan preseden buruk untuk masa yang
akan datang. Dengan pembredelan tersebut, dalam
opini pembaca (masyarakat) menganggap bahwa
pembredelan adalah sah. Maka kalau nanti ada koran
yang dibredel, sebelum masyarakat tahu
permasalahannya, dalam benak mereka sudah
terbekali bahwa pembredelan itu adalah sah. Yang
jelas, hal itu akan menimbulkan keleluasaan rezim
untuk mengadakan pembredelan-pembredelan. Dan
lebih lanjut hal ini akan semakin mengkondisikan
ketakutan mistis pada kalangan insan pers.
Tyas yang manis,
sekarang aku ingin bicara tentang pers mahasiswa.
Pers mahasiswa secara historis memegang kekuatan
yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Ia
betul-betul menjadi alat perjuangan dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan; memerangi
kesewenang-wenangan. Pers mahasiswa betul-betul
menjadi kekuatan sebagai terompet perjuangan
rakyat. Lihatlah mingguan Mahasiswa Indonesia
yang diterbitkan oleh ITB, juga koran KAMI, MI,
dan Salemba (dekade 70-an). Yah,
koran-koran mahasiswa tersebut menjadi pers
mahasiswa yang ideal, yakni kritis, analitis, dan
konstruktif. Memang demikianlah seharusnya sebuah
pers mahasiswa. Pers mahasiswa haruslah secara
aktif menanggapi isu-isu rakyat. Ia tidak sekadar
untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan
mahasiswa, tapi juga memiliki komitmen terhadap
persoalan dalam masyarakat. Persoalan kerakyatan (peoplemindness).
Tapi bukan berarti pers mahasiswa menjadi alat
propaganda. Malou Jacob (penulis Filipina) pernah
mengatakan, if we become propagantist, we will
die as artists. Propagandist are manipulative,
calculating; artists are spontaneous. Propagandist
work to elicit a particular reaction from
reader/audience. Artists create out of an impulse,
out of an inspiration drawn from spontaneous
response to event and people.
Tapi bagaimana
dengan kondisi pers mahasiswa saat ini? Pers
mahasiswa sekarang telah ompong; tidak punya gigi
lagi, apalagi taring. Karena apa? Jawabnya tentu
saja tidak bisa dirumuskan dalam satu atau dua
kalimat. Tapi yang jelas, karena faktor idealisme
pengelolanya yang perlu dipertanyakan. Juga karena
"ketakutan" mistis yang tertanam pada
pengelolanya. Tentu ini tidak semuanya. Tapi bagi
pers mahasiswa yang cukup vokal, tindakan represif
lagi-lagi menjadi kendala. Lentera (mejalahnya
Fak. Sastra UI) dibredel oleh rektornya, hanya
karena memuat tulisannya Antonio R. Navitidad
tentang sejarah Kabatang Makabayan gerakan pemuda
patriot di Filipina. Ini akan menimbulkan
ketakutan-ketakutan mistis.
Tyas, terus terang
aku prihatin terhadap kondisi pers mahasiswa
sekarang ini. Terbitnya saja kempas-kempis.
Padahal pada dekade 70-an oplah koran kampus mampu
bersaing dengan pers umum. Keprihatinanku tidak
hanya itu, tapi lebih-lebih pada idealisme
pengelolanya. Modal bagi pengelolaan pers
mahasiswa adalah idealisme. Dan juga yang
mendukung idealisme adalah keberanian. Aku juga
sangat prihatin mendengar laporanmu tentang salah
seorang teman kita yang begitu takutnya pada
tulisan yang kritis. Sekali lagi aku tidak
sepenuhnya menyalahkan mereka, tapi menyalahkan
sistem yang telah membuat hati mereka jirih,
yang telah membuat idealisme mereka lemah, yang
menjadikan mereka pro status quo. Yah,
mereka harus diselamatkan. Mereka harus
dibangunkan. Mereka sedang sakit dan harus
dicarikan obat, agar idealismenya bisa tumbuh
kembali, agar ketakutannya hilang, supaya
keberaniannya timbul. Yah, sekali lagi mereka
harus diselamatkan. Kata Albert Camus, hanya
manusialah satu-satunya makhluk yang gigih mencari
makna. Dengan demikian kehidupan ini sedikit
memiliki kebenaran manusiawi, dan tugas kita
adalah membuktikan kebenaran itu untuk melawan
nasib. Dan tidak ada nilai pembenaran lain kecuali
manusia, karenanya manusia harus diselamatkan
kalau kita ingin menyelamatkan ide kita tentang
kehidupan.
Sekian suratku dan
maafkan jika ada kata-kata yang kurang berkenan di
hatimu. Lain kali aku ingin menyambung surat ini
dengan tema yang berbeda. Oh, iya, sebenarnya aku
juga ingin omong-omong langsung denganmu. Kita
duduk berdampingan dan bercerita tentang apa saja.
Aku merindukan saat-saat kita berduaan dan
bercerita tentang kehidupan, tentang masa depan
umat manusia dan tentang cinta. Aku tidak akan
bertanya: kapan saat itu akan terjadi? Tapi aku
berusaha menciptakan saat itu terjadi. Sekian
terima kasih atas segala perhatianmu padaku.
Yogyakarta, 29
November 1990
Wassalamualaikum Wr.
Wb.
Salam rinduku
padamu,
Ngarto Februana
|