Yogyakarta, 30 Agustus 1995
Untuk rekanku Dewi Magdalena
di Medan
Salam demokrasi!
Sudah beberapa minggu kita terpisah oleh jarak yang jauh, antara Yogya dan Medan. Tetapi
kita yakin, bahwa komitmen yang sama terhadap perjuangan untuk demokrasi adalah tali yang
kuat satukan hati kita, perdekat jarak, pererat perkawanan kita. Bagaimana kabarmu di
seberang sana? Harapanku kamu senantiasa dalam keadaan baik. Aku di Yogya juga dalam
keadaan baik.
Oh, iya, bagaimana kesan-kesan kamu selama safari di Yogya?
Semoga banyak hal yang bisa kau serap dari pengalaman teman-teman di Yogya. Bagi-bagi
pengalaman adalah hal yang baik sebagai aktivitas saling belajar satu sama lain. Di mana
pun kita bisa belajar dari keberhasilan dan kegagalan.
Barangkali kondisi dan konstelasi gerakan di Yogya tak jauh
berbeda dengan di kotamu. Aku tak tahu pasti bagaimana kondisi di Medan, tapi kurasa tak
jauh berbeda. Di mana pun di negeri ini, kontradiksi kian menajam antara buruh dan
pengusaha, petani miskin dan kaya (tuan tanah), antara mahasiswa dan birokrat kampus,
antara rakyat dan penguasa. Kontradiksi termanifestasi dalam bentuk penggusuran tanah
petani oleh pemilik modal atau pemerintah, konflik perburuhan: penindasan terhadap buruh
yang menuntut haknya, penggebukan oleh militer terhadap aksi-aksi mahasiswa, pembredelan
pers, pencekalan, pembungkuman, dan lain-lain.
Tentu kondisi itu harus ada perubahan. Dan aku yakin bahwa
kekuatan massa yang akan mampu mengadakan perubahan menuju masyarakat yang lebih baik,
demokratis, dan berkeadilan. Gerakan-gerakan yang kita bangun adalah usaha ke arah
perubahan tersebut. Sekecil apa pun gerakan tersebut, aku yakin pasti memberikan sumbangan
bagi terkuaknya ruang demokrasi.
Terkuaknya ruang demokrasi merupakan proses panjang. Ketika
masyarakat bungkam dan dibisukan oleh penguasa dengan sebuah sistem fasistis, sistem yang
tidak demokratis dan antirakyat; bisik-bisik sudah dianggap subversi, maka harus ada
keberanian untuk mendobrak kebisuan. Pada tahun 80-an, sejak Malari dilibas habis oleh
tentara rezim Soeharto, rakyat bungkam, mahasiswa dilumpuhkan oleh NKK/BKK dan
depolitisasi kampus, orang tak berani bicara tentang rakyat. Istilah rakyat pun sangat
jarang digunakan. Tetapi ketika kasus Kedungombo muncul, penguasa terbelalak matanya.
Rakyat Kedungombo berani menyatakan protes dalam bentuk aksi ke DPR. Mereka
berbondong-bondong unjuk rasa ke DPR. Dan di sana tidak digebuk. Sejak saat itu orang
sudah berani berbicara tentang rakyat. Kemudian menyusul aksi-aksi rakyat memprotes
penggusuran yang sewenang-wenang di berbagai tempat. Seiring dengan kasus yang terjadi di
sektor rakyat (petani), mahasiswa giat menggelar aksi baik tentang issue kampus (student
rights dan student welfare) maupun issue rakyat (people issue dan national issue). Yang
menarik dari perkembangan situasi politik bahwa aksi-aksi rakyat dan mahasiswa telah
menggunakan alat politik modern, yakni poster dan spanduk. Aksi tersebut merupakan
gerakan-gerakan yang menguak ruang demokrasi, karena ini merupakan sebuah tahapan. Dengan
maraknya aksi-aksi petani dan mahasiswa serta pemogokan buruh, sesungguhnya dapat dihitung
sumbangannya bagi terkuaknya celah demokrasi. Bukan saja orang mulai bebas bicara tentang
rakyat, tetapi lebih dari itu, sektor-sektor masyarakat mulai berani menyalurkan
aspirasinya. Bahkan tumbuh organisasi-organisasi yang independen dan menasional. Di
tingkat elite, muncul Fordem, dan belakangan bermunculan Aldera, PRD, SMID, PPBI, AJI. Dan
baru-baru ini, tepatnya tanggal 25 Agustus 1995 telah terbentuk sebuah partai baru dengan
nama Partai Rakyat Demokratik Indonesia (PADI).
Dewi temanku yang baik, aku ingin menjelaskan tentang
munculnya partai baru ini. Seperti kita ketahui bahwa pada saat ini orang sedang ramai
membicarakan tentang partai baru. Dan pada saat yang sama sejumlah aktivis dari berbagai
kota berkumpul di Bogor untuk merumuskan sebuah partai. Aku turut terlibat aktif dalam
proses pembentukan partai tersebut. Kebetulan aku dipilih sebagai ketua sidang pleno dalam
kongres itu.
Munculnya Partai Rakyat Demokratik Indonesia (PADI) tidak
terlepas sepenuhnya dari rekan-rekan mantan pengurus PRD, dalam arti bahwa mereka turut
membidani PADI. Barangkali kamu sudah mengetahui bahwa di PRD terjadi perpecahan. Satu
kelompok menganut garis keras dan kelompok lain menganut garis yang lebih punya orientasi
yang realistik. Kedua kelompok ini mempunyai pijakan ideologi yang berbeda, sehingga
konsekuensinya kedua faksi ini harus terpilah. Budiman dan kawan-kawannya dari faksi garis
keras telah memproklamasikan diri sebagai presidium sementara PRD dan kami sendiri telah
membentuk partai baru. Teman dari Medan juga ada yang terlibat sebagai peserta dalam
kongres pembentukan partai baru tersebut. Mereka mengenalmu dan aku menitipkan salah
buatmu lewat Dede.
Dewi Magdalena kawanku, perlu kiranya aku sampaikan bahwa
PADI mempunyai asas kerakyatan, solidaritas, kebebasan dan keadilan dan bertujuan
memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil sejahtera dan demokratis. PADI juga memiliki
sikap politik dan program politik yang jelas sesuai dengan asas dan tujuannya. Aku
berharap, bahwa kamu bersedia memberikan dukungan terbentuknya partai baru ini. Dan aku
akan lebih berterima kasih jika kamu bersedia menjadi calon anggota yang nantinya akan
disahkan menjadi anggota oleh cabang. Sekali lagi dukungan darimu sangat aku harapkan.
Kiranya sekian dulu suratku. Harapanku kita bisa sering
berkomunikasi lewat surat. Kutunggu balasanmu dan kutunggu dukunganmu terhadap munculnya
PADI.
Salam solidaritas untuk demokrasi,
Ngarto Februana
NB:
Saat ini aku lebih banyak berada di Jakarta, karena tugasku
sebagai Sekjen PADI menuntut untuk meluangkan waktu lebih banyak di Jakarta. Jika kamu
hendak membalas surat-suratku bisa kamu alamatkan:
Ngarto Februana (PADI)
d.a. WALHI
Jl. Mampang Prapatan XV No. 41 Jakarta
Titip salam buat Dede dan Andriati (Ninuk)
|