Yogyakarta, 16 November 1995
Untuk Nanik
di tempat
Assalamualaikum Wr. Wb.
Teriring salam sejahtera dariku, kuharap semoga engkau dalam keadaan sehat dan senantiasa
dalam naungan cinta kasih-Nya. Malam ini, di saat gumpalan mendung di langit kelam lelah
mengucurkan air di belahan bumi ini, sebersit hasrat di sudut hatiku mendorongku menarikan
jemariku menulis surat untukmu. Harapanku semoga engkau sudi membacanya.
Nanik yang baik, lewat sepucuk surat ini kusampaikan
selamat atas kelulusanmu. Sekali lagi selamat untukmu. Maaf, jika aku tidak bisa hadir
pada saat wisudamu. Doaku semoga kamu cepat dapat pekerjaan yang kau inginkan.
Nanik temanku, sejak aku mengenalmu, lalu sempat dekat
walau terasa singkat, aku menemukan kesusuaian denganmu seperti yang pernah kuungkapkan
kepadamu tempo hari. Barangkali aku terlalu cepat mengungkapkannya, tapi bukankah itu yang
kamu kehendaki? Saat itu aku sudah siap dengan segala jawabanmu. Bagiku mengungkapkan
perasaan yang terdalam kepada seorang wanita bukanlah sebuah kesalahan. Dan aku merasa
yakin bahwa ungkapan perasaanku bukan kutujukan kepada orang yang salah.
Aku merasa senang tatkala kamu katakan, "Jika niatnya
baik, aku terima." Tetapi, aku tak menduga perkataanmu selanjutnya. Kamu mementahkan
kembali jawabanmu dengan menceritakan persoalanmu dengan laki-laki yang amat kamu cintai.
Bukanlah sebuah kesalahan jika kamu ceritakan hal itu.
Nanik temanku yang baik, semoga engkau berkenan jika dalam
surat ini aku ingin memberikan sedikit tanggapan atas persoalanmu. Aku menaruh simpati
terhadap masalahmu dan aku bisa merasakan dan menyelami, betapa berat beban yang
menimpamu. Aku mengerti sepenuhnya. Seorang lelaki yang kamu cintai, yang telah menjalin
cinta kasih denganmu selama sembilan tahun, meninggalkanmu tanpa pesan. Dan kini telah
enam bulan kamu kehilangan dia. Apakah kamu ingin tetap menunggu? Kupikir penantianmu
adalah sesuatu yang absurd seperti halnya "Menunggu Godot". Suatu penantian yang
tak bertepi. Dan kupikir kamu tak mungkin menunggu sampai memutih rambutmu, bukan? Kamu
mesti adil pada dirimu sendiri dengan tidak menghabiskan waktumu hanya untuk mananti dan
menanti. Masih banyak yang mesti diperjuangkan dalam hidup yang singkat ini.
Telah enam bulan dia meninggalkamu tanpa pesan. Kamu
seharusnya bisa menyimpulkan sendiri dan memutuskan apa yang terbaik buatmu, buat masa
depanmu. Jalan masih panjang, kawanku. Sejuta rencana, sejuta langkah mesti kita ayunkan
untuk menapaki liku-liku jalan kehidupan yang masih panjang. Apakah kamu akan tetap
menunggu dan menunggu? Tentu kamu bisa memutuskan sesuatu dengan arif dan bijaksana.
Malam terus merangkak kian jauh. Udara dingin terasa
membekukan tulang. Kodok, jangkrik, dan binatang malam lain di sekitar rumah
bersahut-sahutan mendendangkan tembang alam. Seekor anak burung meringkuk di balik
kehangatan kepak sayap induknya. Di antara dinginnya malam, kulanjutkan menulis surat
untukmu.
Nanik yang manis, sesungguhnya masih ada sesuatu yang
mengganjal di benakku. Kita sudah bicara banyak dan akhirnya kita mengambil kesimpulan.
Aku tetapi itu bukan kesimpulan yang final, bukan? Dak kupikir sah-sah saja, jika aku
masih berharap: mengharap cintamu. Untuk itu aku memohon ketegasanmu, sebab aku masih
menangkap keragu-raguan pada dirimu, apakah menerima atau menolak. Jika kamu menerima,
marilah kita bergandeng tangan melangkah di jalan yang baru, melewati hari baru dengan
segala harapan dan cita-cita untuk masa depan yang berseri. Tetapi jika sebaliknya, bila
kamu menolak, aku tidak akan memaksa. Aku akan lambaikan tangan dan ucapkan salam terakhir
kepadamu.
Sekian, semoga Tuhan senantiasa melindungimu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Dariku yang mengharapkanmu,
Ngarto Februana
|